Bab 1
Ketika Sally Winata sampai ke vila tengah gunung dengan tergesa-gesa, pesta sudah dimulai.
Orang di depan pintu terkejut karena tidak menyangka Sally akan datang.
"Bu Sally, kenapa kamu ke sini? Mereka semua sudah selesai makan ...."
Suaminya lupa mengajak Sally, istrinya, ke pesta ulang tahunnya. Dari sekian banyak orang di lingkaran pertemanan itu, tak seorang pun memberi tahu Sally.
Sally tersenyum pada penjaga pintu. Ketika Sally hendak mendorong pintu vila, dia mendengar percakapan di dalam.
"Kak Octa, hadiah apa yang kamu berikan? Kak Albert terus memperhatikan kantongmu, sudah menunggu dari tadi."
"Apa benar aku begitu?"
"Tentu saja, kantong itu bisa-bisa dilubangi oleh matamu. Kak Octa akhirnya pulang dari luar negeri, sebaiknya kamu segera bercerai dengan Sally. Jangan membuat semua orang nggak senang."
"Betul, Sally memberimu obat untuk menidurimu waktu itu. Kalau bukan karena kamu berhati lembut sehingga menikahinya demi nama baiknya, Sally pasti sudah dihujat mati-matian."
Pria yang duduk di tengah mengenakan setelan jas berwarna gelap, dengan dua kancing kemejanya terbuka. Struktur tulang pria itu tajam dan dominan. Pria itu mempunyai hidung mancung, dan bibir tipis bagaikan kupu-kupu yang indah, tetapi beracun. Matanya yang sedikit terangkat saat ini memancarkan kesombongan yang dingin dan angkuh.
"Nggak perlu buru-buru."
"Kak Albert, sudah tiga tahun, ini masih buru-buru? Sally-lah yang membuat kakak kandung Kak Octa menjadi koma waktu itu. Kalau bukan karena nenekmu melindunginya, kami pasti sudah membunuh wanita itu."
Albert memainkan korek api dengan jari-jemarinya yang elok. Dari sudut mata, dia melihat sekilas bayangan di pintu.
Barulah semua orang sadar, Sally sudah lama berdiri di sana.
Seseorang bertanya dengan suara pelan, "Siapa dari kalian yang memberitahunya?"
Tidak ada yang merespons. Jelas bahwa wanita itu datang tak diundang.
Sally menunduk. Sosoknya memancarkan aura tenang dan jernih, dengan wajah berbentuk lonjong. Sally mengenakan sweter wol warna lembut, dan poninya tersisip rapi di belakang telinga. Sekilas, tak ada yang menyangka bahwa gadis dengan penampilan seperti itu mampu melakukan hal-hal yang memalukan. Namun nyatanya, dialah pelakunya.
Sambil memegang hadiah di tangannya, Sally menatap Albert yang duduk di tengah. Dadanya terasa seperti dililit kawat, begitu sakit hingga membuat Sally mengepalkan tangan.
Sally berjalan ke arah Albert. Sebelum Sally sempat memberikan hadiahnya, Albert mengernyit dan berkata dengan nada sarkas, "Siapa yang menyuruhmu datang?"
Cibiran yang datang dari sekeliling meruntuhkan harga diri Sally.
Octaviani yang duduk di samping memelototi Albert. Lalu, Octaviani mengajak Sally duduk. "Ini istrimu, sudah sepantasnya datang memberikan hadiah padamu. Sally, ayo duduk. Albert memang begini orangnya."
Sally mengatupkan bibirnya dan tidak berkomentar. Dia adalah istri Albert, tetapi justru mantan tunangan Albert yang membelanya. Sally tetap datang, padahal tak seorang pun dari mereka yang menyambutnya karena ketika Albert berumur 18 tahun, Albert berkata bahwa mereka akan merayakan ulang tahunnya yang ke-28 bersama.
Sally langsung duduk di sebelah Albert dan menjauhkan Octaviani.
Ekspresi Octaviani membeku sejenak dan agak masam. Lalu, dia bertanya, "Hadiah apa yang kamu siapkan untuk Kak Albert?"
Ada yang langsung membuka hadiah Sally, yaitu syal. Tidak ada label, sepertinya hasil kerajinan tangan.
Octaviani berseru, "Wah, kita benar-benar sehati. Aku juga memberikan syal untuk Kak Albert."
Kedua syal itu diletakkan bersebelahan. Keduanya sama-sama adalah hasil kerajinan tangan, tidak bisa ditentukan mana yang lebih bagus.
Seseorang tidak sengaja menabrak meja sehingga botol bir yang sudah dibuka tumbang. Air yang tumpah menjalar ke arah dua syal itu.
