Bab 3
Yasinta menunduk, suaranya tenang. "Aku mengerti, Kak. Dulu aku memang sudah kelewat batas. Mulai sekarang aku akan menyadari posisiku. Semoga kalian berbahagia."
Mendengar ucapannya, para pria di sekeliling langsung ikut bersorak dan menggoda.
"Hal yang mana maksudmu? Saat kamu menelepon Hardy larut malam minta dijemput? Atau ketika kamu mabuk dan berkata di depan banyak orang bahwa kamu nggak mau menikah dengan siapa pun selain dia? Atau saat kamu mendatangi rumah Keluarga Lukman, menanyai para pelayan tentang tipe wanita kesukaannya?"
"Yasinta, sekarang Hardy sudah berkeluarga. Kalau kamu masih terus memaksakan diri, yang tercoreng bukan hanya namamu sendiri, tapi juga nama Keluarga Wistara. Kamu harus lebih dewasa, jangan sampai gara-gara kamu, persahabatan kakakmu dan Hardy juga ikut rusak."
Satu per satu cemoohan itu seperti butiran garam yang ditaburkan ke dalam hati Yasinta yang sudah penuh luka.
Secara refleks dia menoleh ke arah Hardy, yang berdiri hanya beberapa langkah darinya, dengan ekspresi dingin.
Sesaat, Yasinta merasa seolah-olah pria itu telah berubah menjadi orang lain, bukan lagi Hardy yang selalu melindunginya seperti dalam ingatannya.
Namun, jika dipikirkan lagi, sikapnya pada para perempuan lain yang mengejarnya memang selalu sedingin ini, tak pernah memberi harapan sedikit pun.
Tampaknya, selama ini Hardy membiarkan semua itu hanya karena menghargai kakaknya, pria itu tidak sampai hati memutus hubungan secara terang-terangan.
Sekarang, Hardy sudah resmi bersama perempuan yang dicintainya, Yasinta pun harus benar-benar menarik garis batas yang jelas dengan pria itu.
Lagi pula, di dalam hati Hardy, Sheila pastilah sosok yang lebih penting daripada siapa pun.
Memikirkan hal itu, perasaan getir yang mendalam meliputi hati Yasinta. Dia hanya mengangguk kecil, lalu berbalik pergi.
Pesta ulang tahun pun dimulai. Yonan yang datang terlambat sibuk menyambut dan berbasa-basi dengan para tamu, sama sekali tidak memperhatikan adiknya ini.
Sementara itu, Hardy dengan terang-terangan dan tanpa ragu memperkenalkan kepada semua orang bahwa Sheila adalah istrinya.
Dengan sigap Hardy menahan semua minuman yang disodorkan untuk wanita itu, menyuapinya camilan lezat, dengan lembut merapikan gaun yang kusut, serta memijat bahunya yang pegal.
Semua orang memuji betapa dia menyayangi istrinya, memuji keberuntungan Sheila yang bisa menikah dengannya, dan mengatakan mereka pasangan sempurna yang serasi bak pasangan surgawi.
Yasinta hanya bisa memandang dari kejauhan. Rasa pahit menjalar di mulutnya, dan dia memaksa dirinya untuk mengalihkan pandangan.
Dia duduk sendirian di sudut, hingga Sheila datang membawa segelas anggur dan memecah keheningan.
"Ini ulang tahun kakakmu, tapi kamu duduk di sini tanpa bicara sepatah kata pun. Apa kamu marah?"
Tak menyangka Sheila akan menghampirinya, dengan refleks Yasinta mundur dua langkah ke samping.
"Aku nggak marah, Kak Sheila. Soal Kak Hardy, aku benar-benar sudah melupakannya."
Sheila terdiam sejenak, sorot matanya pada Yasinta tampak berubah.
"Tapi Hardy bilang, kamu mengejarnya bertahun-tahun dan bersikeras ingin bersamanya."
"Itu dulu. Setelah aku tahu dia sudah lama menyukaimu, aku pun menyerah. Aku mendoakan kebahagiaan kalian."
