Bab 1
Semua orang di kalangan elite Kota Dasmas merasa iri pada orang tuaku yang dikaruniai sepasang anak perempuan kembar yang cantik sekaligus berbakat.
Namun, hanya aku yang tahu bahwa mereka lebih menyayangi kakakku yang lembut dan tenang. Mereka menganggap tingkah lakuku tidak selayaknya seorang putri dari keluarga terhormat.
Jadi, ketika kakakku melarikan diri dari pernikahan, orang tuaku tanpa ragu menyuruhku menggantikan kakakku untuk menikah.
Ketika kakakku kembali, mereka memaksaku untuk menyerahkan posisi sebagai nyonya muda Keluarga Frans.
Kemudian, identitasku pun terbongkar. Keluarga Frans yang murka langsung mengusirku dari kediaman Keluarga Frans.
Aku langsung berkemas, pergi ke luar negeri tanpa memedulikan apa pun.
Namun, tak disangka, ternyata aku hamil.
...
Besok adalah hari pernikahan Agita Winston. Sebagai mempelai wanita, dia sedang beristirahat dengan santai di kamarnya, sementara aku harus menjadi pesuruh orang tuaku untuk melakukan banyak hal.
"Ini nggak adil," kataku pada orang tuaku untuk kesekian kalinya.
"Agata, kakakmu besok akan menikah. Sebagai seorang Adik, bukankah seharusnya kamu membantu kakakmu?"
Ibu berkata dengan nada tidak senang, sedangkan Agita menunjukkan ekspresi seolah itu sudah sewajarnya.
Aku tahu hasilnya akan seperti ini. Dalam hati, aku mengumpat pada diriku sendiri.
Meskipun sudah mengetahui bahwa orang tuaku selalu memihak kakakku, aku masih saja mengadu pada mereka tentang Agita, berharap mereka akan menegurnya.
"Nggak apa-apa, Agata. Kalau kamu lelah, biar aku saja yang melakukannya."
Agita mengatakan ini sambil hendak mengambil barang dari tanganku.
Ayah segera menghentikannya, "Kamu adalah tokoh utama di acara besok, bagaimana kalau kamu sampai lelah? Cepat naiklah ke atas untuk beristirahat."
Agita mengangguk dengan manis, lalu perlahan-lahan naik ke atas untuk beristirahat.
Orang tuaku menatap Agita yang naik ke atas dengan wajah penuh kasih sayang. Namun, ketika menghadap ke arahku, ekspresi wajah mereka berubah menjadi muram.
"Lihat betapa anggunnya kakakmu. Dia seperti putri bangsawan. Sekarang lihat dirimu sendiri. Selain wajahmu, apa lagi yang bisa dibanggakan?"
Ibu menatapku dari atas ke bawah dengan pandangan merendahkan.
Meskipun aku dan Agita adalah saudara kembar identik, bisa dibilang kami tidak memiliki kesamaan sama sekali kecuali penampilan.
Agita anggun dan elegan. Setiap gerakannya memancarkan pesona yang memikat. Dia mahir dalam musik, catur, kaligrafi, melukis, terutama dalam menari. Dia juga meraih banyak penghargaan. Dia adalah putri yang paling dibanggakan Ayah dan Ibu.
Sedangkan aku adalah anak yang tomboi, sama sekali tidak mengerti tentang tarian. Jangan berpikir bisa mengharumkan nama orang tua, tidak mempermalukan mereka saja sudah dianggap bagus.
Terkadang aku memang tidak bisa menyalahkan mereka yang pilih kasih. Jika aku melihat kami berdua, aku juga akan lebih menyukai Agita.
Lagi pula, Ayah dan Ibu juga tidak bersikap jahat padaku. Mereka hanya lebih menyayangi Agita saja. Dengan pemikiran seperti ini, hatiku menjadi lebih lega.
Aku menjadi bersemangat, tidak mengeluh lagi.
Aku terus sibuk sampai malam. Ketika aku baru saja duduk untuk mengambil napas sejenak, ibuku tiba-tiba berkata, "Agata, pergilah ke kamar kakakmu. Lihatlah apakah hadiah untuk besok sudah disiapkan."
Aku mengangguk, lalu naik ke atas dengan pasrah.
Aku mengetuk pintu pelan sambil memanggil Agita, tetapi tidak ada yang menjawab dari dalam. Ini aneh. Mungkinkah dia tertidur?
Aku membuka pintu. Ternyata kamar itu kosong, tidak ada seorang pun.
Pergi ke mana Agita pada jam seperti ini?
Sambil menelepon Agita, aku melihat-lihat apakah ada barang yang hilang di kamarnya.
