Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 4

Melihat Hardy tiba-tiba muncul di ambang pintu, Yasinta terkejut. "Nggak ada apa-apa." Meskipun dia menyangkal, Hardy otomatis menyadari ada yang tidak beres dan menatapnya lekat-lekat. "Sejak kapan kamu pandai berbohong? Kamu pesan tiket pesawat mau ke mana?" Menghadapi pertanyaannya yang mendesak, Yasinta terdiam beberapa detik sebelum akhirnya menjawab dengan suara serak. "Kamu sebentar lagi akan menikah. Ke mana pun aku pergi, itu nggak ada hubungannya denganmu, bukan?" Semula Hardy masih merasa curiga, tetapi mendengar ucapan Yasinta, dia justru mengira semua ini hanyalah sekadar trik Yasinta lagi, dan raut wajahnya kembali dingin. "Memang nggak ada hubungannya denganku. Aku ke sini karena Sheila khawatir padamu dan memintaku mengecek keadaanmu." "Aku nggak apa-apa, Kak Hardy. Silakan pulang saja." Sikapnya yang tiba-tiba begitu menjaga jarak membuat Hardy agak terkejut. Saat dia hendak bicara lagi, seorang perawat mengetuk pintu dan masuk untuk memberi tahu bahwa sudah waktunya pemeriksaan ulang. Karena cedera di kakinya, Yasinta harus bersusah payah turun dari ranjang seorang diri dan hampir saja kehilangan keseimbangan. Hardy dengan sigap meraih dan menopangnya. Dia mengucapkan terima kasih dengan suara pelan, lalu mendorong kursi rodanya sendiri, berusaha pergi. Melihat tubuhnya penuh luka dan pergerakannya yang tidak leluasa, akhirnya Hardy merasa tak tega dan mengambil alih mendorong kursi roda. "Ruang pemeriksaannya di mana? Biar aku antar." "Nggak perlu, aku bisa sendiri." Yasinta menolak, tetapi Hardy justru makin bersikeras dan mendorongnya keluar dari bangsal. Baru saja tiba di lantai bawah, mereka berdua langsung berpapasan dengan Sheila. Begitu melihat wanita itu, Hardy segera melepaskan pegangan dan melangkah menyambutnya. Kebetulan saat itu mereka berada di jalanan yang menurun, kursi rodanya tak sempat direm dan meluncur kencang ke bawah. "Ah ... " Melihat dirinya hampir menabrak pot bunga, jantung Yasinta berdegup keras. Dia memaksakan diri berguling turun dari kursi roda. Dia terjatuh ke tanah, kedua tangan dan lututnya tergores hingga mengeluarkan darah. Dia mendengus kesakitan, memegang lukanya yang kembali terbuka, keringat dingin mengucur di dahinya. Sheila juga terkejut dan segera ingin maju memeriksa keadaannya. Kursi roda itu hancur setelah menabrak. Melihat luka di tubuh Yasinta, Sheila menarik lengan Hardy. "Hardy, Yasinta terluka dan kursi rodanya rusak. Gendong saja dia ke ruang perawatan agar lukanya dirawat." Mendengar itu, raut wajah Hardy perlahan berubah. Dia melirik Yasinta yang kesakitan, lalu mengalihkan pandangannya pada Sheila dan menggeleng menolak. "Nggak bisa. Aku sudah hampir menikah, aku nggak boleh menggendong perempuan lain." Kata-kata itu menusuk hati Yasinta. Dia mengepalkan telapak tangannya begitu kuat, hingga rasa perih menjalar ke ujung jarinya. Sheila tak mampu membujuk Hardy dan hanya bisa menyuruhnya mengambil kursi roda baru. Kali ini, Hardy mengangguk setuju. Setelah punggungnya menghilang dari pandangan, Sheila menyerahkan sehelai sapu tangan. "Hardy memang begitu, selalu hanya mendengarkan perkataanku. Jangan ambil hati. Waktu kamu terluka di hotel, aku juga ikut bertanggung jawab. Tapi anak sedang demam beberapa hari ini, aku nggak bisa meninggalkannya, jadi aku minta dia menggantikanku menjengukmu. Nggak disangka terjadi kecelakaan lagi. Meski nggak disengaja, tetap saja ini salah kami. Maaf, ya." Yasinta tidak tahu sandiwara apa lagi yang sedang dia mainkan hari ini. Sambil menahan rasa sakit, dia bangkit berdiri sendiri. "Kak Sheila, aku sudah bilang, aku nggak akan menyukai Kak Hardy lagi. Kalian mau bilang ini sandiwara atau benar-benar akan menikah, aku nggak akan peduli." Setelah berkata demikian, dia menyeret langkahnya yang goyah dan tertatih, hendak pergi. Namun, Sheila belum berniat berhenti dan segera menyusul. "Jadi kamu tahu kalau aku dan Hardy hanya berpura-pura ... " Ucapannya terhenti di tengah jalan ketika suara cipratan air yang keras membuat Yasinta menoleh. Melihat Sheila terjatuh ke kolam secara tak terduga, meronta dan berteriak minta tolong, dia sempat ragu selama beberapa detik sebelum akhirnya mengulurkan tangan. Saat itulah Hardy yang baru kembali melihat kejadian itu, langsung berlari kencang dan melompat ke dalam kolam, lalu mengangkat Sheila ke atas. Melihat wajah Sheila yang pucat dan terbatuk lemah, dia menatap Yasinta dengan marah. "Aku hanya pergi beberapa menit, dan kamu sudah sengaja mendorong Sheila ke kolam?" Yasinta sama sekali tidak menyangka Hardy akan menyalahkan semua ini padanya. Melihat amarah Hardy yang meluap, dia hendak membuka mulut untuk menjelaskan, tetapi Hardy sama sekali tidak memberinya kesempatan. Dia menggendong Sheila berdiri, lalu mendorong Yasinta ke dalam kolam dengan kasar. "Selama ini, apa pun yang kamu lakukan untuk mengejarku masih bisa kutoleransi. Tapi Sheila adalah batasanku. Kalau kamu berani menyakitinya lagi, jangan salahkan aku kalau nggak bersikap lunak lagi." Nada suaranya yang dingin dan menyeramkan bercampur dengan air kolam yang membeku, menerjang telinga Yasinta. Darah yang mengalir dari tubuhnya menyebar di dalam kolam, membentuk semburat merah. Yasinta yang tidak bisa berenang, meronta dengan sekuat tenaga, namun tetap tidak mampu naik ke permukaan. Oksigen di dadanya kian menipis, wajahnya perlahan membiru, detak jantungnya makin melemah. Gelombang pusing datang bertubi-tubi, menyeret kesadarannya jatuh ke dalam kegelapan tanpa dasar ...

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.