Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 9

Wajah Gracia saat itu pucat pasi. Dia menatap Seno dan menggelengkan kepala sekuat tenaga, seolah ingin menjelaskan sesuatu. Tapi, apa pun yang terjadi pada Gracia, tidak ada hak bagi Rani untuk menghinanya. "Selagi aku masih sopan padamu, sebaiknya kamu cepat pergi. Aku dan Vivian sudah bercerai, nggak ada hubungan lagi di antara kita." "Aku yang memukuli anakmu. Kalau mau melawan, lawan aku. Kalau kamu ganggu temanku, aku nggak akan segan bertindak. Cepat pergi." Seno dulunya sangat sabar. Demi cinta, dia bisa menahan diri menghadapi apa saja. Tapi, itu bukan berarti Seno tidak punya amarah. Kalau tidak ingin menahan diri lagi, tidak ada yang bisa menghentikannya melakukan apa pun. Rani bukanlah orang yang mau diceramahi. Melihat Seno berani berteriak dan marah padanya, dia langsung marah. "Seno, berani nggak sopan padaku, ya? Oke, kamu mau pukul aku? Ayo pukul aku." "Pergi!" Mata Seno menggelap. "Haha, nggak berani pukul? Kamu pikir aku takut pada Gracia?" Rani memandang Seno dan Gracia dengan tatapan mengejek. "Keluarga Yevari sekarang dalam masalah besar. Mereka cuma menunggu Gracia menikah dengan Tuan Muda Bimo agar Keluarga Zafran mau membantu." "Setelah dia menikah, statusnya nggak akan beda dari pelayan. Kamu pikir dia bisa membantumu? Konyol sekali." Rani menuding wajah Gracia dengan senyum penuh penghinaan. "Tunggu saja, saat Tuan Muda Bimo tahu hubunganmu dengan Seno, kamu pasti akan dihukum cambuk. Keluarga Yevari juga akan ikut menderita." "Dan kamu, Seno. Kamu nanti tahu seperti apa sifat Tuan Muda Bimo. Menyesal pun sudah nggak berguna. Bersiaplah menghadapi kehancuranmu." Mendengar itu, bibir Gracia terkatup rapat dalam kesedihan yang tak terucap. Jika bukan karena keluarganya, mana mungkin dia rela mengorbankan diri seperti ini. "Pura-pura jadi korban, ya? Dasar jalang, mantan napi saja masih mau digoda, beneran nggak punya malu ... " Sebelum Rani selesai bicara, Seno sudah tidak tahan lagi. Dia langsung menampar wajah Rani. "Kalau mulutmu sudah nggak berguna lagi, nggak usah dipakai." Seno bisa menahan hinaan apa pun yang ditujukan padanya. Tapi Gracia tidak bersalah. Rani benar-benar terkejut, sama sekali tidak menyangka Seno berani menamparnya. Tamparan keras itu membuat Rani menggila. Rani melepas semua sikap anggunnya dan berubah seperti wanita desa yang kasar, menerjang Seno dengan cakar terbuka. "Dasar bajingan! Kamu sudah gila, ya? Berani-beraninya menamparku? Kubunuh kamu, nggak akan aku ampuni! Mati! Mati!" Tapi, Seno menghindar dengan mudah, mengangkat tangannya untuk memberikan tamparan menyakitkan sekali lagi. Plak! Setelah dua tamparan, wajah Rani memerah dan darah juga mengalir dari sudut mulutnya. "Aku nggak ingin memukul wanita, bukan berarti aku nggak bisa. Meskipun kamu lebih tua, aku tetap akan memukulmu. Kalau nggak mau pergi juga, aku bisa menamparmu terus." Pandangan Seno penuh dengan nuansa berbahaya. Meski marah, Rani benar-benar mulai merasa takut. Dia belum pernah melihat tatapan kejam seperti itu dari Seno, apalagi serangan yang sama sekali tak terduga. Dia merasa, jika