Bab 11
Melihatku diam, nada suaranya semakin sombong.
"Hidup seorang wanita baru lengkap kalau punya anak laki-laki."
Aku merasa konyol dan balik bertanya, "Bagaimana kalau anak kedua juga perempuan?"
Wajahnya langsung masam. Dia meraih lap meja dan menghampiriku.
"Cepat bersihkan mulutmu! Jangan ngomong hal sial!"
Ekspresinya menyeramkan, jari-jarinya yang kurus kering mencakar-cakar di udara.
Aku memiringkan tubuh menghindar, lalu mengambil pisau buah di atas meja.
"Coba datang lagi kalau berani."
Mata Janny melotot, matanya menonjol, mulut keriput seperti bokong ayam.
"Keluargamu sendiri nggak punya anak laki-laki, tapi ingin mengutuk Keluarga Piron nggak punya anak laki juga. Apa maksudmu!"
Sambil berkata begitu, dia mendongak bangga, menonjolkan dada yang sudah kendur.
"Transfer dua puluh juta ke aku. Nanti aku kasih tahu waktu yang pas untuk bisa hamil anak laki-laki gemuk."
Dia tidak segan, aku pun tak perlu memberi muka.
"Omong kosong apa itu? Jangan membuat orang merasa jijik di sini."
Kali ini Daniel berhenti pura-pura cuek lagi. Dia meletakkan mangkuk dengan keras ke meja.
"Selly, begitu cara bicaramu pada Ibu?"
Aku menatap mereka berdua dan tertawa dingin. "Kalau bisa hidup bersama, memangnya nggak boleh ngomong?"
Lalu aku sengaja menatap Darian yang dari tadi diam saja.
"Ayah, mereka selalu bersama, kamu nggak mau tegur?"
"Nggak takut terjadi sesuatu?"
Dia mengambil tisu dan menyeka mulutnya dengan pelan. Kemudian mengangkat sedikit kelopak mata yang sudah turun.
"Selly, ibumu memikirkan kebaikanmu."
Dia berkata lalu menyeringai.
"Lagi pula, ibumu lebih berpengalaman melayani orang. Kamu harus belajar darinya supaya hubunganmu dan Daniel bisa semakin mesra."
Kepalaku hampir meledak saat menghadapi keluarga seperti ini.
Benar-benar gila, benar-benar menghancurkan semua logika manusia.
Namun semuanya berlangsung begitu alami dan selaras, sungguh mengerikan.
Ini memang keluarga dengan cara pandang yang berbeda.
Aku bangkit hendak pergi, tapi Daniel menghadangku di pintu.
Dia mengernyit, menegurku untuk tidak kurang ajar pada orang tua.
Mendengar itu, aku justru tidak jadi ingin pergi.
"Baik, aku nggak pergi."
Aku kembali ke kamar dan mengunci pintu dari dalam.
Aku memesan gorden tebal yang bisa menghalangi cahaya.
Setelah tirai terpasang, aku tertidur dalam gelap.
Di tengah tidur, aku merasa sesak, leherku perih seolah dicekik.
Sepertinya ada seseorang di sampingku.
Tanganku meraba sebuah wajah. Kulitnya kasar.
Aku langsung merinding. Aku mengerahkan seluruh tenaga dan mencakar wajah orang itu.
Pria itu menahan erangan, lalu menamparku keras.
"Lumayan galak juga ya."
Aku ingin berteriak minta tolong, tapi mulutku dibekap sangat kuat.
Suaranya ditekan sangat rendah.
"Nggak ada yang akan menolongmu."
Ketakutan menyergapku dan aku ingin berteriak.
Di bawah tekanan berat itu, aku seperti kembali ke detik-detik sebelum mati di kehidupan sebelumnya.
Sunyi mencekam dan sangat menakutkan.
Pada saat inilah ponselku tiba-tiba berdering.
Suara dering kencang menusuk syaraf kami berdua.
Ketukan pintu yang kuat tiba-tiba terdengar dari luar.
Pria itu panik sejenak, lalu berguling turun dari tempat tidur.
Aku mengumpulkan semua sisa tenaga terakhir dan menendangnya dengan kuat!
Pria itu menahan teriakannya dan jatuh kencang di lantai.
Dia menunjukku dengan marah dan kabur dengan kondisi menyedihkan.
Aku tersenyum tipis, benar-benar bahaya.
Pintu geser di balkon terbuka dan berderit tajam.
Sebelum kehilangan kesadaran, aku mendengar suara yang sangat familier.
"Selly, bangun."