Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 1

"Gawat, Dokter Wenny, ada korban kecelakaan lalu lintas yang butuh penanganan segera!" Ketika Wenny sedang mengkhawatirkan apakah Juan sudah makan atau belum, tiba-tiba ada perawat yang memanggilnya dari luar. "Korbannya adalah CEO Grup Sondika, memiliki pengaruh besar di masyarakat. Saat ini, sudah banyak reporter yang berkumpul di depan rumah sakit." Wenny mengesampingkan kekhawatirannya terhadap Juan. Dia berlari menuju ke ruang operasi dengan wajah serius. "Jangan pedulikan mereka, segera siapkan operasi!" ... Empat jam kemudian, Wenny melangkah keluar dari ruang operasi dengan tubuh yang kelelahan. Dia melepas masker, kemudian melihat jam. Sudah pukul delapan. Pada jam ini, kemungkinan besar Juan masih lembur di kantor. Cuaca di Kota Yunara di malam hari sangat dingin. Wenny membeli makanan kesukaan Juan dan bergegas pergi ke kantor Juan. Dari kejauhan, sudah terdengar suara tawa dan ejekan yang menggema di dalam ruangan. "Kak Juan, kamu hebat. Kalian sudah pacaran lama, tapi Wenny masih belum tahu identitas aslimu." "Identitas asli?" pikir Wenny. Wenny terdiam saat membuka pintu. Dia mendengar suara ejekan Juan di ruangan kantor. "Dia memang wanita bodoh. Anehnya, meskipun sudah pacaran lama sama dia, aku masih nggak merasa bosan." "Mungkin karena kami belum tidur bersama. Setelah memiliki wanita itu, aku akan mencampakkannya." "Hei, tapi aku menang taruhan dengan kalian, 'kan? Dulu kalian bilang bahwa sulit membuat Wenny jatuh hati, 'kan? Sementara aku hanya butuh satu bulan saja. Dengan memberikan sedikit perhatian, Wenny jatuh hati padaku." Setelah menyombongkan diri, ada seorang teman bertanya. "Kak Juan, kamu nggak takut ketahuan Wenny bahwa kamu adalah anak orang kaya dan pura-pura miskin selama tiga tahun ini?" "Benar. Wenny yang menghidupimu selama ini. Kalau dia tahu bahwa kamu bukan drafter di perusahaan ini, melainkan anak bos perusahaan ini, dia pasti marah!" "Hahaha, dia pasti menangis!" ... Gelak tawa yang berulang-ulang menembus telinga Wenny. Dia seperti merasa kepalanya mendengung dan kesemutan. "Juan adalah ... anak Keluarga Sendrata?" "Mana mungkin?" pikir Wenny. Dalam kebingungan, Wenny mengira dirinya sedang berhalusinasi. "Mereka ... pasti bercanda, 'kan?" Namun, semua kata-kata yang diucapkan Juan telah menghancurkan harapan kecil yang tersisa. "Kemarin lusa aku minta uang 40 juta sama dia. Uang itu langsung habis setelah kupakai untuk sekali makan. Aku masih mau bermain-main dengannya. Setelah bosan, aku akan putus dengannya. Nanti aku akan tunjukkan, bagaimana dia menangis menyedihkan." Wenny mundur perlahan, kepalanya terasa sakit. Padahal Wenny sedang merasa marah, tetapi dia justru tertawa kecil sambil meneteskan air mata. Dia memang bodoh. Mereka kenal saat masih kuliah, kemudian pacaran. Selama tiga tahun pacaran, dia tidak mengetahui identitas asli pacarnya. Ternyata pacarnya adalah anak dari Keluarga Sendrata. Sekali mendengar nama keluarganya, bisa ditebak bahwa pria itu berasal dari keluarga terhormat. Saking terhormatnya, pria itu tega menginjak harga diri orang. Saking terhormatnya, pria itu memenangkan taruhan konyol dengan cara menipu. Wenny merasa seolah-olah dadanya tiba-tiba ditusuk oleh pedang, sakitnya luar biasa hingga dia tidak mampu berdiri tegak. Lalu, cinta yang dia berikan itu dianggap apa? Apa arti semua pengorbanannya selama ini? Selama tiga tahun ini, dia bekerja keras dan lembur agar pria itu bisa tenang dalam melanjutkan studi pascasarjana. Pada masa yang paling sulit, dia harus mengambil tiga pekerjaan setiap hari untuk memenuhi biaya hidup dan biaya kuliah mereka, bahkan dia juga yang membayar uang kontrakan rumah Juan. Sementara dia berhemat, dia membelikan Juan sepatu favoritnya, jam tangan ... Intinya, dia takut Juan direndahkan orang. Ternyata selama ini, pria itu menipunya! Wenny menekan dada dengan kuat, hatinya