Bab 16 Nomor Tak Dikenal
Melihat wajah putrinya yang sangat kelelahan, akhirnya Yunita hanya bisa menghela napas panjang.
"Maafkan Ibu, semua ini salah Ibu, sudah membebanimu!"
Dia sendiri tahu seharusnya dia tidak terus-menerus menanamkan rasa takut terhadap pria kepada putrinya. Bagaimanapun, suatu saat nanti anaknya pasti akan menikah. Tapi dia memang takut!
Takut putrinya nanti salah langkah juga dan terluka!
"Mana ada yang membebani, Bu. Setelah operasi ibu berhasil, dokter bilang Ibu mungkin sudah bisa berjalan! Nanti pasti Ibu akan buatkan semangkuk pangsit untukku, aku sudah nggak sabar mau makan."
"Baik, baik." Yunita mengangguk, lalu tiba-tiba teringat sesuatu. "Pacarmu itu, suruh dia datang, Ibu mau bertemu dengannya."
Kirana tertegun, dengan merasa bersalah dia menoleh dan mengambil apel untuk dikupas. "Dia sangat sibuk, urusan perusahaannya terlalu banyak."
"Ayahmu itu dulu juga ... "
"Ibu!" Dia segera memotong. "Nggak semua orang seperti dia."
Setidaknya insting Kirana mengatakan, Yansen bukanlah orang seperti itu.
Di telinga Yunita, kata-kata itu terdengar lebih seperti anaknya sedang membela pacarnya!
Wajahnya pun langsung berubah dingin. Meski tidak mengatakan apa-apa lagi, dia juga tidak menerima apel yang disodorkan Kirana.
Langit di luar perlahan mulai gelap.
Karena ibunya sudah ada yang merawat, sementara besok pagi dia harus kembali ke kantor, setelah ibunya tertidur, Kirana pun meninggalkan rumah sakit.
Sesampainya di luar, dia menarik napas panjang, lalu melambaikan tangan memanggil taksi, sesuai arahan Yansen menuju ke tempat tinggalnya.
Baru saja turun dari taksi, ponsel di dalam tasnya berdering.
Dia menunduk dan melihat, terlihat sederetan nomor tak dikenal.
[Sudah pulang?]
Suara Yansen yang dalam dan berkarisma ini begitu khas, sulit baginya untuk tidak mengenali.
"Ya, aku sudah sampai."
"Ada jamuan mendadak di sini, aku harus pulang agak larut. Kamu duluan saja masuk. Kode pintunya FS0825."
Ketika kembali mendengar deretan angka itu, dia refleks tertegun sejenak, baru kemudian menjawab iya.
Setelah masuk, Kirana mengganti sepatu sambil berpikir, arti dari 0825 ini mungkin lebih dalam daripada yang semula dia bayangkan!
Dia tidak menghapus tato itu, juga tidak mengganti sandi, ini berarti di hati Yansen masih ada orang itu.
Jadi alasan dia membutuhkan seorang pasangan menikah, sepertinya benar-benar karena ingin membuat seseorang cemburu, yaitu orang yang disebut Janna, kepala pengacara bernama Wanda Siswanto itu.
Lihat saja sandi pintu rumah Yansen, F untuk Feriawan, S untuk Siswanto, benar-benar mudah sekali dipecahkan.
Kirana sendiri tidak bisa menjelaskan perasaannya saat ini, ya, kemungkinan besar dia hanya dijadikan pengganti.
Semula dia ingin melepas mantel lalu langsung menyalakan laptop untuk bekerja, namun begitu mengangkat kepala, matanya langsung tertarik pada sebuah kantong besar di pintu masuk. Isi kantong itu adalah kondom yang dikirim asisten Yansen.
Mengatakan sekantong besar itu sama sekali tidak berlebihan, di dalamnya ada lebih dari sepuluh kotak berwarna merah hijau mencolok.
Kirana spontan terbatuk kecil, wajahnya langsung merona merah, lalu buru-buru menghindar dari sana seakan sedang menghindari virus.
Beberapa menit kemudian, layar monitornya menyala. Di aplikasi internal perusahaan, pesan dari Janna langsung muncul begitu dia terlihat online.
[Siapa suara pria waktu di telepon tadi?]
[Dokter rumah sakit.] Kirana memilih untuk tidak memberi tahu Janna, toh ini bukan hal yang membanggakan. Kontraknya juga hanya setahun, dia pikir masih bisa menyembunyikannya.
Setelah hanya membalas satu pesan itu, dia pun membuka berkas Proyek Auraya dan mulai mengeceknya satu per satu.
Entah sudah berapa lama, tiba-tiba terdengar suara kunci dibuka dari arah depan.
Kirana berdiri dan berjalan ke pintu. Belum sempat berbicara, tubuh tinggi tegap Yansen langsung menekannya ke dinding ruang tamu, lalu ciuman yang penuh aroma alkohol menyerangnya dengan ganas!
"Pak, Pak Yansen! Jangan di sini, kumohon ... "