Bab 3
Tepat ketika Elena selesai membuang serpihan, pintu kamar kembali terbuka.
Steven berdiri di pintu, bahkan tidak melangkah masuk, hanya menatap Elena. Nada suaranya datar tanpa gelombang, tetapi mengandung perintah yang tidak bisa dibantah.
"Tiba-tiba aku ingin makan ronde dari toko di wilayah timur kota. Kamu belilah."
Dari wilayah timur ke barat kota hampir melintasi seluruh kota. Setidaknya membutuh waktu tiga sampai empat jam perjalanan pulang pergi.
Steven tidak pernah peduli dengan hal-hal ini. Jika Steven menginginkannya, Elena harus melakukannya.
Jika ini dulu, Elena pasti akan pergi meski sangat lelah.
Namun, sekarang ....
Elena baru saja berlutut semalam, serta basah kuyup karena kehujanan. Sekarang kepalanya terasa pusing, bahkan seluruh tubuhnya terasa panas.
Ketika melihat Elena ragu-ragu, wajah Steven menjadi muram.
Elena akhirnya tidak mengatakan apa-apa, hanya mengambil dompet dan kunci mobil dalam diam, lalu melangkah keluar.
Setelah bolak-balik hampir empat jam, akhirnya Elena meletakkan sepiring ronde yang masih panas di hadapan Steven. Elena melihat suaminya itu bahkan tidak meliriknya, langsung mengambil piring itu, lalu berjalan ke hadapan Jessica yang sedang duduk di sofa.
Steven mengambil sendok, menyendoknya sendiri, meniupnya dengan hati-hati, lalu menyodorkannya ke bibir Jessica dengan lembut. "Jessica, kamu tadi mengatakan sedang sakit dan nggak nafsu makan. Kamu ingin makanan manis yang bisa menghangatkan badan, 'kan? Cobalah ini."
Wajah pucat Jessica tampak merona merah, lalu dia membuka mulut dan memakannya dengan patuh.
Ternyata ... makanan ini untuk Jessica.
Elena berdiri di tempat sambil melihat pemandangan ini. Dia hanya merasa dadanya sesak, bahkan napasnya terasa terbakar.
Selama bertahun-tahun ini, Steven menutup diri sepenuhnya, menolak berkomunikasi, menolak dunia luar, bahkan perlu dibujuk dengan sabar hanya untuk makan.
Elena sendiri menanggung semua temperamen buruk dan ketidakpeduliannya, merawat Steven setiap hari, mengurus segala kebutuhannya.
Elena selalu mengira bahwa sikap acuh tak acuh dan tidak peduli itu adalah karena penyakitnya.
Setelah melihat perhatian dan kesabarannya pada Jessica, barulah Elena tersadar.
Steven bukannya tidak tahu caranya memperlakukan orang dengan baik, dia bukannya tidak memiliki kemampuan untuk peduli.
Dia hanya membenci Elena saja.
Hati Elena seperti ditusuk oleh sesuatu dengan keras, hingga rasa sakitnya menyebar ke seluruh tubuh.
Elena diam-diam berbalik, naik tangga untuk kembali ke kamar tamu kecil tempat tinggal sementaranya sendirian. Seluruh tubuhnya sangat dingin, mungkin dia sedang demam. Elena membenamkan diri ke dalam selimut, lalu tertidur dengan kepala berat.
Entah sudah berapa lama dia tertidur. Elena terbangun oleh keributan di lantai bawah, samar-samar mendengar rintihan kesakitan Jessica dan teriakan cemas Steven.
Elena berjuang bangun untuk melihat apa yang terjadi. Baru saja membuka pintu, dia sudah bertabrakan dengan Steven yang wajahnya dingin, serta matanya berapi-api.
Steven mencengkeram pergelangan tangannya dengan kuat, seakan ingin menghancurkan tulangnya, sementara suara dinginnya seperti berisi pecahan es, "Elena! Berani sekali kamu meracuni ronde itu! Sepertinya hukuman berlutut semalaman kemarin masih belum cukup!"
Meracuni?
Elena yang terkejut langsung tersadar. "Aku nggak melakukannya! Aku langsung memberikan piring itu padamu setelah membelinya. Bagaimana mungkin aku meracuninya?"
"Kalau bukan kamu siapa lagi? Jessica langsung sakit perut setelah memakannya!" Steven sama sekali tidak percaya. Tatapannya begitu muram hingga tampak menakutkan. "Karena kamu masih nggak menyesal, kamu akan merasakan penderitaan Jessica berlipat ganda!"
Steven berteriak pada pengawal, "Ambilkan mangga itu! Paksa dia untuk memakannya!"
Pupil mata Elena menyempit! Dia memiliki alergi parah terhadap mangga!
"Steven! Kamu nggak bisa melakukan ini! Aku benar-benar nggak melakukannya!" Elena mundur dengan panik.
Namun, para pengawal sudah menahannya dengan paksa. Mereka mengupas mangga, lalu memasukkannya ke dalam mulut Elena dengan kasar!
Daging buah yang manis itu terpaksa tertelan. Segera, kulit Elena mulai dipenuhi dengan ruam merah, tenggorokannya membengkak, napas menjadi sangat sulit, dadanya naik turun dengan hebat, lalu penglihatannya menggelap!
Sementara itu, Steven hanya melihat penderitaannya dengan acuh tak acuh, lalu berbalik tanpa ragu untuk menggendong Jessica yang berpura-pura merintih lemah di sofa. Mereka meninggalkan vila dengan langkah cepat, langsung menuju rumah sakit.