Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa
Cinta Salah KirimCinta Salah Kirim
Oleh: Webfic

Bab 3 Bukankah Kirana Asisten?

Janna yang memang bersuara lantang, tiba-tiba berseru sehingga menarik perhatian semua orang, termasuk Yansen. Untungnya, dia hanya melirik sekilas lalu mengalihkan pandangannya. Tanpa berkata apa pun, dia melangkah pergi meninggalkan hotel. Setelah semua orang pergi, Janna segera mendekat dengan wajah penuh rasa ingin tahu. "Eh? Kenapa Pak Yansen bertanya begitu, ya?" Dia benar-benar bingung. Tadinya dia pikir akan terjadi sesuatu yang heboh, tapi ternyata hanya begitu saja? Sebaliknya, Kirana justru merasa lega seolah mendapat pengampunan. Dia menghela napas, lalu dengan suara serak berkata, "... Pemandangan dari kamarku bagus, mungkin dia mau menukar kamar." "Hanya itu?" "Dia 'kan Presdir." Janna mencibir, merasa memang tidak mungkin ada hubungan apa pun di antara mereka, perbedaan statusnya terlalu besar. "Kamu bilang, pria sedingin Pak Yansen itu, kalau di ranjang kira-kira akan bergairah membara nggak, ya?" Kirana terdiam. Bergairah membara itu memang agak berlebihan ... "Berhenti, berhenti, apa sih yang sedang kupikirkan ini!" Kirana menjerit dalam hati. Benar saja, dekat dengan yang baik akan jadi baik, dekat dengan Janna pasti akan ikut-ikutan mesum. Tak lama kemudian, Pak Rainer tiba di lobi dengan setelan rapi, mengenakan jas dan sepatu kulit formal, rambutnya sudah mulai menunjukkan tanda-tanda botak di bagian tengah. Dia menerima dokumen dari tangan Kirana, lalu setelah mempelajarinya sebentar, suaranya terdengar tidak senang. "Dalam dua tahun terakhir, skema pendanaan internal diperketat. Susah payah kita dapatkan proyek ini, sekarang malah muncul masalah seperti ini! Kalau dana tambahan yang harus dipenuhi terlalu banyak, kalian semua jangan berharap bakal dapat bonus!" Kirana tidak berkata apa-apa, sementara Janna diam-diam melemparkan tatapan sinis. Bukankah semua ini gara-gara ulah Pak Rainer sendiri? Hanya demi memenangkan proyek, mereka sampai berani menyetujui jadi pihak yang harus menutup kekurangan modal! Tiba-tiba, pandangannya beralih pada Kirana seakan sedang menimbang sesuatu. Nada suaranya pun berubah dari ketus menjadi jauh lebih ramah. "Kirana, kalau nggak salah ... kamu orang Kota Jintara, 'kan?" "Ya, dari wilayah Senaya, Kota Jintara." "Pak Yansen juga orang Kota Jintara, nanti malam aku akan cari cara untuk mengajaknya makan. Kamu bisa pakai alasan sesama orang sekampung halaman untuk mencari tahu pendapatnya?" Meskipun terdengar seperti meminta pendapat, jelas-jelas dia tidak memberi kesempatan bagi Kirana untuk menolak! Namun, begitu terpikir harus bertemu dengan Yansen ... Kirana mencoba menolak dengan halus. "Pak Rainer, sepertinya status saya nggak cukup pantas untuk bicara langsung dengan Pak Yansen." "Kalau sudah duduk semeja, minum bersama, lalu berbincang sedikit, itu hal yang wajar, bukan?" "Tapi ... " "Sudah diputuskan begitu, malam ini kamu harus berdandan yang cantik, jangan sampai mempermalukan aku!" Setelah mengatakan itu, Pak Rainer langsung berjalan keluar hotel, sementara Janna hanya bisa berbalik, dan memutar bola matanya sebelum menarik Kirana untuk mengikutinya. ... Sore harinya, setelah putaran pertama negosiasi dengan pihak Perusahaan Hanaya selesai, Kirana segera didesak oleh Pak Rainer untuk kembali ke hotel dan bersiap-siap. Entah bagaimana caranya, yang jelas Yansen benar-benar hadir di ruang jamuan hotel itu. Begitu Kirana masuk, pandangan pertamanya langsung jatuh pada sosok pria yang duduk di kursi utama. Yansen melepas jasnya dan menyampirkannya di sandaran kursi. Dengan jari-jarinya yang panjang, dia membuka beberapa kancing teratas kemeja putihnya. Kulitnya yang pucat dingin, berpadu dengan kacamata bingkai emas yang bertengger rapi di batang hidung, memancarkan aura menahan diri yang justru makin menggoda. Di dalam ruang jamuan itu hanya ada empat orang, dirinya bersama Pak Rainer, Yansen, serta sekretaris pribadinya. Melihat Kirana terdiam tak bergerak, Pak Rainer langsung maju membukakan kursi yang paling dekat dengan Yansen. "Ayo, Kirana, duduklah di sini." Kirana tak bisa berkata-kata. Ujung kaki Kirana sempat ragu, namun akhirnya dia tetap memberanikan diri melangkah ke sana. Belum sempat dia duduk, terdengar suara dingin Yansen, "Bukannya Kirana itu asisten? Kok sekarang jadi bagian Humas?"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.