Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 4

Raina pergi ke kantin seorang diri. Dia makan sedikit, namun rasanya hambar. Setelah itu, dia langsung menuju bagian akademik untuk mengurus proses pengunduran diri. Saat staf akademik mendengar alasan Raina adalah untuk melanjutkan studi ke luar negeri, mereka sempat merasa sayang atas prestasi Raina yang dulu begitu gemilang. Namun, mereka tak bisa mengabaikan skandal foto pribadi yang baru-baru ini ramai dibicarakan, ditambah insiden plagiarisme yang baru saja terjadi. Maka, mereka hanya memberikan tanggapan formal dan tidak berusaha menahannya lebih jauh. "Proses pengunduran diri butuh beberapa hari untuk disetujui. Selama itu, kamu tetap bisa mengikuti kelas seperti biasa," ujar staf akademik. "Terima kasih, Pak," jawab Raina pelan, tanpa ekspresi di wajahnya. Hari itu, dia mengikuti kelas seperti bayangan tanpa jiwa. Kosong, hampa, dan nyaris tak sadar akan sekelilingnya. Begitu bel tanda akhir pelajaran berbunyi, Raina memeluk buku-bukunya dan berjalan keluar bersama kerumunan mahasiswa lain. Saat melewati taman kecil di kampus, dia melihat banyak orang berlari tergesa-gesa ke satu arah, disertai suara riuh penuh antusiasme dan bisik-bisik penasaran. "Cepat! Cepat! Di depan ada yang berkelahi!" "Astaga, itu Adrian! Ini pertama kalinya aku lihat si idola kampus marah sebesar itu!" "Dia bertengkar demi Nadya! Dia benar-benar marah demi sang pujaan hati!" Langkah Raina terhenti. Jantungnya seperti ditusuk jarum. Meski tidak terlalu dalam, tapi cukup untuk membuatnya nyeri. Entah kenapa, Raina melangkah mengikuti kerumunan, dan memang benar, dia melihat kerumunan kecil di depan. Di tengah keramaian, Adrian sedang bergumul hebat dengan seorang mahasiswa laki-laki. Biasanya dia selalu tampil tenang dan menjaga wibawa, namun kali ini seolah ada sesuatu yang menyentuh titik rawannya. Gerakannya kasar dan penuh amarah, setiap pukulan menghantam dengan kekuatan nyata. Wajahnya yang biasanya memukau kini dipenuhi amarah yang jarang terlihat. Potongan-potongan percakapan dari orang-orang di sekitarnya menyusup ke telinga Raina. "Dengar-dengar, pria itu menyatakan cinta pada Nadya tapi ditolak, terus malah berani pegang-pegang dia ... " "Adrian biasanya sangat tenang, kenapa sekarang bisa sampai bertindak kasar begitu ... " "Tapi bukankah Raina pacarnya? Kenapa dia bisa segitu marahnya demi Nadya?" "Eh, kamu masih belum paham juga? Foto-foto Raina yang tersebar itu ... mana mungkin Adrian nggak kepikiran? Pasti dia udah muak dari dulu ... " Ucapan-ucapan itu menyusup ke telinga Raina, menusuk pelan namun menyakitkan. Meski hatinya sudah lama tandus, tetap saja rasa perih itu muncul. Saat itulah, dari tengah kerumunan, Nadya menerobos maju seperti anak rusa yang ketakutan. Sambil menangis, dia memeluk pinggang Adrian dari belakang. "Adrian ... jangan berkelahi lagi ... aku takut ... kumohon, berhentilah ... " Gerakan Adrian tiba-tiba terhenti. Dia melepaskan pria yang wajahnya sudah babak belur, lalu berbalik. Amarah yang tadi membara di wajahnya lenyap seketika, digantikan oleh kelembutan yang begitu asing, yang belum pernah Raina lihat sebelumnya. Dengan hati-hati, Adrian menyeka air mata Nadya. Suaranya rendah dan dalam, cukup untuk menenggelamkan siapa pun dalam pesonanya. "Jangan takut, aku sudah berhenti. Maaf