Bab 2
Elena menghubungi pengacara, yang mengatakan bahwa proses pengurusan cerai akan memakan waktu sekitar satu bulan.
Dia menjawab dengan acuh tak acuh, "Aku mengerti."
Elena baru saja menutup telepon ketika dia mendengar suara di pintu masuk.
Steven membawa Jessica pulang.
Ketika Steven melihat Elena di ruang tamu, keningnya tanpa sadar mengerut. "Bagus kalau kamu sudah pulang. Aku akan memberimu waktu 15 menit untuk memindahkan barang-barangmu dari kamar utama. Jessica kemarin ketakutan, dia membutuhkan lingkungan terbaik untuk beristirahat. Kamar itu memiliki pencahayaan dan ventilasinya yang terbaik, jadi biarkan dia tinggal di sana."
Jessica berdiri di belakang Steven dengan mengenakan gaun yang elegan. Ekspresinya lembut, tetapi di matanya ada kilau kesombongan yang tidak disembunyikan. "Steven, bukannya ini nggak pantas ...."
Steven bahkan tidak melirik Elena, hanya menatap Jessica, lalu berkata dengan nada yang sangat sabar, "Nggak perlu memikirkan dia. Dia hanya pelayan yang Kakek bawa pulang untuk merawatku. Kalau bukan karena menghormati Kakek, dia nggak pantas tinggal di sini."
Ketika mendengar kata-kata tanpa ampun itu, hati Elena sudah terlalu sakit hingga mati rasa.
Elena tidak memberi respons apa pun, bahkan tidak melirik mereka. Dia berbalik masuk ke kamar utama, lalu mulai mengemasi barang-barangnya dalam diam.
Jessica juga mengikuti ke atas, berpura-pura ingin membantu. "Nona Elena, biarkan aku membantumu."
Elena baru saja hendak menolak, tetapi saat mengangkat kepala, dia melihat Jessica sedang memegang kotak kayu tua yang terawat dengan baik.
Itu adalah satu-satunya peninggalan dari mendiang neneknya!
"Jangan disentuh!" Elena segera mengangkat kepala, sementara suaranya terdengar mendesak.
Jessica seperti terkejut hingga tangannya bergetar. Tutup kotak jatuh terbuka, sementara jepit rambut perak di dalamnya terguling keluar. Bunga plum indah yang ada di kepala jepit rambut langsung berubah bentuk karena terjatuh.
Pupil mata Elena menyempit. Dia bergegas menghampiri, mendorong Jessica, lalu mengambil jepit itu dengan jari-jari yang gemetaran. "Siapa yang menyuruhmu menyentuh barangku!"
Jessica terdorong sampai tersandung. Matanya langsung memerah, lalu dia menatap Steven yang ada di pintu dengan tatapan menyedihkan.
Steven langsung melangkah masuk dengan cepat, menarik Elena menjauh dengan kekuatan yang hampir membuatnya terjatuh.
"Elena! Apa kamu sudah gila?" Tatapan pria itu begitu dingin hingga terasa menakutkan. Dia seperti sedang melihat seorang musuh. "Ini hanya barang rongsokan! Apa pantas kamu sampai memukul orang?"
"Itu peninggalan nenekku!" Elena menggenggam jepit rambut itu sambil memelototi Steven dengan mata memerah.
"Memang kenapa kalau itu barang peninggalan? Ini hanya benda mati. Kalau rusak, ya sudah!" Nada Steven begitu dingin serta penuh ketidaksabaran. "Mendorong orang itu salah, cepat minta maaf pada Jessica!"
Elena merasa ini tidak masuk akal. Matanya dipenuhi air mata ketika berkata, "Aku nggak melakukan kesalahan, kenapa aku harus meminta maaf?"
"Kamu nggak mau meminta maaf?" Tatapan Steven tajam, lalu dia berkata dengan nada dingin ke arah luar, "Pengawal! Bawa dia berlutut di halaman! Dia hanya boleh berdiri ketika dia sudah menyadari kesalahannya!"
Dua pengawal langsung melangkah masuk, lalu menyeret Elena tanpa ekspresi.
Ini adalah musim hujan dengan udara dan tanah yang dingin.
Elena dipaksa berlutut di atas batu kerikil hingga lututnya terasa sangat sakit.
Elena menggertakkan gigi, menegakkan punggung, lalu menolak untuk menundukkan kepala.
Langit menjadi makin gelap, suhu makin rendah, hingga akhirnya rintik-rintik hujan yang dingin mulai turun.
Air hujan membasahi rambut dan pakaian Elena, sementara hawa dinginnya terasa menusuk tulang.
Rasa sakit di lututnya sudah lama menghilang. Tubuhnya gemetaran tak henti karena kedinginan, sementara wajahnya sepucat kertas.
Namun, Elena tetap menggigit bibirnya, tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
Entah sudah berapa lama Elena berlutut. Akhirnya, kesadaran Elena perlahan kabur, pandangannya menjadi gelap, lalu dia pingsan sepenuhnya dalam hujan yang dingin.
Ketika tersadar lagi, hari sudah pagi.
Elena masih tergeletak di halaman yang basah. Seluruh tubuhnya dingin, tulang-tulangnya terasa seperti hancur berkeping-keping.
Steven berdiri di serambi sambil menatapnya dari atas. Matanya tidak menunjukkan rasa kasihan sedikit pun. "Jessica berbaik hati, nggak ingin mempermasalahkannya denganmu. Aku akan menganggap masalah ini selesai kali ini. Elena, singkirkan pikiran kotor yang nggak pantas itu. Jangan menguji kesabaranku lagi."
Elena berjuang ingin berdiri, tetapi karena lemah dan kedinginan, dia terjatuh lagi.
Ketika menatap pria yang dicintainya sepanjang masa mudanya ini, hati Elena mati sepenuhnya.
Dia menundukkan pandangan, menyembunyikan semua emosi, lalu berkata dengan suara serak yang tenang, "Aku mengerti."
Elena menyeret tubuhnya yang sangat lelah dan dingin kembali ke kamar.
Kemudian, dia menatap foto pernikahan besar di dinding dengan mata memerah.
Di dalam foto itu, Steven tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Tatapan jauh dan dinginnya itu sama seperti sikapnya selama ini pada Elena.
Sungguh konyol.
Pernikahan mereka dilakukan tanpa pesta, tanpa upacara, hanya ada foto pernikahan yang dipaksa Kakek untuk diambil.
Bahkan selama sesi foto, Steven sangat tidak kooperatif. Senyuman di hasil akhir foto pun adalah hasil pasca-produksi penuh paksaan dari fotografer.
Tiba-tiba Elena merasa semua ini sangat tidak masuk akal.
Elena mencari beberapa peralatan, menurunkan foto pernikahan besar itu dengan susah payah, lalu perlahan memotongnya dengan gunting hingga menjadi serpihan yang tak bisa disatukan lagi.
Karena Elena akan pergi, harapan-harapan palsu ini tidak perlu disimpan lagi.