Bab 4
Setelah itu, Seno menarik kerah baju David dan menamparnya sekali lagi.
Plak!
"Tamparan ini biar kamu tahu apa itu balas budi!"
Dulu, setiap kali David membuat masalah, dia tidak berani memberitahu Vivian atau Rani, selalu meminta bantuan Seno untuk menyelesaikannya.
Sebelum David bisa pulih, Seno menamparnya lagi.
"Tamparan ini biar kamu tahu, jangan terlalu congkak! Kamu itu cuma anak kecil di mata orang lain."
Setelah tiga tamparan berturut-turut, David sudah mati rasa.
Seluruh wajahnya bengkak kemerahan seperti kepala babi.
Entah dua atau tiga gigi patah keluar dari mulut David. Tampangnya sangat kacau.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terburu-buru mendekat.
"Berhenti! Seno, kamu sadar apa yang kamu lakukan?"
Yang datang adalah Jennie, asisten dan sahabat terdekat Vivian.
Seno sedikit memiringkan kepalanya, memandang wajah wanita itu dari samping.
"Kamu terlambat. Kamu sudah ketinggalan bagian terbaiknya."
"Bagian terbaik? Apa kamu nggak tahu dia adik Bu Vivian yang paling dia sayangi? Kamu nggak tahu terima kasih, mengkhianati niat baik Bu Vivian!"
Mendengar dirinya dikatai tidak tahu terima kasih, mata Seno langsung menjadi dingin.
"Nggak tahu terima kasih? Ironis sekali mendengar kata-kata itu dari mulut kalian."
"Bu Vivian tadi khawatir, takut Tuan Muda David terlalu impulsif, jadi dia menyuruhku ke sini. Tapi kamu malah menginjak-injak niat baik kami!"
Sebenarnya, Jennie sudah tiba beberapa saat yang lalu.
Tapi dia ingin membiarkan David memberi pelajaran kepada Seno.
Dengan begitu, Seno juga bisa menyadari perbedaan antara dirinya dan keluarga Marva.
Dia tidak menyangka semuanya akan berakhir seperti ini.
"Benarkah? Betapa baiknya kalian."
Setelah mengatakan itu, Seno melepaskan tangannya dan David langsung terjatuh ke lantai tanpa daya.
Jennie segera berlari mendekat dan memeluk David erat-erat.
"David, kamu nggak apa-apa? Jangan menakut-nakutiku!"
Melihat pemuda itu tidak bisa berkata-kata, Jennie berteriak pada pemuda berambut pirang yang masih tergeletak di lantai.
"Cepat panggil ambulans!"
Si Pirang mulai tersadar dan tampak terguncang melihat pemandangan itu. Dia menelepon nomor darurat ambulans dengan tangan gemetaran.
"Seno, kamu sudah gila! Kamu pukuli David sampai seperti ini. Bu Vivian nggak akan punya sedikit pun belas kasihan padamu lagi. Pikirkan baik-baik bagaimana kamu menjelaskan ini kepada Bu Vivian!"
"Bu Vivian memberimu kompensasi karena teringat hubungan baik kalian di masa lalu. Kamu awalnya sok suci dan nggak mau menerimanya, tapi sekarang malah balik menyerang David dengan sekejam ini!"
Kata-kata itu justru membuat Seno tertawa.
Seno memiringkan kepalanya, seolah berkata, 'Kamu pikir aku bodoh?'
"Kamu di sini cuma mau melihatku dihina, lalu pulang dan bilang ke Vivian kalau aku akhirnya mengerti arti kesenjangan?"
Seno kenal betul dengan segala taktik ini.
Mata Seno berkilau.
"Aku baru keluar dari penjara, kalian sudah buru-buru mengancamku dengan perceraian. Aku sudah bilang nggak mau apa-apa, cuma mau mengambil apa yang memang milikku. Sesederhana itu saja masih ingin kalian halangi?"
Saat itu, hati Jennie berdebar kencang.
Ketakutan menerima pandangan mata Seno itu.
Benarkah ini Seno?
Seno yang dia kenal?
Seno mendekat, menarik rambut David, dan berkata dengan suara dingin.
"Hari ini, bukan kalian yang nggak mau melepaskanku, tapi aku yang nggak mau melepaskan kalian."
Jennie terdiam kaget. Dalam ingatannya, Seno adalah pria yang lembut dan bermoral.
Setelah enam tahun di penjara, dia menjadi kejam dan bengis. Tidak puas hanya memukuli, dia bahkan lanjut mempermalukan David.
"Seno, kamu gila, kamu sudah gila!"
David terluka parah. Jennie berteriak pada Seno dalam paniknya.
Seno menjawab dengan dingin.
"Aku nggak tahu seberapa besar kamu terlibat dalam perceraianku, tapi aku nggak percaya kamu nggak ikut campur sama sekali."
"Aku nggak suka memukul perempuan, bukan berarti aku nggak bisa. Aku sedang kesal, sebaiknya jangan macam-macam. Jangan paksa aku memukulmu juga."
Setelah mendengar kata-kata itu, ekspresi Jennie langsung berubah kelam, penuh dengan kemarahan.
Seno tidak hanya memukuli David sekejam ini, tapi juga ingin memukulinya juga.
"Oke, Seno, kamu mau menamparku? Ayo, tampar saja! Aku bersedia!"
Jennie menggertakkan giginya dengan keras.
"Laki-laki macam apa kamu ini? Kamu bercerai dari Vivi, sekarang kamu melampiaskan semua kemarahanmu pada adiknya. Sudah puas sekarang? Sudahkah kamu pikirkan konsekuensinya? Keluarga Marva sekarang bisa membunuhmu kapan saja!"
