Bab 5
Begitu kata-kata itu keluar, Jennie langsung menyesal, karena bayangan Seno terpantul di pupil matanya.
"Kamu ... Mau apa kamu? Kamu gila ya, masa kamu berani menamparku juga!"
Tanpa banyak bicara, Seno langsung mengangkat tangan dan menampar Jennie dengan keras.
Secepat kilat, bekas tamparan merah terang muncul di pipinya. Rasa sakit fisik hanyalah urusan kedua. Yang lebih menyakitkan adalah pukulan mentalnya.
Jennie mengira Seno hanya mengancam. Dia tidak menyangka Seno benar-benar akan menamparnya. Dan dengan kekuatan yang begitu tegas, tanpa menahan diri.
"Di mataku, begitu kamu menjadi musuh, nggak ada bedanya laki-laki atau perempuan. Kalau kamu pantas dipukul, kamu akan dipukul. Kalau kamu pantas mati, kamu akan mati. Ini peringatan terakhirku. Satu kata lagi, nanti akan kupatahkan kakimu. Silakan coba lagi."
Seketika, semua orang merinding.
Melihat ekspresi Seno, dia jelas tidak main-main.
Seno sekarang bukan hanya kejam, tapi benar-benar tanpa belas kasihan.
Tidak peduli bagaimana mereka mungkin akan balas dendam nanti, sekarang tidak ada yang berani bicara. Mereka berdiri kaku dalam kekacauan.
Jennie menutupi wajahnya. Meski geram, dia hanya bisa menelepon Vivian.
Dia menceritakan seluruh kejadian mengerikan itu, menekankan bagaimana Seno telah menyiksa adiknya dan menamparnya.
Tentu saja, Vivian di sana sulit percaya. Dalam ingatannya, Seno adalah orang yang pemalu dan penakut. Bagaimana mungkin dia bisa memukul seseorang, apalagi memukul dengan begitu keras?
Tapi, fakta-fakta itu tidak terbantahkan. Tidak percaya pun tidak akan mengubah apa pun.
"Dia mau datang, ya? Kita lihat saja sikapnya seperti apa."
Seno dengan tenang menuangkan air untuk dirinya sendiri dan duduk di sofa, seperti laut yang tenang setelah badai.
Jennie duduk di lantai, awalnya ingin mengatakan sesuatu, tapi pipinya terasa sakit, jadi dia tidak berani bicara sama sekali.
Seno kini seperti orang gila, seseorang yang kehilangan segalanya dan putus asa hingga ke titik kehancuran.
Pada saat yang sama, di kantor Grup Krisan Farma.
Setelah mengetahui situasinya, mata Vivian dipenuhi kemarahan. Dia meraih telepon dan berteriak dengan marah.
"Kumpulkan semua pengawal dan satpam, tunggu di depan gedung."
Setelah memberikan perintah, Vivian menggenggam surat cerai di atas meja dan menggeram penuh kebencian.
"Seno, aku tadinya ingin berbaik hati padamu demi hubungan kita di masa lalu. Tapi kamu malah melukai adikku, dan bahkan menampar Jennie? Keterlaluan."
"Sepertinya, enam tahun di penjara telah mengajarimu dengan baik. Jangan salahkan aku kalau aku ingin mengingatkanmu bahwa kamu bukan apa-apa di Kota Sarvo."
Ketika Vivian tiba di bawah dengan wajah muram, semua pengawal pribadi dan satpam perusahaan berjumlah 30-an orang sudah menunggu.
Mereka segera naik ke mobil, iring-iringan kendaraan yang panjang seperti naga bergerak menuju tempat tinggal Seno.
Saat mereka tiba, Vivian benar-benar terkejut.
Awalnya, dia mengira Jennie agak berlebihan.
Tapi ketika melihat bekas telapak tangan merah di wajah wanita itu, adiknya yang tergeletak di lantai dengan wajah bengkak seperti kepala babi, bahkan tidak berani mendekat untuk berbicara, kemarahan Vivian meledak.
Yang paling parah, pelakunya malah duduk tenang minum teh, wajahnya tidak peduli.
"Seno, kamu bajingan!"
Vivian berjalan cepat ke samping Seno, mengangkat tangan dan melempar cangkir dari tangan Seno.
"Aku mengerti kamu kesal karena perceraian kita, tapi bisa-bisanya kamu pukuli adikku sampai separah ini? Apa kamu nggak punya hati nurani?"
Seno hanya merasa sedih yang mendalam. Vivian langsung melontarkan tuduhan tanpa berusaha memahami sudut pandangnya, langsung menyatakan dia bersalah.
Apakah enam tahun ini telah mengubah Vivian menjadi orang yang begitu tidak masuk akal?
Apakah wanita berwajah garang ini benar-benar Vivian yang pernah dia cintai hingga dia rela menggantikannya masuk penjara?
Seno tidak tahu apa sebenarnya yang mengubah wanita ini. Apakah uang atau kekuasaan?
Tapi yang dia tahu, wanita ini bukan lagi Vivian yang dulu.