kalau membuatmu takut ... " Kelembutan dan perhatian yang begitu total itu terasa seperti bilah es beracun yang menusuk langsung ke jantung Raina, menghancurkan sisa-sisa harapan yang selama ini dia coba pertahankan. Adrian tak pernah menatapnya dengan sorot mata seperti itu. Dia juga tak pernah menggunakan nada selembut itu untuk menenangkan Raina. Bahkan dalam hubungan paling intim sekalipun, Adrian merasa jijik sampai-sampai menyuruh adiknya sendiri untuk menggantikannya. Raina benar-benar tak habis pikir, seberapa buta dirinya dulu, sampai bisa percaya bahwa Adrian pernah menyukainya? Tepat saat pikiran itu berputar di kepalanya, pandangan Adrian tanpa sengaja menyapu kerumunan dan bertemu langsung dengan tatapan Raina. Adrian kembali tertegun, seolah tak menyangka Raina ada di sana. Sekilas, emosi rumit melintas di matanya, begitu cepat hingga dia sendiri tak menyadarinya. Bibirnya sedikit bergerak, seolah ingin mengatakan sesuatu. Namun Raina lebih dulu mengalihkan pandangan, seakan hanya melihat orang asing yang tak berarti, lalu berbalik tanpa ekspresi dan pergi. Adrian menatap Raina yang pergi tanpa ragu, alisnya tanpa sadar berkerut semakin dalam. "Kenapa, Adrian?" tanya Nadya lembut, bersandar di pelukannya. "Nggak apa-apa," jawab Adrian sambil menarik kembali pandangannya. Nada suaranya kembali lembut, tapi rasa aneh di hatinya tetap tak bisa diusir. Dia mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan kepada Juan, menceritakan secara singkat tentang pertengkarannya dengan Raina hari ini dan insiden perkelahian tadi. Dia memintanya untuk menenangkan Raina saat berkunjung malam nanti. Juan segera membalas. [Hah? Aku masih harus membujuknya? Langsung putus saja.] Adrian menatap balasan itu, dan jarinya terhenti sejenak di layar. Benar juga. Apa dia masih perlu membujuk Raina? Adrian sendiri pun tak tahu pasti. Setelah diam sejenak, dia mencari alasan yang terdengar masuk akal. [Kuota beasiswa belum resmi diberikan ke Nadya. Lagipula, sandiwara ini harus dijalankan sepenuhnya. Kalau emosi Raina meledak dan dia membuat keributan, bisa-bisa Nadya ikut kena dampaknya.] Juan langsung membalas. [Oke, aku paham. Nanti malam aku akan pulang dan tenangkan dia.] Malam itu, Raina kembali ke apartemen dengan tubuh dan hati yang lelah. Dia langsung berbaring dan tidur lebih awal. Tak lama kemudian, terdengar suara di pintu. Juan sudah pulang. "Raina, kenapa kamu tidur cepat hari ini?" tanyanya sambil mendekat, nada suaranya masih membawa keakraban santai yang biasa dia pakai. Raina tetap membelakanginya dan menjawabnya dengan suara datar, nyaris tanpa emosi, "Nggak apa-apa. Aku cuma lelah." Mendengar nada dinginnya, Juan langsung memeluknya dari belakang dan mulai membujuk dengan cara yang sudah sangat dia kuasai. Dia mengulang-ulang alasan palsu yang sama tentang masalah skripsi dan perkelahian tadi siang. Raina mendengarkan dengan hati yang mati rasa, sambil berpikir. Satu bertugas melukai, satu lagi bertugas menenangkan. Kedua kakak beradik itu benar-benar kompak, seperti sandiwara yang sudah dilatih sempurna. Dia menutup mata, tak ingin mengucapkan satu kata pun lagi. Melihat Raina tak merespons, Juan seperti biasa mendekat, mencium lembut lehernya, dan mulai bertindak tak sopan dengan tangannya.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.