Aku tidak bisa menghubungi telepon Agita. Aku hendak menelepon lagi ketika melihat secarik kertas di meja rias.
[Ayah, Ibu, aku benar-benar nggak ingin menikah dengan Daniel. Jangan mencariku, aku ingin menenangkan diri.]
Ketika melihat isi kertas itu, aku tidak bisa menahan jeritanku. Aku membawa kertas itu sambil berlari ke bawah mencari Ayah dan Ibu.
Ayah dan Ibu juga terdiam sejenak. Kemudian, keduanya segera meletakkan pekerjaan mereka.
Yang satu menelepon Agita, sementara yang lain segera menyuruh orang untuk mencari Agita.
Untungnya, telepon Agita masih bisa tersambung.
Telepon berbunyi selama beberapa detik, lalu ada seseorang yang mengangkat.
"Agita, kamu ada di mana?"
Sebelum Agita bisa menjawab, kami sudah mendengar suara pengumuman bandara dari sisi Agita.
Ekspresi Ibu langsung berubah. "Agita, apa kamu sekarang di bandara? Di bandara mana? Ibu akan datang menjemputmu."
"Nggak. Bu, Daniel sekarang sudah cacat. Apa Ibu tega menjodohkanku dengan orang seperti itu?"
Ketika mendengar kata-kata Agita, Ibu tertegun sejenak.
Agita memang benar. Daniel sekarang memang sudah cacat.
Enam bulan yang lalu, Daniel mengalami kecelakaan hingga mobilnya terbalik. Meskipun Daniel beruntung karena berhasil selamat, pecahan kaca jendela tidak sengaja masuk ke matanya.
Meskipun Keluarga Frans mengumumkan bahwa Daniel baik-baik saja, selama enam bulan ini Daniel tidak pernah muncul di depan publik.
Rumor mengatakan bahwa Daniel sudah buta.
Agita adalah gadis yang sombong. Bagaimana mungkin dia bersedia menerima pria buta sebagai suaminya?
Ibu menelepon Agita lagi, tetapi Agita sudah mematikan teleponnya. Aku dan orang tuaku saling melempar pandang.
Ayah melempar koran yang dipegangnya ke meja dengan kasar, lalu berkata dengan penuh amarah, "Anak nakal ini! Lihat saja nanti bagaimana aku akan menghukumnya saat dia kembali."
Setelah mengatakan ini, dia menyuruh orang mencari Agita.
Saat itu waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam, tetapi masih belum ada kabar tentang Agita.
Ayah dan Ibu akhirnya menerima kenyataan. Mereka duduk di sofa sambil membahas apa yang harus dilakukan besok.
"Ayah, Ibu, haruskah kita memberi tahu Keluarga Frans kalau pernikahan besok dibatalkan atau ditunda?"
Aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya. Bagaimanapun juga, sekarang sudah larut malam. Jika tidak segera memberi tahu Keluarga Frans bahwa mempelai wanitanya kabur, semuanya akan terlambat.
Siapa sangka Ayah dan Ibu akan saling memandang, lalu menatapku.
Kelopak mataku berkedut, aku merasakan firasat buruk.
"Ayah, Ibu, kalian nggak berencana menyuruhku menggantikan Agita untuk menikah, 'kan?"
Aku bisa membaca pikiran ibuku dengan jelas. Dia pun mengangguk dengan canggung.
Aku membelalakkan mata dengan tidak percaya. Aku dan Agita memang adalah anak kembar, dengan penampilan dan tubuh yang hampir identik.
Namun, kepribadian kami sangat berbeda. Dia adalah orang yang pendiam dan lembut, sedangkan aku adalah orang yang ceria dan ekspresif.
Siapa pun yang mengenal kami, pasti bisa langsung melihat perbedaannya.
Lagi pula, aku bisa mati jika menikah dengan Daniel.
Bukan karena aku merendahkannya yang tidak bisa melihat, tetapi karena dia sudah memberiku terlalu banyak kenangan buruk.
Aku masih ingat saat masih di SMA. Setiap kali aku terlambat, tidak peduli pagar mana pun yang aku panjat, dia pasti menunggu di bawah pagar itu.
Kemudian, dia akan menarik kerah bajuku, lalu berkata dengan nada dingin, "Kamu terlambat, potong dua poin. Kamu juga memanjat pagar, potong lima poin."
Tidak peduli bagaimanapun aku merayunya, bahkan mengatakan tentang hubungan baik kedua keluarga kami, dia tetap tidak tergerak. Dia bersikeras mencatat namaku di buku catatan.
Setelah satu semester, kelasku selalu mendapatkan posisi terakhir dalam hal kedisiplinan karena diriku.
