Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 2

Saat itu aku masih sangat kecil, tidak mengerti mengapa perhatian Ayah dan Ibu selalu tertuju pada Agita. Mereka menyayangi Agita lebih dari diriku, jadi kadang aku sengaja berbuat nakal untuk menarik perhatian Ayah dan Ibu. Namun, aku mendapati bahwa tak peduli bagaimanapun aku bersikap, pandangan Ayah dan Ibu padaku tidak akan pernah selembut dan sepenuh kasih seperti saat mereka menatap Agita. Kemudian, aku perlahan tumbuh dewasa, mulai memahami alasannya. Aku merasa bersalah karena ini. Perlahan-lahan, aku tidak lagi menuntut kasih sayang orang tuaku. Namun, aku tidak menyangka bahwa setelah 20 tahun berlalu, ibuku masih memikirkan tentang hal ini. Ketika melihatku terdiam, Ibu berkata lagi, "Kalau keluarga kita masih seperti Keluarga Winston yang dulu, kita nggak perlu memohon kerja sama dengan Keluarga Frans. Agata, kamu juga sudah dewasa, pikirkanlah sendiri." Setelah beberapa waktu, aku akhirnya mengangguk. "Kalau Kakak pulang nanti, bisakah kami bertukar kembali?" Aku bertanya dengan ragu-ragu. Meskipun aku sudah mengetahui bahwa jawabannya tidak mungkin, Ayah dan Ibu mengangguk untuk menenangkan diriku. "Tentu saja. Begitu kakakmu kembali, kami akan menukar kalian secepatnya. Kamu hanya perlu berusaha meniru kakakmu selama beberapa waktu ini." Keluarga Frans adalah keluarga terkemuka di antara keluarga elite di Kota Dasmas sekarang. Terlebih lagi, Ibu Daniel adalah sosok yang sangat sombong. Seharusnya, status Keluarga Winston tidak setara dengan Keluarga Frans. Namun, sayangnya Agita adalah menantu yang ditunjuk langsung oleh para tetua Keluarga Frans. Bukan hanya Keluarga Frans. Di antara semua putri keluarga terhormat di lingkaran elite Kota Dasmas, Agita adalah kandidat yang paling ideal sebagai seorang istri. Kepribadiannya lembut dan patuh, seperti mata air jernih yang menyirami segalanya tanpa suara, membuat semua orang merasa terpesona. Wajahnya cantik seperti bunga, rupawan serta sangat memukau. Dia bagaikan bunga lembut yang mekar di dunia. Sikapnya yang anggun dan kepribadiannya yang lembut memancarkan pesona yang memikat. Ini membuat para pemuda dari berbagai keluarga terpesona. Namun, sebagai adik Agita, aku jauh lebih rendah. Orang-orang mengatakan meskipun penampilanku dengan Agita tidak jauh berbeda, temperamen kami sangat berbeda. Sejak muda, Agita selalu dikelilingi banyak pengagum. Sedangkan aku, tidak pernah menerima satu surat cinta pun sejak kecil hingga sekarang. Menyuruhku untuk meniru setiap gerak-gerik Agita adalah hal yang sulit. Suasana di luar mulai ramai, aku tahu bahwa tim penata rias sudah mulai berdatangan. Ibu segera menutup pintu, mendandaniku sesuai dengan gaya berpakaian kakakku. "Kalau nggak berbicara, kamu masih cukup mirip dengan kakakmu. Semoga kamu bisa menyembunyikan hal ini lebih lama." Ibu mengelus lembut bahuku dengan wajah yang penuh kekhawatiran. Aku berbalik untuk memeluk pinggang Ibu, mengangkat kepala, lalu berujar dengan tegas, "Bu, kamu tenang saja. Aku pasti nggak akan membiarkan mereka mengetahuinya." Ibu menepuk kepalaku sambil berkata, "Agata, kamu memang pengertian. Agita, si anak nakal itu, aku akan mematahkan kakinya ketika dia pulang nanti." Aku tersenyum lemah. Bagaimanapun juga, jika Agita pulang, dia pasti tidak akan dihukum. Sejak kecil sampai sekarang, mereka selalu begitu. Tidak peduli kesalahan apa pun yang Agita perbuat, Ayah dan Ibu tidak akan pernah menyalahkannya. Aku masih berusaha meniru Agita ketika Bibi Sinta membawa tim penata rias naik ke atas. Ketika melihatku, Bibi Sinta tampak terkejut. "Kenapa Nona Agita tampak muram?" Aku menghela napas lega. Aku dan Agita tumbuh bersama sejak kecil, jadi