Bab 17 Dipanggil ke Kediaman Besar
Aku bergeming di tempat, hanya menatap Varrel dalam diam. Saat ini, aku benar-benar tidak mengerti apa yang ada di pikiran pria itu. Awalnya, kupikir Varrel yang bisa mempertaruhkan nyawanya demi Yovie dan sangat mencintai Yovie pasti akan dengan mudah menyetujui perceraian kami untuk memberi Yovie sebuah rumah. Akan tetapi, kelakuan Varrel yang aneh tadi malam justru membuatku bingung.
Melihatku masih berdiri di sana, Varrel mengangkat alis, "Matahari terbit hari ini cukup bagus, lihat dulu sebelum pulang."
Jelas bahwa itu adalah pemberitahuan.
Dengan diam aku memandang matahari yang telah melampaui puncak gunung. Cahaya pagi yang menyilaukan menyinari tubuh, terasa sangat hangat. Entah berapa lama Varrel berencana menonton, maka aku hanya berdiri dengan cuek.
Melihatku bergeming, Varrel berdiri dan berjalan menghampiriku. Dia tidak menatapku, melainkan langsung masuk ke mobil.
Sepertinya tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Kami meluncur ke arah kota. Di sepanjang perjalanan, suasana di dalam mobil sangat hening. Hanya terdengar suara angin menggerakkan pepohonan di luar.
Alisku berkerut ketika menyadari Varrel mengemudi menuju Vila Permata Sari. "Menepi dan turunkan aku. Aku ...."
"Masih terlalu pagi untuk berangkat kerja. Pulang dan tidur lagi," kata Varrel dengan suara tenang dan berwibawa.
"Nggak perlu, aku akan istirahat di tempat Jessy." Aku tidak mengerti apa rencana Varrel sebenarnya. Tidak peduli bagaimana Varrel menangani urusan Yovie, aku tidak ingin kembali ke Vila Permata Sari saat ini.
Sementara kami berbicara, mobil sudah berhenti di luar vila. Tora memegang koper yang terasa agak familier bagiku. Sebelum aku sempat bertanya, Tora sudah menatap Varrel sembari berkata, "Pak Varrel, barang-barang Nyonya sudah dibawa pulang semua."
Varrel mengangguk dan berkata pada Tora, "Bawa masuk."
Tora mengangguk, lalu membawakan barang-barang ke dalam vila.
Aku mengernyit sambil memandang Varrel dengan sangat jengkel. "Ambil barang-barangku ke sini tanpa izin, inikah cara penangananmu?"
Varrel menatapku dengan sorot mata tenang dan dalam, "Kamu mau Nenek ikut campur dalam urusan kita?"
Aku terdiam oleh perkataan Varrel. Benar, jika Nenek Frida tahu aku pindah keluar, tak lama kemudian, Yovie dan rencana perceraianku pasti tidak bisa disembunyikan lagi. Keluarga Carter tentu juga akan mengetahuinya.
Aku menarik napas dalam-dalam dan pasrah. Setelah itu, aku berjalan ke dalam vila tanpa berkata apa-apa.
Di dalam vila, Varrel sepertinya tidak buru-buru berangkat kerja. Dia membuat secangkir kopi dan duduk di ruang tamu. Melihat pria itu tidak berniat pergi, aku mendekat dan berkata, "Varrel, aku nggak ingin terjebak dalam hubungan pernikahan yang nggak sehat. Apa pun pertimbanganmu, kita harus bercerai. Jadi, mengingat kita sudah hidup bersama selama dua tahun, kuharap kamu bisa menghargai pilihanku."
Varrel meletakkan cangkirnya dan menatapku dengan mata hitam yang tajam. Nada bicaranya penuh keyakinan dan keseriusan yang belum pernah kulihat sebelumnya. "Aku nggak akan bercerai, dan kamu nggak perlu mengorbankan dirimu. Sofia, dalam pernikahan kita, kamu adalah cucu menantu Keluarga Desta dan istriku, sama seperti sebelumnya. Kamu bisa terus bersikap arogan dan menjadi dirimu sendiri di hadapan siapa pun."
Varrel tertegun sejenak, lalu melanjutkan, "Tentang kehamilan Yovie, aku akan memberimu penjelasan."
Aku tidak mengerti maksud perkataan Varrel, tetapi melihat tatapannya yang yakin dan serius, untuk sesaat aku jadi percaya. Aku tidak tidur nyenyak semalam. Mungkin karena otak masih bingung dan tidak bisa berpikir jernih, sekarang aku tidak bisa menemukan kata-kata untuk menanggapi perkataan Varrel. Pada akhirnya, dengan diam aku kembali ke kamar dan berniat tidur sebentar.
Aku tidur sampai sore baru bangun. Saat turun tangga, aku melihat bahwa Tora sedang menunggu di bawah. Alisku berkerut. Apakah dia sengaja menungguku?
Begitu melihatku turun, Tora menyapa, "Nyonya sudah bangun."
Aku menatap Tora dan langsung bertanya, "Ada apa?"
Tora ragu sejenak, lalu melirik ke luar dan menerangkan, "Dari kediaman besar suruh Paman Rino menjemputmu ke sana."
"Ke sana?" Aku bingung sesaat. Aku menatap ke luar dan melihat mobil Rino memang terparkir di luar, sepertinya sudah menunggu cukup lama.
Tora mengangguk, tidak berkata apa-apa lagi.
Tidak tahu apa yang terjadi, maka aku tidak banyak bertanya. Aku menanyakan hal lain, "Di mana Varrel?"
"Pak Varrel sedang keluar karena ada urusan," jawab Tora. Dia tertegun sejenak, lalu berkata, "Pak Varrel memintaku menunggu di sini. Dia bilang kalau ada keperluan, bisa suruh aku."
Aku mengangguk. Aku mengambil jaket dan langsung pergi keluar.
Rino menunggu di luar. Ketika melihatku keluar, dia menyapaku dengan senyuman seperti biasa. Setelah basa-basi singkat, Rino memberi isyarat agar aku naik ke mobil. Adapun pertanyaanku tentang tujuannya menjemputku ke kediaman besar ....
Rino hanya tersenyum tipis dan berkata, "Nenek Frida yang minta kamu ke sana. Aku nggak tahu spesifiknya."
Aku mengangguk, lalu masuk ke dalam mobil.