Setelah mengatakan itu, Yasinta bangkit hendak pergi, tetapi tangannya ditarik oleh Sheila.
"Kamu bilang Hardy sudah lama menyukaiku? Dari mana kamu mendengarnya? Apa dia mengaku langsung?"
Yasinta tak berminat melanjutkan percakapan. "Semua orang bilang begitu. Tanya saja padanya. Aku nggak tahu."
Namun, Sheila tak mau membiarkannya pergi. Dia bersikeras ingin mendapatkan jawaban yang jelas.
Saat keduanya saling tarik-menarik, lampu gantung di atas kepala tiba-tiba mengendur dan jatuh menghantam.
Begitu mendongak dan melihat bayangan hitam yang meluncur turun dengan cepat, pikiran Yasinta seketika kosong.
Belum sempat dia bereaksi, Hardy yang kebetulan datang berubah pucat, lalu menerjang maju dan melindungi Sheila, menariknya menjauh.
Lampu yang beratnya puluhan kilogram itu seluruhnya menghantam tubuh Yasinta, membuatnya terhempas keras ke lantai.
Darah mengalir deras, seluruh sendi tubuhnya terasa seperti akan remuk, disertai rasa sakit yang mencabik-cabik.
Dia tergeletak dalam genangan darah, seluruh tubuhnya gemetar dan tersentak tanpa kendali, sementara jeritan ketakutan bergema di telinganya.
Pandangannya kian kabur. Tepat sebelum kehilangan kesadaran sepenuhnya, pemandangan terakhir yang dia lihat adalah Hardy yang memeluk Sheila sambil menenangkannya dengan suara lembut.
Tak tahu berapa lama berlalu, Yasinta terbangun dengan kepala berat, lalu melihat Yonan dengan mata merah berjaga di sisi ranjang.
"Maaf, Yasinta. Kakak nggak melindungimu dengan baik, sampai membuatmu terluka separah ini."
Yasinta menggeleng pelan, suaranya lemah dan serak.
"Ini bukan salahmu, Kak. Kejadiannya terlalu mendadak, dan jarakmu terlalu jauh. Nggak mungkin sempat menyelamatkanku."
Mendengar ucapan adiknya, Yonan teringat kejadian sebelum insiden itu, rasa bersalahnya pun makin dalam.
"Aku memang nggak sempat, tapi Hardy jelas berada sangat dekat denganmu, tapi dia nggak mau menyelamatkanmu. Kalau saja Sheila nggak menahanmu untuk mengobrol, kamu seharusnya bisa menghindari musibah ini ... "
Yasinta menggeleng lagi, dengan sabar menenangkannya, "Kak, aku dan perempuan yang dicintainya berada dalam bahaya bersamaan. Secara naluriah dia menyelamatkan orang yang paling dia pedulikan, itu nggak salah. Dulu aku memang berkhayal berlebihan, tapi setelah kejadian ini, aku benar-benar sudah melepaskannya."
"Baiklah. Selama kamu bisa benar-benar merelakannya, apa pun pilihanmu, Kakak pasti mendukungmu."
Yonan menggenggam tangannya erat dan mengangguk kuat seolah menegaskan kata-katanya.
Yasinta pun memaksakan senyum tipis, berusaha menata ulang hatinya yang masih bergejolak.
Setelah kondisinya berangsur stabil, Yonan yang telah berjaga selama beberapa hari tanpa tidur, akhirnya merasa tenang dan pergi beristirahat.
Kamar rawat inap kembali sunyi. Yasinta mengeluarkan ponselnya dan memesan tiket pesawat untuk sepuluh hari kemudian.
Pihak maskapai menelepon untuk mengonfirmasi pesanan. Dia mendengarkan dengan saksama, tanpa menyadari langkah kaki di depan pintu.
"Ya, benar. Tiket tanggal 19, penerbangan paling pagi ke Negara Amerta, kelas satu."
"Kelas satu?"