"Oh? Keluarga Marva sekarang sehebat itu? Mengandalkan kekayaan dan kekuasaan Vivian, atau kekejaman dan ketidakpeduliannya?"
Seno mendesah.
"Jadi, keluarga Marva yang nggak tahu terima kasih dan kejam itu berani mengomel kepadaku? Kalian sendiri yang memilih untuk membuatku marah, dan sekarang kalian harus siap menghadapi konsekuensinya."
"Dia boleh pergi sekarang, tapi Vivian harus datang dan minta maaf padaku. Kalau nggak, meskipun dia mati di sini, nggak akan kubiarkan dia dikubur."
Di Kota Sarvo, nama keluarga Marva saja sudah cukup untuk membuat kebanyakan orang biasa merasa takut.
Tapi, menggunakan nama itu untuk menakut-nakuti Seno? Sungguh konyol.
Bahkan jika Seno orang biasa, haruskah dia menanggung dengan ikhlas perlakuan semena-mena oleh keluarga Marva?
Tapi di mata Jennie, yang berlaku semena-mena justru Seno.
Di matanya, Seno harus menerima semua itu sebagai takdirnya. Sekalipun diperlakukan tidak adil, Seno harus menanggungnya tanpa keluhan.
Tapi, Seno sekarang malah melawan, dan caranya sangat kejam. Ini sama saja menantang!
Jennie menyeringai dingin.
"Jadi kamu akhirnya mengungkapkan niatmu, Seno. Setelah kehilangan semua harta, ini satu-satunya caramu untuk menarik perhatian Vivi?"
"Kamu ingin membuktikan bahwa kamu bukan orang yang lemah, bahwa kamu nggak cuma bisa berkelahi, tapi juga hebat, ya 'kan? Konyol sekali. Kamu cuma badut. Sebagai laki-laki, kamu benar-benar nggak tahu malu."
"Biar kuberi tahu, kalau Vivi datang dan melihat semua ini, dia akan semakin kecewa padamu. Semua ini sama sekali nggak akan mengubah sikapnya. Kamu dulu sudah nggak layak untuk Vivi, dan sekarang kamu lebih nggak layak lagi!"
Jelas-jelas mereka yang tidak tahu berterima kasih, tapi mereka bicara seolah-olah berada di pihak yang benar.
Jennie menyebut Seno tidak tahu malu, tapi siapa yang benar-benar tidak tahu malu?
Seno menggelengkan kepalanya dengan sedih.
"Berhenti omong kosong nggak bergunamu itu. Kalau kalian pikir aku nggak layak, ya sudah. Anggap saja aku sengaja. Cepat beri tahu Vivian."
"Kalau dia mau adiknya selamat, dia harus datang sendiri."
Seno masih sangat teguh. Wajah Jennie menjadi sangat muram.
"Seno, kamu benar-benar nggak tahu terima kasih. Meskipun kata-kataku menyakitkan, aku sedang menyelamatkanmu."
"Apa kamu tahu siapa yang baru kamu sakiti? Bukan cuma adik Vivi, tapi juga Tuan Muda David yang berpengaruh di dunia bawah tanah Kota Sarvo. Orang-orang di belakangnya bisa mengubah peta kekuatan dunia bawah tanah Kota Sarvo."
"Om Darius cuma perlu melambaikan tangan untuk memanggil ratusan pemuda yang bersedia mati untuknya. Dia bisa membunuhmu dan membuangmu ke sungai tanpa pikir dua kali. Kalau kamu masih nggak percaya, aku bisa kasih tahu. Di atas Om Darius, ada kekuatan tertinggi Kota Sarvo, Ratu Yovita!"
Sebenarnya tidak perlu menyebut nama Ratu Yovita. Di Kota Sarvo, cukup menyebut nama Darius Laskar saja sudah memicu rasa hormat.
Tapi, Jennie perlu membuat Seno paham bahwa David sudah bukan pemuda yang dulu lagi. Dia juga perlu membuat Seno sadar bahwa menjadi musuh David berarti hidupnya di Kota Sarvo sudah berakhir.
Sayangnya, Jennie terlalu sibuk memuji David sehingga tidak menyadari bahwa saat menyebut Yovita, alis Seno sedikit terangkat, seolah terkejut.
Jennie tidak tahu saja, sebelum mereka datang, Ratu Yovita yang mereka anggap orang terkuat itu baru menelepon Seno secara pribadi, memohon bantuannya.
Dan jika mereka tahu bahwa Pak Mulin yang bahkan disegani oleh Yovita pun berutang budi besar pada Seno, bahkan berutang nyawa, apa yang akan mereka lakukan?
"Sudah bicara panjang lebar, apa wajahku terlihat ketakutan? Panggil Vivian ke sini sekarang juga untuk memberiku penjelasan. Kalau dia datang, kamu boleh bawa anak ini pergi."
Seno menggelengkan kepala, menyalakan rokok, lalu menunjuk Jennie.
"Kalau kamu bicara lagi setelah memanggilnya, aku akan menamparmu dua kali. Coba saja kalau nggak percaya."
Melihat penjelasan panjangnya tidak memberi pengaruh pada Seno sama sekali, Jennie jelas tampak frustrasi.
Jennie tidak ingin memanggil Vivian, karena dia merasa sedikit bertanggung jawab atas luka-luka yang dialami David.
"Seno, kamu benar-benar keterlaluan."