dia tidak segera pergi, Seno benar-benar akan terus menamparnya. "Oke, dua orang sialan, tunggu saja kehancuran kalian." Dengan gertakan itu, Rani pun pergi. Seno memandang Gracia yang wajahnya pucat dan penuh dengan kesedihan, lalu menghela napas perlahan. "Maaf, tadinya kupikir dia orang tua, jadi dia sampai kubiarkan bicara sembarangan. Tapi ternyata dia semakin keterlaluan." "N-nggak apa-apa." Gracia menggeleng. Meski sudah menghapus air matanya, dia tetap terlihat sangat memilukan. "Aku yang harusnya minta maaf. Aku harusnya nggak datang ke sini dan membawa masalah untukmu. Seno, cepat pergi dari tempat ini dan mulai dari awal. Kalaupun kamu mau kembali lagi, tunggu dulu sampai situasinya mereda." Jika hari ini tidak ketahuan oleh Rani, mungkin situasinya tidak akan separah ini. Tapi Rani sudah tahu dan pasti akan menyebarkannya. Dia tidak peduli dengan penderitaan yang akan diterimanya, tapi dia tidak ingin melibatkan Seno. Seno sekarang bukanlah tandingan Tuan Muda Bimo. Dengan sifat kejam Tuan Muda Bimo, Seno mungkin akan dilumpuhkan sepenuhnya. Karena Tuan Muda Bimo memang sering melakukan hal buruk seperti itu. "Gracia, kamu datang menjengukku karena peduli padaku, kamu nggak salah apa-apa." Seno menghela napas. "Aku sudah tahu ada yang nggak beres sejak kamu datang. Aku nggak tanya karena takut membuatmu sedih. Tapi sekarang, kamu bisa ceritakan padaku. Ada apa sebenarnya dengan pertunanganmu?" "Aku nggak melihatmu bahagia sama sekali. Apa kamu dipaksa? Kalau iya, bilang saja padaku. Aku bisa bantu." Sampai di sini, Gracia tidak bisa menahan diri lagi. Dia berbalik dan berlari ke sofa, menutupi wajahnya sambil menangis tersedu-sedu. Dia tahu dia tidak bisa mengubah takdirnya, jadi dia hanya bisa pura-pura kuat, mengerahkan segala kekuatan untuk menerima masa depan mengerikan di hadapannya. Tapi dia hanya seorang wanita lemah. Dia bisa merasakan sakit, bisa merasakan sedih. Melihat Gracia menangis sesenggukan, Seno juga tidak tahu harus berbuat apa. Dia hanya bisa mengeluarkan tisu dan memberikannya kepada Gracia. "Gracia, kalau kamu nggak mau, jangan memaksakan diri menikah dengannya. Kamu harus menikah karena cinta, bukan karena alasan lain." "Aku nggak tahu siapa Tuan Muda Bimo ini, tapi kalau dia mencintaimu, aku pasti bisa merasakannya. Tapi dia sepertinya bukan orang baik dan nggak akan memperlakukanmu dengan baik. Kenapa kamu harus mengorbankan diri untuk alasan lain?" Seno menghela napas pelan. "Aku dulu menikah dengan Vivian juga karena cinta, meskipun semua itu sudah berubah sekarang. Kamu harus tahu, kamu nggak perlu mengorbankan diri untuk siapa pun. Kalau kamu nggak cinta, jangan menikah." Kata-kata ini membuat Gracia merasakan kehangatan yang sudah lama tidak dirasakannya. Semua orang menyarankannya untuk menikah dengan Tuan Muda Bimo demi keluarga. Hanya Seno yang memintanya untuk menghargai dirinya sendiri. Meski tidak bisa mengubah apa pun, Gracia berhasil menahan air matanya, menekan emosinya, dan tersenyum tipis. "Terima kasih, aku bisa menanganinya sendiri. Maaf, aku malah menunjukkan sisi lemahku di depanmu." "Ambil uang ini, cepat