aku memahami semua kebiasaannya. Kami paling mengenal satu sama lain. Bagiku, meniru Agita bukanlah hal yang sulit. Sekarang, bahkan Bibi Sinta yang sudah merawat kami sejak kecil pun tidak bisa membedakan kami. Jika begitu, menipu Keluarga Frans seharusnya bukan hal yang sulit. Aku meniru sikap Agita, tersenyum ringan, lalu berkata, "Bibi Sinta, aku hanya merasa sedikit enggan meninggalkan rumah, jadi aku nggak cukup istirahat." Penata rias segera melangkah maju, lalu berkata, "Tenang saja, Nona Agita. Kami pasti akan membuatmu tampil secantik mungkin." Aku membisikkan terima kasih dengan suara lembut, lalu membiarkan penata rias melakukan pekerjaannya. Bibi Sinta melihat sekeliling kamar, lalu bertanya, "Di mana Nona Agata? Ke mana dia?" Alarm bahaya dalam hatiku berbunyi. Pandanganku bergerak-gerak bingung, tidak tahu harus berkata apa. Ibu hanya tersenyum anggun, tidak terlihat panik sama sekali. "Ada masalah di kantor, jadi dia pergi untuk menyelesaikannya. Sepertinya dia baru akan datang nanti." Bibi Sinta mengangguk. Akhirnya, dia tidak lagi memikirkan ke mana aku pergi. Seiring dengan olesan riasan, orang yang ada di cermin itu makin mirip dengan Agita. Aku menirukan tingkah laku Agita yang biasanya, sedikit melengkungkan sudut bibirku, membuatku makin mirip dengannya. Dengan cara ini, Daniel seharusnya tidak akan mengetahuinya. Lagi pula, Agita dan Daniel juga hanya bertemu beberapa kali sebelumnya. Setelah fajar, tim pengiring pengantin juga datang. Sebenarnya di lingkungan kami, baik cinta maupun persahabatan, pasti ada unsur kepentingan di dalamnya. Ketulusan tanpa syarat adalah hal paling langka di lingkaran ini. Para pengiring pengantin yang dipilih Agita semua adalah wanita muda dari keluarga terhormat yang memiliki hubungan baik dengan keluarga kami. Hubungan mereka dengan Agata tidak buruk, tetapi aku tidak terlalu mengenal mereka. Beberapa pengiring pengantin mengelilingiku, saling berbasa-basi. Mereka memuji riasanku yang bagus, memuji gaun pengantin yang aku pilih bagus. Aku paling membenci percakapan penuh kepalsuan seperti ini. Sekarang, aku terpaksa menahan diri, ikut berbasa-basi dengan semua orang. "Hei, di mana Agata? Bukankah dia adalah pengiring pengantin utama hari ini?" Yang mengatakan ini adalah putri kedua Keluarga Lewis, Julia Lewis. Dia berada di kelas yang sama dengan Agita saat SMA. Hubungan di antara mereka juga sangat baik. "Aku nggak tahu ke mana gadis nakal itu berkeliaran. Kalian nggak perlu memikirkan dia." Ibuku tersenyum sambil mengatakan itu pada semua orang. Beberapa gadis mengangguk tanda mengerti. Setelah Ibu melangkah pergi, beberapa gadis mulai berbisik. "Agata memang keterlaluan. Kakak kandungnya akan menikah, tapi di saat seperti ini dia masih bisa pergi bermain." "Benar sekali. Dia sungguh nggak tahu aturan. Dia nggak tahu tata krama sama sekali, sungguh nggak pantas." "Menurutku, dia merasa cemburu dengan Agita, jadi dia sengaja nggak muncul di pernikahannya untuk mempermalukan Agita." Topik diskusi beberapa gadis ini membuatku merasa sangat terkejut. Aku sama sekali tidak mengenal beberapa dari wanita ini, tetapi mengapa mereka membicarakanku hingga seperti ini? Aku tidak bisa menahan diri untuk berdeham, lalu menjelaskan dengan suara pelan, "Dia ada urusan mendadak yang harus ditangani di perusahaan. Dia bukannya sengaja pergi." Julia menatapku dengan bingung. "Agita, ada apa denganmu? Bukannya kamu paling membenci adikmu? Kenapa kamu membelanya hari ini?" Gadis-gadis lain juga menatapku. Ekspresi keraguan dan kebingungan tampak di wajah mereka. Aku segera menundukkan kepala, takut ada yang mengetahui kalau aku bukan Agita. "Agita, apakah adikmu menindasmu lagi? Jangan takut, kami pasti