Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 3 Licik

Mata Yovie membelalak. Dia memandangiku dengan panik dan berbisik marah, "Kamu sedang bertelepon dengan Varrel?" Aku mendongak ke arah Yovie dengan ekspresi polos, lalu mengangguk. "Ya, nggak sengaja telepon saat kamu datang." "Kamu ...." Melihat wajah Yovie yang panik, marah, dan pucat, hatiku merasa lebih lega. Panggilan belum terputus, tetapi pria di seberang sana tetap diam. Lama kemudian, barulah terdengar suaranya rendah dan kalem, "Kalau nggak ada yang lain, aku tutup." Jelas bahwa mengenai usaha Yovie dalam membujukku untuk bercerai, Varrel hanya mendengarnya sebagai tontonan belaka. Melihatku mengakhiri panggilan, Yovie memelototiku dengan marah. "Sofia, dasar kamu licik." Licik? Aku tersenyum tipis sembari menatapnya. "Kakak, apa kamu kurang paham dengan kata 'licik'? Tanah yang kamu injak sekarang ini adalah rumahku. Pria yang baru saja kamu minta untuk kutinggalkan adalah suamiku. Dari sudut pandang mana kamu menilaiku licik? Hmm?" "Sofia, yang dicintai Varrel itu aku!" Mungkin karena gusar, Yovie memelototiku, seolah-olah seluruh sel tubuhnya ingin memberitahuku bahwa Varrel mencintainya. Aku mengangguk, sama sekali tidak berniat untuk membantah. Aku menunjuk ke arah pintu. Bahkan malas untuk memasang senyum palsu, aku langsung berkata, "Pintunya di sana, hati-hati di jalan, nggak kuantar." Yovie masih memelototiku dengan emosi dan membentak, "Sofia, beraninya kamu? Seandainya dulu aku belum menikah, apa hakmu untuk menikah dengan Varrel? Varrel pasti nggak sudi memberi perhatian pada monster berhati dingin sepertimu ...." Aku sebenarnya tidak ingin mengusirnya, tetapi wanita ini terlalu berisik. Tak tahan lagi, aku berdiri dan mendorongnya keluar. Setelah menutup pintu, aku mengusap pelipis dan merasa agak pusing. Kehidupan pernikahanku dengan Varrel makin membosankan. Aku tidak bisa tidur lagi malam ini karena terlalu banyak tidur di siang hari. Inilah akibat dari pola tidur yang kacau. Varrel baru pulang pukul satu subuh. Aku agak terkejut saat mendengar suara mesin mobil di halaman. Yovie baru saja dipermalukan di hadapanku hari ini. Mengingat sifatnya yang seperti itu, mustahil Yovie akan membiarkan Varrel pulang ke rumah. "Kenapa belum tidur?" tanya Varrel. Dia mengganti sepatunya di pintu masuk, dan menggantungkan jasnya di gantungan. Sambil memainkan tablet, aku menjawab dengan nada cuek, "Terlalu banyak tidur di siang hari." Sofa di sampingku sedikit melesak ke bawah. Pria ramping itu duduk di sebelahku. Alisnya berkerut begitu melihat tablet di tanganku. "Mau renovasi rumah?" Napasnya yang panasnya samar-samar berembus di telingaku, terasa agak gatal. Aku menaruh tabletku, lalu menoleh ke arahnya. "Bolehkah?" Ekspresi Varrel datar. Dia mengangguk. "Rumah ini juga milikmu, kamu punya hak untuk memutuskan." Setelah itu, Varrel melihat arloji di tangannya. Dia berdiri dan berkata, "Sudah larut, ayo tidur." Melihat sosok yang tinggi itu menjauh, aku agak sulit membaca perasaannya. Rumah ini dibeli dan direnovasi di saat cinta Varrel dan Yovie sedang hangat. Di dalamnya ada banyak jejak cinta mereka. Varrel dengan begitu mudah menyetujui untuk merenovasi ulang? Selama dua tahun ini, aku merasa cukup nyaman tinggal di sini, jadi tidak terlalu mempermasalahkannya. Namun, hari ini Yovie benar-benar membuatku jengkel. Oleh karena itu, aku tiba-tiba ingin mengganti suasana. Di kamar tidur, aku tidak melihat Varrel. Terdengar suara air dari kamar mandi terdengar suara air, sepertinya Varrel sedang mandi. Setelah merapikan tempat tidur, aku langsung berbaring dan mulai menonton video. Tidak lama kemudian, Varrel keluar dari kamar mandi. Postur tubuhnya selalu dijaga dengan baik. Varrel hanya membungkus tubuh bagian bawahnya dengan handuk, memperlihatkan otot dadanya yang kokoh. Warna kulitnya yang sawo matang samar-samar memancarkan aura liar dan memberikan kesan sangat kuat. Aku awalnya asyik menonton video, tetapi karena ada pria tampan berdiri di depan, mataku tanpa sadar beralih padanya. Mungkin karena menyadari pandanganku, Varrel menoleh kemari. Melihatku memandanginya, Varrel langsung mendekat dan melemparkan handuknya padaku, lalu berkata dengan nada datar, "Keringkan rambutku." "Hhmm?" Aku termangu. Selama dua tahun ini, selain komunikasi yang diperlukan, kami hampir tidak pernah mengobrol lama-lama, apalagi meminta hal intim seperti mengeringkan rambut satu sama lain. Varrel sudah duduk di tempat tidur. Setelah ragu sejenak, aku akhirnya bangun dan berlutut di samping Varrel untuk mengeringkan rambutnya. Rambut Varrel lebat dan pendek, sebentar saja sudah kering. Aku meletakkan handuk dan bersiap untuk berbaring lagi, tetapi tiba-tiba direngkuh Varrel ke dalam pelukannya. Gerakannya begitu mulus sampai membuatku terbengong. Menatap mata yang hitam pekat itu, aku sedikit gagap, "Va ... Varrel." Berbeda dengan diriku yang panik, Varrel sepertinya melakukan semuanya dengan wajar. Setelah dua tahun menikah, ada beberapa hal yang telah menjadi kesepakatan tak terucap antara kami. Aku tahu apa yang akan Varrel lakukan selanjutnya. Seperti biasa, aku menanggapinya. Namun, ketika tangan Varrel menyentuh perutku, segalanya seakan-akan berhenti. Aku menyadari kejanggalan ini dan menatap Varrel. "Ada ... ada apa?"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.