Aku juga tidak bisa lepas dari panggilan orang tua. Kemudian, aku harus menerima berbagai macam omelan di rumah.
Aku menggelengkan kepala dengan keras. Sudah cukup menakutkan bagiku ketika mengetahui bahwa orang seperti ini akan menjadi kakak iparku.
Jika aku harus menghadapi wajah ini setiap hari selama hidupku, aku pasti akan mati muda.
Ketika melihat aku tidak setuju, wajah Ayah dan Ibu tampak sangat tidak senang.
"Agata, keluarga kita nggak boleh sampai kehilangan kerja sama dengan Keluarga Frans. Itu adalah kerja sama terpenting bagi keluarga kita. Kalau sampai hilang, ribuan karyawan di perusahaan akan terancam."
Ibu menatapku sambil berkata dengan sungguh-sungguh.
Ayah menepuk Ibu pelan, lalu ikut berkata, "Agata, ibumu benar. Kalau nggak ada kerja sama ini, keluarga kita pasti akan bangkrut."
"Lagi pula, apa yang salah dari Daniel? Meskipun sekarang ada masalah dengan matanya, dia adalah orang yang tampan dan punya status. Kalau bukan karena kakakmu nggak bersedia, apa kamu pikir kamu layak bersanding dengannya?"
Aku merasa seperti tersedak. Siapa di lingkaran elite Kota Dasmas yang tidak mengenal Daniel? Dia adalah orang yang dingin, kejam, pemarah, serta sulit ditebak. Bisa dibilang dia adalah orang yang paling sulit diajak bergaul di dunia ini.
Yang paling penting, ada rumor bahwa Daniel tidak hanya melukai matanya dalam kecelakaan itu, tetapi juga tubuh bagian bawahnya.
Agita mendengar bahwa Daniel tidak bisa berfungsi dengan baik sebagai seorang pria lagi. Oleh karena itu, dia memutuskan untuk kabur sebelum acara pernikahan.
Aku menolak dalam diam, hingga akhirnya ayahku menghela napas.
"Lupakan saja. Kalau anaknya nggak mau, kita juga nggak bisa memaksanya menikah. Sekarang aku akan menelepon Keluarga Frans untuk memberi tahu mereka kalau pernikahannya akan dibatalkan. Tanpa kerja sama ini, kita juga belum tentu akan bangkrut. Paling-paling dana kita saja yang akan jadi agak ketat."
Bagus sekali. Aku tahu kalau orang tuaku mencintaiku.
Namun, ketika sudut bibirku baru saja terangkat, Ibu tiba-tiba menangis tanpa peringatan apa pun.
"Apa bedanya rantai dana yang putus dengan kebangkrutan?"
"Ada ribuan orang yang menggantungkan hidup pada Grup Winston. Kalau sampai bangkrut, banyak orang yang akan menganggur. Agata, kamu sudah dewasa, sekarang adalah saatnya kamu berkontribusi untuk keluarga."
"Lagi pula, bukannya kamu yang menyebabkan keluarga kita terpuruk sampai pada titik ini?"
Langkahku tiba-tiba terhenti. Ternyata setelah lebih dari dua puluh tahun ini, Ibu masih memikirkan masalah ini.
Saat kakekku masih hidup, Keluarga Winston dan Keluarga Frans berada di posisi yang setara. Di Kota Dasmas, beredar rumor yang mengatakan bahwa 'Keluarga Winston memimpin selatan, Keluarga Frans memimpin utara'.
Saat Ibu sedang hamil, ada seorang peramal yang bisa menebak bahwa dia sedang hamil anak kembar hanya dengan sekali lihat.
Peramal itu juga berkata bahwa dari dua anak ini, yang satu adalah berkah dari kehidupan sebelumnya, yang lain adalah karma buruk penagih utang.
Saat itu Ayah dan Ibu tidak percaya dengan ucapan peramal itu. Sampai akhirnya tiba saatnya untuk Ibu melahirkan. Agita lahir dengan lancar, sedangkan aku tetap berada di perut Ibu, menolak untuk keluar.
Kemudian, ibuku mengalami pendarahan hebat. Ayah yang menunggu di luar kamar bersalin tampak gelisah, berjalan mondar-mandir.
Pada saat itu, sekretaris Ayah meneleponnya, mengatakan bahwa mitra bisnis terbesar Grup Winston tiba-tiba ingin membatalkan kerja sama.
Menurut Bibi Sinta, pelayan yang bekerja di rumah kami, saat itu wajah Ayah pucat pasi, sementara tangannya yang memegang telepon bergetar.
Setelah beberapa saat, dia baru berkata dengan nada berat, "Ternyata memang karma buruk penagih utang."