akan membelamu." Aku menggelengkan kepala, lalu berkata dengan gugup, "Nggak, aku .... Adikku nggak menindasku." Aku tidak berbohong. Meskipun Agita selalu mengeluh karena aku tidak memiliki sedikit pun sikap sebagai putri keluarga terhormat, aku juga merasa keseriusannya terlalu membosankan. Namun, aku tidak pernah menindasnya. Lebih tepatnya, dia yang lebih sering menindasku. Julia seperti kucing yang bulunya berdiri tegak, langsung mendekat ke hadapanku. "Dia nggak menindasmu? Agita, meskipun kamu punya sifat yang baik, kamu nggak bisa melindunginya seperti ini. Waktu kecil dia merebut pakaian, mainan, serta uang jajanmu. Waktu SMA, dia sengaja menggunting gaun tarimu hingga rusak, membuatmu nggak bisa tampil. Apa ini yang dibilang nggak menindas?" Gadis-gadis lain juga ikut bicara sekaligus. "Aku baru pertama kali melihat orang dengan hati sekejam Agata. Kalau aku punya Adik seperti ini, aku pasti sudah menghajarnya sejak lama." "Ya, dia sungguh nggak tahu aturan. Untungnya Agita nggak membiarkan kami bermain dengannya. Kalau nggak, mungkin kami akan menjadi korban penindasannya." Setelah mendengar kata-kata beberapa gadis itu, aku membelalakkan mata. Setiap kata yang mereka ucapkan bisa aku mengerti, tetapi aku tidak bisa memahaminya jika digabung. Kapan aku merebut barang Agita? Kapan aku menggunting baju tarinya hingga rusak? Kenapa dia berkata seperti itu tentangku? Tidak ada orang di lingkaran yang bersedia bermain denganku, apakah itu juga karena perintahnya? Ya, waktu kami masih sekolah, dia memintaku untuk tidak menemuinya di sekolah. Setiap kali aku mengatakan ingin bermain bersamanya, Agita selalu menatapku dengan pandangan merendahkan, mengatakan kalau kami tidak cocok bermain bersama. Pantas saja teman-temannya tidak menyukaiku. Pantas selalu ada orang yang entah kenapa memusuhiku. Ternyata dia yang sudah memfitnahku di belakang. Namun, mengapa dia melakukan ini? Bukankah kami keluarga? Hatiku merasa sangat sedih, tetapi di permukaan aku tidak bisa menunjukkannya. Aku hanya bisa berusaha keras untuk tersenyum, mencari alasan seadanya untuk menutupi hal ini. Di sudut yang tidak terlihat orang lain, aku berusaha menahan air mataku. Begitu Agita kembali nanti, aku pasti akan bertanya dengan jelas padanya. "Lihat, lihat, Pak Daniel sudah datang." Dengan teriakan gadis di samping, aku menatap ke luar jendela. Di lantai bawah, iring-iringan mobil Daniel datang untuk menjemput pengantin wanita. Sebuah Porsche berwarna gelap memimpin jalan, diikuti dengan mobil-mobil mewah lainnya di belakang, bergerak dengan prosesi yang megah. Daniel perlahan turun dari mobil sambil membawa bunga. Pria itu mengenakan setelan jas hitam dengan bahan berkualitas. Potongannya yang pas menggambarkan tubuhnya yang tinggi tegap, bahu lebarnya seakan memberikan rasa aman yang besar. Harus diakui, Daniel memang sangat tampan. Meskipun waktu SMA aku pernah mencaci Daniel berkali-kali di belakangnya, aku tidak pernah mengatakan hal buruk tentang wajahnya sedikit pun. Wajah Daniel halus dan berkarakter, seperti karya seni paling sempurna di dunia ini. Bibir tipisnya sedikit mengatup, memancarkan aura yang memukau. Mungkin karena takut tidak terlihat bagus, Daniel tidak menutupi matanya sama sekali. Dia seperti orang normal yang perlahan melangkah maju. Temannya, Lucas Carter, mengikuti di sampingnya. Mungkin dia takut Daniel akan terjatuh. Seolah merasakan sesuatu, Daniel mengangkat kepala untuk menatap ke arahku. Sepasang matanya yang berkilau tampak seperti bintang di tengah malam. Aku tidak bisa menahan diri untuk bertanya-tanya. Apakah orang yang matanya buta bisa memiliki pandangan secerah ini?

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.