Seno berdiri, melirik ke arah lebih dari 30 pengawal yang dibawa Vivian, hanya bisa menggelengkan kepala dengan penuh kesedihan.
"Vivian, tempat apa ini? Kamu bilang aku memukul adikmu karena sedang kesal? Kalau kamu berpikir logis, kamu pasti tahu bahwa adikmu yang menyuruh orang untuk menggangguku."
"Kamu pikir aku harus diam saja ketika dihina dan dipukul, begitu?"
Nyawa Seno tidak lebih penting dibanding kesenangan adiknya. Mana mungkin Vivian peduli kebenarannya?
Di mata Vivian, satu-satunya kebenaran adalah bahwa adiknya dipukuli habis-habisan oleh Seno.
"Kamu ini siapa? Dikasih muka malah nggak tahu diri. Kalaupun David salah, kamu nggak pantas menghukumnya."
Vivian semakin marah, ucapannya juga semakin kasar.
Seno semakin putus asa. Dirinya telah mengorbankan segalanya untuk Vivian, tapi Vivian bahkan tidak bisa membedakan benar dan salah. Betapa menyedihkan.
"Vivian, kamu sekarang buta dan nggak tahu terima kasih. Apa kamu nggak merasa bersalah sedikit pun? Apa kamu sudah lupa seperti apa dirimu dulu?"
Vivian tidak menunggu Seno menyelesaikan ucapannya dan langsung berteriak marah.
"Kenapa aku harus merasa bersalah! Vivian dulu sangat miskin, sangat lemah, nggak berdaya, cuma punya kebaikan yang konyol."
"Biar kuberi tahu, Vivian yang dulu sudah mati. Kalau kamu ingin mengenangnya, kenang saja sendiri. Aku jadi apa sekarang nggak ada hubungannya denganmu."
"Seno, aku nggak mau lihat wajahmu lagi. Ini kesempatan terakhirmu. Kamu bilang aku nggak tahu terima kasih? Oke, aku akan putus semua hubungan denganmu. Sebaiknya kamu pergi dari kota ini sekarang. Sekalipun aku melepaskanmu hari ini, adikku nggak akan memaafkanmu."
Seno tidak terpengaruh kata-kata Vivian.
Karena setiap kali mendengar Vivian berbicara, dia semakin merasa kecewa.
"Anggap saja ini sebagai pembayaran atas semua utangku padamu. Kamu nggak akan dapat uang dan rumah yang kujanjikan untuk perceraian. Membiarkanmu hidup saja sudah terlalu baik bagiku. Cepat pergi!"
Vivian bahkan menyebutkan uang.
Ini membuat Seno semakin kesal dan geli. Dari awal sampai sekarang, dia tidak pernah minta sepeser pun.
Semua ini hanyalah asumsi sepihak dari Vivian.
Selain itu, Seno sudah menjelaskan dengan sangat jelas bahwa dia tidak menginginkan apa-apa.
Tapi, justru hal yang sesederhana ini, tidak ada yang percaya.
"Kamu merasa baik sudah membiarkanku hidup? Haha, oke, aku tetap tinggal di sini. Aku penasaran apa yang bisa kalian lakukan padaku."
Seno mengibaskan tangannya dengan acuh tak acuh.
"Aku sudah bilang, kamu bisa bawa pergi adikmu kalau datang sendiri. Aku menepati janjiku, tapi aku juga nggak ingin melihat wajahmu lagi, kamu membuatku mual."
"Sekarang, pergi semua dari sini!"
Pada saat itu, Vivian menatap Seno dengan tatapan tajam, senyumnya penuh dengan penghinaan.
"Seno, mungkin aku benar-benar perlu menunjukkan padamu seperti apa dunia ini sebenarnya."
Seno menyipitkan matanya, merasakan ada makna tersirat.
Vivian memberi isyarat agar David dibawa pergi, lalu berdiri di pintu membelakangi Seno.
"Aku akan menghubungimu lagi lusa. Aku nggak akan berbuat apa-apa, tapi kamu boleh sembunyi atau lari kalau memang takut."
Dengan itu, Vivian pergi bersama rombongannya.
Pertama, David dimasukkan ke dalam ambulans. Lalu dia dan Jennie mengikuti dengan mobil.
Luka David sangat parah, Vivian tidak bisa pura-pura seolah tidak terjadi apa-apa. Dia juga tidak bisa menyembunyikannya dari ibunya. Hanya saja, memberitahu ibunya akan menimbulkan masalah yang lebih besar.
Saat Vivian menghela napas, dia melihat pipi Jennie yang masih merah.
"Maaf Jennie, kamu jadi menderita. Aku akan memberimu kompensasi."
Sejujurnya, Jennie sendiri juga sedikit bersalah dalam hal ini. Bagaimana mungkin dia mengharapkan kompensasi dari Vivian?
Tapi, rasa kesalnya memang tidak bisa dibantah.
"Vivi, kamu benar-benar mau membiarkan Seno pergi begitu saja?"
"Kalaupun kamu biarkan dia pergi, David nggak akan terima. Dia pasti bilang ke Om Darius, dan Om Darius pasti akan menghajar Seno."