pergi dari Kota Sarvo untuk sementara waktu. Aku benar-benar akan membawa masalah untukmu. Anggap saja ini liburan untuk menenangkan pikiranmu. Jangan buat aku sedih. Jangan buat aku terluka, oke?" Gracia memandang dengan penuh perasaan, merasa sangat takut. Jika Seno yang telah kehilangan segalanya tertimpa musibah karena dirinya, Gracia tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri. Sebelum Seno bisa bicara, Gracia menggigit bibirnya dan melemparkan diri ke dalam pelukannya. "Jangan lepaskan. Peluk aku, kumohon. Sekali ini saja." Tubuh lembut Gracia membuat Seno merasa hangat, sekaligus menyadari bahwa wanita ini telah menanggung banyak tekanan yang tidak seharusnya dia pikul. Tapi Gracia tetap baik hati, tidak pernah mengubah sikapnya, dan memberikan segalanya tanpa penyesalan. Seno tidak tahan melihat Gracia terjun ke jurang di depan matanya sendiri. "Kartu ini akan kusimpan, anggap saja sebagai investasimu. Aku akan mengembalikannya padamu sesegera mungkin." "Aku akan menyelesaikan segala masalahmu. Percayalah padaku." Mendengar kata-kata Seno, tangisan Gracia semakin keras. Hanya dalam pelukan Seno dia menemukan keamanan dan kehangatan. Beberapa menit kemudian, Gracia akhirnya tenang. "Maafkan aku, aku malah menunjukkan kelemahanku di depanmu. Aku tahu kamu peduli padaku, dan itu bagiku sudah cukup." "Aku bisa menyelesaikan masalahku sendiri. Tapi kamu memukuli David dan ibu Vivian. Mereka nggak akan memaafkanmu. Vivian yang sekarang bukan Vivian yang dulu lagi." "David juga bukan David yang dulu. Dia sekarang sudah jadi anak buah Om Darius, orang penting di dunia bawah tanah Kota Sarvo. Kamu nggak bisa melawan mereka." Seno hanya mendengarkan, mengangguk ringan tanpa menjelaskan lebih lanjut. Bagi semua orang termasuk Gracia, dia hanyalah seorang mantan narapidana. Tidak ada gunanya menjelaskan. "Oke, aku setuju. Aku akan melindungi diriku sendiri. Kamu nggak perlu khawatir." "Tapi kamu harus tahu. Entah siapa Tuan Muda Bimo itu, aku nggak akan takut. Bahkan Om Darius juga nggak perlu ditakuti. Dia juga perlu bantuanku. Kalau nggak percaya, mau aku telepon Om Darius sekarang?" Melihat Seno benar-benar ingin menelepon, Gracia cepat-cepat menghentikannya. Gracia mengira Seno mengatakan semua itu untuk menjaga gengsi, jadi dia memilih untuk tidak mempertanyakannya. Asal Seno setuju mau pergi, itu sudah cukup. "Oke, oke, kamu yang paling hebat. Asal kamu mau pergi untuk menenangkan pikiran, aku sudah lega." "Aku yakin kamu pasti akan sukses. Kamu akan selalu jadi yang terbaik, selamanya di hatiku." Gracia melihat makanan yang berserakan di lantai. "Kita nggak jadi makan bersama. Mungkin itu sudah takdir. Tapi, bertemu denganmu saja sudah cukup. Seno, aku pulang dulu." Setelah kata-kata itu, Gracia pergi sambil tersenyum kecil. Begitu melangkah keluar pintu, air matanya sudah tak terbendung lagi. Dia menutup mulutnya agar tidak terisak. Dia tidak mengucapkan selamat tinggal. Mungkin dia percaya mereka tidak akan bertemu lagi. Seno memicingkan matanya. "Mulai sekarang, yang harus takut itu mereka."

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.