Bab 3
Dia bahkan tidak menatap Raina sekali pun, dan langsung berkata kepada sang dosen, "Saya melihat sendiri Nadya mengerjakannya hingga larut malam. Dia nggak mungkin plagiat. Mengenai kemiripannya, saya rasa ... "
Dia berhenti sejenak, lalu melirik Raina. "Seharusnya ditanyakan pada orang lain."
Dosen itu tentu sudah tahu hubungan Raina dengan Adrian. Kini, saat melihat Adrian sama sekali tidak membela pacarnya, malah memberi kesaksian untuk Nadya, ditambah latar belakang keluarga Adrian yang kuat, penilaian dosen itu pun lebih condong ke salah satu pihak.
Dia marah besar dan menunjuk Raina. "Raina! Apa lagi yang ingin kamu katakan? Saksi dan bukti sudah lengkap! Kamu benar-benar membuat saya kecewa!"
Raina menatap Adrian dengan tak percaya.
Dulu, mungkin dia masih tidak mengerti mengapa Adrian bersikap seperti itu padanya.
Namun sekarang, setelah mengetahui semua kebenarannya, apa lagi yang tidak dia pahami?
Adrian rela berpura-pura menjalin hubungan dengannya demi Nadya, bahkan menyebarkan foto-foto pribadinya. Kini, menimpakan tuduhan plagiarisme Nadya padanya pun bukan hal yang mengejutkan.
Raina merasakan sakit yang menusuk hati, namun dia juga tahu, apa pun penjelasannya akan terasa tak berarti di hadapan kata-kata Adrian itu.
Dosen pembimbing mempersilakan Adrian dan Nadya keluar terlebih dahulu, kemudian menegur Raina dengan keras, menyatakan skripsinya dibatalkan, dan mencatatnya dalam arsip akademik.
Raina keluar dari kantor dosen dengan perasaan hampa.
Begitu menjejakkan kaki di lorong, dia melihat Adrian berdiri sendiri bersandar di dinding, jelas sedang menunggunya.
Raina berhenti melangkah dan menatap pria di depannya yang telah dia cintai selama dua tahun, namun sejak awal hanya menipunya, memanfaatkannya, dan menyakitinya. Dengan suara dalam dan bergetar, dia berkata, "Adrian ... bukankah seharusnya kamu memberiku penjelasan?"
Adrian menatapnya dengan dingin dan acuh. "Kemarin, skripsi Nadya nggak sengaja terhapus, dan tenggat pengumpulan sudah dekat. Jadi, dia memintaku untuk sekadar melihat skripsimu sebagai referensi."
Referensi?
Yang dia lakukan justru menyalin-tempel, bahkan kesalahan tulisannya pun sama persis.
Raina merasakan sakit yang begitu tajam hingga dadanya terasa sesak.
Adrian melanjutkan dengan suara dingin dan merdu, tapi sangat kejam, "Kuota beasiswamu sudah dibatalkan, sementara Nadya masih harus bersaing. Jadi, skripsi ini sangat penting baginya. Lagipula ... reputasimu sudah hancur, jadi skripsi itu sudah nggak penting lagi bagimu."
Tidak penting lagi ...
Setiap kata yang keluar dari mulut Adrian hanya tentang Nadya, tanpa pernah memikirkan perasaan Raina, tanpa pernah peduli betapa sedihnya dia.
Kesedihan dan amarah yang luar biasa seketika membanjiri Raina. Dia tak lagi menahan diri, melainkan menangis dan berteriak dengan histeris, meluapkan semua rasa sakit, ketidakadilan, dan putus asa yang dirasakannya.
Mungkin ini pertama kalinya Adrian melihat sisi putus asa dari Raina yang biasanya lembut dan patuh. Alisnya pun sedikit berkerut.
Dulu, setiap kali mereka berselisih paham, cukup dengan satu kerutan di alisnya, Raina pasti langsung mengalah, sekalipun dia harus menyerahkan skripsinya kepada Nadya
Apa yang terjadi kali ini?
"Cuma skripsi saja, kenapa harus dibesar-besarkan?" kata Adrian sambil mengerutkan kening dan menggenggam pergelangan tangannya. "Sudahlah, bukankah kamu selalu ingin makan malam denganku? Kebetulan hari ini aku punya waktu, ayo pergi."
Raina tiba-tiba menepis tangan Adrian dengan keras, melampiaskan seluruh keputusasaan dan kemarahan yang telah lama dia pendam.
"Aku nggak mau!" Suaranya bergetar karena emosi. Dengan mata memerah, dia menatap pria yang dulu dia cintai dengan sepenuh hati. "Adrian, aku nggak sebodoh itu! Kalau kamu memang nggak mau makan malam denganku, maka jangan pernah ajak aku lagi!"
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Raina berbalik dengan tegas dan nyaris berlari meninggalkan tempat yang membuatnya merasa sesak.
Adrian tetap berdiri di sana, menatap Raina yang untuk pertama kalinya menunjukkan perlawanan yang begitu kuat, bahkan bisa dibilang menentangnya. Di wajahnya yang biasanya tenang dan dingin, muncul kerutan samar yang mencerminkan kebingungan dan ketidaknyamanan.
Dulu, setiap kali Raina menatapnya, matanya selalu memancarkan kekaguman dan kepatuhan tanpa syarat.
Apa pun yang Adrian katakan, Raina selalu menurutinya.
Cukup dengan satu kerutan di alisnya, Raina akan langsung bertanya-tanya apakah dia telah berbuat salah, lalu dengan suara lembut mencoba menenangkannya.
Namun sekarang ... cahaya yang dulu selalu bersinar di mata Raina seolah telah padam. Yang tersisa hanyalah tatapan dingin, penuh keputusasaan dan jarak yang tak bisa Adrian pahami.
Apakah ini hanya karena masalah skripsi?
Adrian bertanya dalam hati.
Sungguh, Raina terlihat tidak masuk akal.
Namun Adrian tidak mengejarnya.
Bagi dirinya, semua ini hanyalah masalah sepele yang tak layak dipikirkan terlalu dalam. Membujuk Nadya memang butuh usaha dan perhatian. Tapi Raina?
Tidak perlu.
Dia akan baik-baik saja.
Tanpa sedikit pun keraguan, Adrian mengalihkan pandangannya dan berbalik, melangkah pergi ke arah lain.