Bab 3
Lana pulang sendiri ke rumah.
Melihat sarang kecil yang dia tata dengan penuh perhatian, tidak ada lagi rasa bahagia seperti saat pertama kali masuk.
Saat dia sedang merapikan lemari, tiba-tiba dari ruang tersembunyi dia menemukan sebuah sertifikat properti.
Lana terkejut sejenak, lalu membuka dan melihatnya.
Pada kolom pemilik, ternyata tertulis nama Jodi dan Wendy.
Senar yang tegang di hatinya tiba-tiba putus.
Dulu saat menikah, Jodi tidak punya uang. Demi bersamanya, Lana memutuskan hubungan dengan keluarganya, dan selama bertahun-tahun pun tidak pernah meminta sepeser pun dari pria itu.
Gaji dokter itu tetap. Setiap hari, selain menanggung keluarga, Lana tidak pernah membeli pakaian layak untuk dirinya sendiri.
Kemudian, karier Jodi makin berkembang.
Namun, tetap tidak ada sepeser pun yang datang untuk Lana.
Jodi bilang, semua uang itu modal perusahaan, dan harus digunakan sebaik mungkin.
"Sayang, aku tahu kamu paling hemat. Dengan dukunganmu di belakangku, aku punya keberanian menghadapi segalanya."
Karena kata-kata itu ...
Meski uang untuk kebutuhan sehari-hari hampir habis, Lana tidak pernah mengeluh.
Dia begitu memahami suaminya.
Namun, Jodi menggunakan uang yang diperolehnya untuk membeli rumah bagi Wendy!
Sebesar 1,6 miliar.
Uang 1,6 miliar bukan jumlah yang kecil. Saat mereka menikah, bahkan pernikahan mereka hanya menggunakan becak sewaan seharga satu juta!
Lana tiba-tiba hancur.
Melihat sertifikat itu, rasanya seperti seorang badut menamparnya dengan keras, menertawakan kepolosan dan kebodohannya.
Entah berapa lama berlalu, Lana bangkit dari lantai. Dia mengambil kartu yang pernah diberikan Jodi padanya.
Di dalamnya ada 400 juta.
Kartu itu diberikan Jodi pada tahun kedua kariernya sukses.
Jodi bilang itu adalah tabungan keluarga, jangan diambil kecuali benar-benar perlu, dan menyerahkannya pada Lana karena tahu dia tidak akan menggunakannya.
Faktanya memang begitu.
Namun sekarang, Lana berubah pikiran.
Dia menggunakan uang itu untuk membeli kue dari tokok kue di pinggiran kota yang sudah lama tidak dia makan.
Lalu, dia masuk ke toko barang mewah membeli tas terbaru.
Uang 400 juta itu habis dalam sekejap. Sebelumnya, bahkan apel seharga 2400 sebutir pun membuatnya sakit hati.
Sekarang, kurang dari sehari menghabiskan 400 juta, dia merasa lega.
Uang sebesar 400 juta apa artinya, jika suaminya bisa memberikan selingkuhannya rumah seharga 1,6 miliar.
Lana merasa sangat senang. Namun, ketika dia pulang, dia melihat Jodi dan Wendy duduk di ruang tamu dengan wajah muram.
Pria itu melemparkan ponsel ke meja, penuh dengan catatan pembelanjaan Lana hari ini. "Katakan, ini bagaimana ceritanya?"
Selama ini, di mata Lana, Jodi tampak jujur, lembut, dan rendah hati.
Hari ini, wajah yang dulu dia kagumi tampak mengerikan.
Hanya menghabiskan 400 juta saja, dia begitu marah?
Tanpa ekspresi, Lana mengganti sepatunya. "Nggak beli apa-apa, cuma beli beberapa pakaian."
"Beberapa pakaian habis 400 juta? Lana, kamu gila!"
Teriak Jodi histeris, seolah-olah di hadapannya bukan istrinya, tetapi musuh.
Wendy ikut menimpali. "Iya, Kak Lana, itu 400 juta, bukan jumlah kecil. Bagaimana bisa ... kamu begitu boros."
Begitu Wendy berbicara, Lana tiba-tiba mengangkat tangan dan menamparnya dengan keras.
"Di sini bukan tempatmu bicara."
Suara tamparan itu bergema di dalam ruangan, dan Wendy hampir terjatuh ke lantai.
Jodi buru-buru menahan tubuhnya.
Dengan marah, dia menatap Lana. "Lana, apa yang kamu lakukan!"
Lana menatap mata Jodi yang dalam dan berkata dengan dingin, "Apa yang kulakukan? Aku hanya menghabiskan 400 juta, tapi kamu membelikan Wendy rumah seharga 1,6 miliar. Itu baru gila, 'kan? Suamiku yang baik, kenapa aku nggak pernah tahu kamu begitu dermawan?"
"Atau maksudmu, di matamu, aku sebagai istri tidak sebanding dengannya?"
Wajah Jodi berubah.
"Kamu membongkar lemariku?"
Lihat, hal pertama yang dipikirkan Jodi bukan menjelaskan, tetapi menuduh Lana mengambil barang tanpa izin.
Sedikit harapan Lana hilang.
"Itu karena kamu nggak menyimpan dengan benar."
Jodi yakin karena Wendy mencintainya, pria itu merasa berhak melakukan apa pun tanpa rasa takut.
Di matanya, hanya Wendy yang penting.
"Itu cuma satu rumah, Wendy nggak punya tempat tinggal. Apa kamu mau dia tidur di jalan? Dia sendirian, tanpa siapa pun. Kamu sebagai gurunya sudah nggak bertanggung jawab, kenapa begitu rewel?"
"Kamu juga tahu aku gurunya, bukan ibunya! Dia sendirian itu bukan karena aku! Itu karena dia nggak berbakti pada orang tua, nggak mau belajar, nggak punya keterampilan ... "
Plak!
Sebelum Lana selesai bicara, Jodi mengangkat tangan dan menampar wajahnya dengan keras.