Albert mengambil salah satu syal, sedangkan syal lain basah dan bau bir.
Albert mengambil syal Octaviani.
Melihat syal yang telah dirajutnya selama dua bulan dibasahi bir, wajah Sally tiba-tiba memucat. Jantungnya seperti mati rasa.
Octaviani mengembuskan napas dan menggandeng lengan Sally dengan sikap menghibur. "Sally, jangan marah. Syalmu masih dipakai setelah dicuci."
Sally tidak menggubrisnya, melainkan menoleh ke arah Albert.
Albert menundukkan tatapan sehingga ekspresi di matanya tak terbaca.
Suasana agak canggung. Sally seolah-olah mengacaukan pesta yang riang itu. Semua orang berdiri dan berkata ingin pergi.
Sally duduk bergeming sambil melihat syal yang ditinggalkan di atas meja, seperti dirinya.
Yang lainnya pergi satu demi satu. Sally menatap Albert yang hendak berdiri, lalu berucap dengan suara pelan, "Albert, selamat ulang tahun."
Albert berpura-pura tidak mendengar. Sekelilingnya adalah teman dekatnya. Albert baru ditemukan kembali oleh Keluarga Petro di umur 21 tahun. Saat itu, Albert sudah menjadi bintang baru dunia bisnis yang merintis dari nol. Orang yang menemaninya adalah Sally yang berumur 19 tahun.
Tujuh tahun telah berlalu, bintang bisnis itu kini menjadi pengusaha besar di kalangan elit. Akan tetapi, cinta di antara mereka sudah menguap tanpa bekas.
Masa-masa sulit itu, ketika mereka berjuang bersama dalam kesunyian dan ketidakpastian, terasa seperti kehidupan lain di masa lalu.
Albert meminta seseorang mengantar Octaviani pulang.
Octaviani menepuk bahu Albert. "Kalian bicara baik-baik, jangan bertengkar terus."
Seseorang mencibir. "Kak Octa, kesabaranmu benar-benar luar biasa."
"Bukan karena aku sabar, tapi kurasa Sally hanya kurang dewasa waktu itu. Dia pasti bukan sengaja."
"Bukan sengaja apaan? Dia sudah menghancurkan kehidupan orang lain, lalu dengan nggak tahu malu merebut posisimu. Bisa-bisanya dia muncul lagi?"
Suara itu penuh rasa jijik dan makin mengecil.
Sally seakan-akan terpaku di tempatnya. Setiap tetes darahnya membeku sehingga bibirnya tampak pucat.
Dia berdiri dan mengambil syal yang basah itu, lalu menoleh ke arah Albert.
"Albert."
Sally memanggil dengan suara manis.
Jas Albert sudah tersampir di lengannya. Mendengar itu, Albert melonggarkan dasinya tanpa menatap Sally. Sorot mata Albert tampak kesal. "Apa lagi yang ingin kamu katakan?"
Sally tersenyum seraya berkata, "Ayo kita cerai, Albert."
Tebersit secercah rasa kaget di mata Albert dan matanya menjadi muram. "Trik baru apa ini? Dulu kamu memberiku obat untuk menidurimu, sekarang kamu sok suci minta cerai. Sally, apa kamu nggak lelah?"
"Maaf sudah menundamu selama tiga tahun, tapi aku serius kali ini."
Sarkasme di mata Albert perlahan memudar. Albert tiba-tiba menarik Sally ke dekatnya dan mencengkeram dagu gadis itu dengan kekuatan penuh. Melihat Sally mengernyit kesakitan, rasa sesak di dadanya baru sedikit mereda. "Sekarang kamu bilang kamu sudah menundaku? Ke mana saja kamu tiga tahun lalu? Sally, kamu mau cerai, 'kan? Aku nggak akan memberimu uang sepeser pun!"
"Aku pergi dengan tangan kosong."
Mata Sally jernih. Suaranya tetap tenang dan lembut.
Ketika Albert akhirnya ditemukan dan dibawa kembali oleh Keluarga Petro, Sally yang setia menemaninya langsung dijadikan sebagai anak angkat oleh orang tua Albert. Semua orang paham, ini cara Keluarga Petro mencegah putra kedua mereka, yang baru saja kembali, menikahi gadis biasa itu. Dengan menjadikan Sally "saudara angkat", orang-orang pun terpaksa menutup mulut.
Albert menatap wajah dingin Sally. Jakunnya bergerak tanpa suara. Lalu, Albert berbalik badan.
"Oke, pergi dengan tangan kosong. Jangan kamu sesali."