Bab 2
Beberapa jam sebelum kematianku di kehidupan sebelumnya, terlintas dengan sangat jelas di dalam ingatanku.
Daniel menyerahkanku pada para pembunuh itu, membiarkan mereka memperkosaku.
Pisau tajam mengoyak kulitku, puntung rokok membakar tubuhku, rasa sakitnya tak tertahankan.
Para pembunuh itu tertawa jahat, mata mereka dipenuhi kegilaan.
Salah satu dari mereka mengurungku ke dalam kandang berisi tikus dan tikus menggigit sepotong daging dari tubuhku.
Darah segar memancar keluar, rasa sakit membuatku meringkuk.
Akhirnya kesadaranku mulai kabur. Aku hanya ingat kalau Daniel mencoba membujuk mereka.
"Tenang saja, Kakak. Aku nggak akan lapor polisi."
"Kalau dia berani lapor, aku sendiri yang akan membunuhnya."
Pada saat itulah aku baru tahu, Daniel bukan hanya pengecut, dia juga sangat kejam.
Sebelum dia sempat membunuhku, aku sudah mati terlebih dahulu pada dini hari setelah pernikahan.
Aku mati dengan cara yang begitu tragis dan seluruh negeri mengetahuinya.
Ketika kasus itu menjadi heboh, media mewawancarai Daniel dan menanyakan kejadian hari itu.
Dia menangis putus asa di depan kamera.
Dia bilang para pembunuh itu hanya melakukan kesalahan, bukan salah menjadi orang.
Dia juga bilang aku yang sengaja menantang pelaku hingga mereka berniat membunuh.
Para netizen menghinaku, menyebutku hina dan bodoh.
Dengan arahan Daniel, mereka bahkan menemukan alamat rumah orang tuaku.
Karangan bunga bela sungkawa memenuhi lantai bawah, pintu rumah pun disiram cat merah.
Saat keluar, orang tuaku pingsan karena ketakutan.
Mereka sangat sedih karena kehilangan anak, kini mereka menghadapi serangan dunia maya yang sangat kejam.
Tidak sampai setengah bulan, kedua orang tuaku meninggal.
Daniel menguasai seluruh harta keluarga. Dia pindah ke kota lain dan menikahi wanita muda.
Daniel bahkan memanfaatkan popularitas kasus itu dan membuat sebuah akun di sebuah platform.
Nama akunya adalah Istri Tersayang di Surga.
Para netizen terharu oleh kesetiaannya dan tak lama kemudian dia pun meraup keuntungan melimpah.
Namun Daniel tetap tidak puas. Dia menyuruh orang membuang papan arwahku ke dalam sumur yang dalam. Lalu memanggil seorang master untuk melakukan ritual, agar aku tidak bisa bereinkarnasi selamanya.
Setelah hidup kembali, aku akan membuatnya jauh lebih menderita dibanding diriku di kehidupan sebelumnya.
Karena pembunuh yang aku lumpuhkan sebelumnya berhasil kabur dalam perjalanan dibawa ke tahanan.
Ketika mendengar kabar itu, Daniel meneleponku.
Dia menahan amarahnya. Suaranya terdengar datar, tapi kalimat pertama yang keluar sudah seperti petir menyambar.
"Selly, dia kabur pasti karena dendam padamu. Lebih baik kamu yang mencarinya dulu dan masalah selesai setelah emosinya dilampiaskan."
Aku tertegun sesaat, lalu tertawa karena marah.
"Daniel, otakmu rusak kena pukulan, ya? Dia itu pembunuh berantai dan akan ditembak mati."
Daniel menghela napas, lalu berkata dengan nada menyalahkan.
"Kamu jangan keras kepala. Pembunuh juga manusia. Kamu sangat keterlaluan karena menendangnya sampai nggak bisa meneruskan keturunan lagi."
Jadi, menurutnya aku tidak mati di tangan pembunuh itu justru salahku?
Aku memaki Daniel habis-habisan, lalu mengirimkan rekaman omongannya itu ke grup keluarga yang harmonis.
Aku pikir, orang tuanya pasti lebih pengertian.
Bagaimanapun juga aku adalah menantu Keluarga Piron.
Tapi ternyata, ibunya justru lebih parah.
"Apa yang dikatakan Daniel benar! Kalau pembunuh itu keluar dan melukai Daniel, bukankah kamu akan menjadi janda hidup?"
"Pria paling sensitif soal kejantanan. Kalau kamu paham situasi, seharusnya membiarkannya melampiaskan amarahnya."
Ayahnya yang selama ini hampir tidak pernah bicara di grup, mengirim sebuah stiker.
Stiker seekor anak anjing yang mengangguk-angguk.
Aku memaki mereka dengan kata-kata kasar. Otak satu keluarga itu tidak ada yang benar.
Namun pada saat ini, aku justru harus tetap tenang.
Rumah baru dibeli oleh keluargaku. Tapi pada waktu itu aku sedang dimabuk cinta, jadi menuliskan nama Daniel sebagai pemilik juga.
Setelah melihat sifat bejat dan egois keluarga itu, aku harus mempersiapkan diri sepenuhnya.
Aku menghubungi polisi dan mengajukan perlindungan saksi, lalu mengurung diri di rumah orang tuaku.
Karena kejadian beberapa hari lalu, ayah dan ibuku juga marah dengan Daniel.
Keduanya orang berpendidikan tinggi. Sejauh yang kuingat, mereka belum pernah mengucapkan kata kasar.
Beberapa hari ini, mereka diam-diam minum obat penurun tekanan darah. Mereka pasti sangat mengkhawatirkan keselamatanku.
Rekan-rekan kerjaku menelepon menanyakan kabarku. Namun Daniel tetap memaksaku menghubungi pembunuh itu terlebih dulu.
Hatiku terasa hancur dan aku mulai memikirkan bagaimana caranya membantu polisi menangkap orang itu.