sangat hancur. Dari celah pintu, Wenny melihat Juan duduk di sofa dengan ekspresi mengejek. Wenny memegang termos dengan tangan gemetar. Setelah terdiam lama, akhirnya Wenny menarik napas dalam-dalam. Dia mengambil ponsel dengan tangan yang sudah mati rasa, kemudian merekam percakapan mereka. Percakapan di kantor masih berlanjut. Setiap kata yang mereka ucapkan sangat menyakitkan hati Wenny. Namun, ucapan mereka yang menyakitkan, justru membuat Wenny makin sadar. Setelah mereka membicarakan topik lain, barulah Wenny mematikan rekaman. Akhirnya, Wenny pergi dengan kedua kaki yang lemas. Sesampainya di rumah, Wenny duduk di sofa. Wajahnya pucat, hanya matanya yang memerah. Jendela ruang tamu dalam kondisi terbuka. Tiupan angin yang masuk ke jendela sangat dingin, tetapi dia seolah tidak merasakannya, tatapan matanya juga kosong. Entah sudah berlalu berapa lama, tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka. Juan masuk ke rumah. Ruang tamu yang dingin membuat tubuh Juan menggigil. "Wenny, kenapa nggak menutup jendela di hari yang sedingin ini?" Juan pergi ke balkon dan menutup jendela, kemudian menghampiri Wenny dengan senyuman hangat. Seperti biasanya, Juan duduk di samping Wenny dan memeluknya dengan mesra. "Pekerjaanmu di rumah sakit lagi banyak, ya? Kok tumben nggak mengantar makan malam ke kantorku hari ini?" Terlihat getaran dalam mata Wenny. Dia teringat lagi dengan semua ucapan Juan yang menyakitkan, membuat dia emosi lagi. Dia menggenggam telapak tangan dengan erat agar air matanya tidak keluar. "Aku tadi pergi ke kantormu." Suaranya terdengar serak. Jawaban Wenny yang singkat membuat senyuman Juan membeku. Juan melepas pelukan dengan canggung, kemudian mengambil gelas kaca di depannya dan menyembunyikan rasa bersalahnya. "Kapan kamu pergi? Kok aku nggak tahu?" Wenny merasa hatinya sakit. Dia mengeluarkan ponsel. Meskipun hanya mengeluarkan ponsel, dia merasa seolah seluruh tenaganya terkuras. Wenny menaruh ponsel di atas meja dan memutar rekaman. Suara pembicaraan sekelompok orang tiba-tiba terdengar. Wenny seperti sedang menyiksa dirinya sendiri. Dia mendengarkan rekaman itu berulang kali. Setelah selesai, dia memutarnya kembali dan terus mendengarkan. Wenny mendengarkan sampai akhir, tangannya terus gemetar dan sulit dikendalikan. Ekspresi Juan terlihat tidak enak, dia menjelaskan, "Wenny, dengarkan penjelasanku ... " "Jelaskan apa? Apa kamu mau menjelaskan tentang caramu menipuku selama tiga tahun?" "Juan ... Oh, salah, mestinya Tuan Muda Juan." Wenny menatap Juan yang wajahnya muram dengan mata memerah. "Kita putus saja." Juan menggenggam erat gelas di tangannya, ekspresi wajahnya sulit dibaca. Setelah terdiam lama, Juan menaruh gelas, seolah dia melepaskan penyamarannya. Seketika itu juga, ekspresi wajahnya berubah dingin, terlihat asing. "Ya, benar. Aku adalah anak dari Keluarga Sendrata, apa salahnya?" Dia menatap Wenny dengan jujur, tatapan matanya tidak menunjukkan sedikit pun rasa canggung atau panik setelah rahasianya terbongkar. "Bukankah seharusnya kamu senang? Kamu akan jadi menantu keluarga konglomerat." Wenny merasa sakit hati sekaligus merasa ucapan Juan itu konyol. "Jadi, haruskah aku ambil sampanye untuk merayakan keberhasilanmu menipuku selama tiga tahun?" Juan menggertakkan gigi, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Bukti rekaman di depannya adalah bukti kuat, Juan tidak bisa mengelak. Namun, Juan yakin. Juan yakin Wenny tidak akan minta putus karena wanita itu sangat mencintainya. Lagi pula, mana ada wanita yang minta putus setelah mengetahui bahwa pacarnya ternyata anak orang kaya? Kesombongan yang konyol. Wenny tidak mau bertele-tele, dia langsung mengatakan, "Juan, ingat ya. Kali ini, bukan kamu yang mencampakkan aku, melainkan aku yang mencampakkanmu. Wenny yang mencampakkan Juan!"
Bab Sebelumnya
1/100Bab selanjutnya

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.