Bab 17 Tombol Jeda Yansen
"Baik."
Entah dia sedang mabuk atau tidak. Kalau dibilang mabuk, dia masih bisa menggendong Kirana dengan kuat masuk ke kamar, tapi kalau dibilang tidak mabuk ... sikapnya yang tergesa dan liar seperti ini, benar-benar tidak seperti Yansen biasanya yang selalu tenang sampai terkesan dingin!
Kirana mengalihkan pandangannya pada tato di tulang selangka pria itu, lalu menggigitnya dengan kuat.
"Maaf, aku ... "
"Pak Yansen, tolong ... ini terakhir kalinya untuk malam ini, ya?" Suaranya serak, nada bicaranya mengandung rayuan sekaligus permohonan.
Yansen tidak menjawab, tapi begitu selesai, dia langsung bangkit menuju kamar mandi.
Kirana berpikir, sepertinya dia sudah menemukan tombol jeda Yansen!
Barusan, dalam keadaan terdesak, dia menggigit tato itu memang untuk mengingatkan Yansen, agar dia teringat orang yang ada di hatinya.
Ternyata benar!
Akhirnya pria itu melepaskannya.
Memanfaatkan waktu ketika Yansen sedang mandi, Kirana segera mengenakan kembali pakaiannya dan mengambil laptop. Begitu pria itu keluar dengan mengenakan jubah mandi hitam, dia buru-buru berkata, "Untuk pemeriksaan menyeluruh Proyek Auraya saya berniat mengulanginya dari awal. Besok juga saya akan menghubungi penanggung jawab mereka. Tadi saya sudah menulis ulang kontraknya, khusus menekankan bagian pelanggaran. Bisa nggak Anda bantu saya melihatnya?"
Kirana yang selalu menyapanya dengan kata "Anda", benar-benar seperti seorang asisten yang mengejar bos sampai ke rumah demi bekerja.
Yansen mengerutkan alis tebalnya, tangannya mengusap-usap rambutnya yang masih meneteskan air.
"Tadi kamu bilang capek, bukan?"
Kirana langsung paham maksudnya, bibirnya terasa kaku. "Aku, aku ... "
"Nanti asisten akan mengantarkan makan malam."
"Ah?"
"Kita makan sambil bicara."
Kirana sempat terpaku menatap punggungnya.
Bukannya tadi dia bilang ada jamuan?
Kenapa sekarang malah menyuruh asisten mengirimkan makan malam ...
Kebetulan juga, dia memang belum makan malam.
Kirana pun mengikutinya ke ruang makan. Kali ini asisten mengirimkan berbagai hidangan laut dan masakan mahal. Hanya dengan melihat tampilannya di meja saja sudah tahu harganya pasti tidak mungkin terjangkau olehnya.
"Makanlah, semua tanpa bawang putih." Yansen memberi isyarat dengan matanya agar Kirana mulai makan, sementara dia sendiri mengambil seekor kepiting dan mulai mengupasnya.
Sebelumnya, Kirana tidak memperhatikan, ternyata tangan pria itu sungguh indah, kulitnya putih pucat, sendi-sendinya tegas, jarinya panjang ramping.
Pria ini, sepertinya memang tidak ada kekurangannya.
"Pak Yansen juga nggak makan bawang putih?"
Yansen hanya fokus pada kepiting di tangannya, beberapa detik kemudian baru menjawab singkat sambil bergumam.
Kirana memang benar-benar lapar, lagi pula Yansen yang mengundangnya makan, kalau terlalu sungkan malah jadi canggung.
Setelah menunduk makan beberapa saat, dia baru menyadari bahwa semua daging kepiting yang dikupas Yansen akhirnya masuk ke dalam mangkuknya!
"Pak Yansen?"
"Makanlah." Yansen jelas tidak berniat menjawab pertanyaannya, suaranya terdengar hangat. "Menghadapi situasi semacam ini, nggak bisa hanya mengandalkan kontrak untuk mengekang. Kalau mau dana cair benar-benar bisa menutupi jumlah investasi yang dijanjikan, ada banyak cara lain. Bisa dipilih pihak ketiga untuk menambal kekurangan, atau bisa juga mengajukan permohonan ke kantor pusat, lalu meminjamkannya kepada pihak mitra dalam bentuk pinjaman, dengan begitu proyek masih bisa dimulai kembali."
Kirana langsung tercerahkan. Dia segera meletakkan sendoknya dan bersiap menulis surat permohonan.
Namun, pergelangan tangannya langsung dicekal oleh Yansen. Saat dia menoleh, tatapannya langsung bertemu dengan mata Yansen yang tajam dan indah.
Kedalaman di mata pria itu makin pekat, bahkan sorot matanya terasa membara.
"Masih punya tenaga sebanyak ini?"
Kirana membuka mulut dengan suara serak, "Tadi aku sudah bilang ... "
"Aku nggak setuju."