Bab 4
Setelah mengusir Daniel, aku duduk di sofa berusaha menenangkan diri.
Sebenarnya, barusan aku tiba-tiba teringat kejadian malam itu.
Aku melukai perampok cukup parah, tapi mereka dari awal sampai akhir tidak pernah benar-benar menyakiti Daniel.
Mereka fokus padaku, seolah semua ini adalah konspirasi yang menargetkanku.
Apakah karena sikap Daniel yang terlalu pengecut, membuat mereka tidak sudi menghadapinya?
Atau sebenarnya ....
Saat memikirkan kemungkinan itu, aku langsung berkeringat dingin.
Kalau benar begitu, apa tujuan mereka?
Pikiranku kacau balau ketika ayah dan ibu masuk ke rumah. Wajah mereka penuh amarah.
Sekarang seluruh kompleks sudah menyebarkan kabar kalau pada hari itu aku dilecehkan oleh kedua perampok itu.
Bahkan ada "orang baik" yang menyarankan ibu membawaku ke rumah sakit untuk diperiksa.
"Bagaimana kalau sampai hamil anak perampok itu?"
Mata ibuku memerah dan menggenggam tanganku.
"Nak, cerai saja. Jangan hidup bersamanya lagi."
Aku mengangguk, ini sudah pasti.
Tapi aku tidak menyangka, keluarga Daniel ternyata tidak tahu malu sampai seperti itu.
Keesokan harinya, keluarga mereka datang ke rumah lagi.
Ibuku refleks ingin menutup pintu, tapi Daniel langsung menahannya.
Ibu Daniel menjulurkan kepala ke dalam dan memutar bola mata dengan sinis ketika melihatku.
"Cepat ikut kami pulang. Kenapa ribut di sini? Nggak malu?"
Aku menarik napas dalam-dalam, dada terasa sesak menahan amarah.
Ibuku langsung mendorongnya keluar dengan kasar.
"Kenapa anakku harus malu? Dia seorang diri melawan dua penjahat. Aku sangat bangga padanya."
Ayahku sudah berdiri di belakang dengan tongkat penggiling mi andalannya dan mengawasi dengan tatapan tajam.
Namun ibunya sama sekali tidak peduli dan mendengus dingin.
"Katanya anakmu pakai mulutnya untuk menyenangkan orang. Bukankah itu bermesraan dengan mereka secara tidak langsung? Murahan!"
Daniel yang berdiri di belakang, justru mengangguk membenarkan.
"Ya, ibuku benar."
Aku hanya bisa tertawa sinis melihat tingkahnya.
Sejak pacaran aku sudah tahu dia sangat menurut pada ibunya.
Tapi karena dia masih cukup baik padaku, aku diam saja.
Aku mencibir. "Memangnya kamu nggak takut buronan itu datang balas dendam pada kalian kalau menyuruhku pulang?"
Ibunya berkata santai, "Takut apa ...."
Dia baru bicara setengah, tapi tiba-tiba menyadari sesuatu.
"Kamu juga tahu ini akan melibatkan kami? Cepat ikut pulang bersama kami."
Dia memutar bola mata dengan bangga. "Kalau kamu nggak takut menjadi janda, langsung ikut kami pulang."
Reaksinya membuatku semakin curiga.
Kalau benar begitu, aku harus kembali ke sana untuk menyelidiki kebenarannya.
Di kehidupan sebelumnya, seluruh keluargaku berakhir tragis.
"Baik, aku ikut kalian pulang."
Aku berkata, lalu ekspresi ayah ibuku langsung berubah.
Saat melihatku setuju, ibu Daniel semakin menjadi-jadi.
Aku menenangkan ayah ibuku, lalu berkemas sebentar dan mengikuti mereka pulang.
Rumah baru sudah dibersihkan, aku hendak masuk.
Janny mengeluarkan alat tes kehamilan sambil menatap perutku.
"Meskipun Daniel bilang nggak terjadi apa-apa, tapi aku tetap harus memastikannya."
Aku menatap Daniel. "Kamu membiarkannya mempermalukanku? Kamu tahu persis apa yang terjadi malam itu!"
Daniel menghindar dari tatapanku dan bergumam pelan, "Tes sebentar nggak repot, 'kan?"
Aku langsung merebut alat tes itu dan memasukkan ke mulutnya.
Janny langsung meledak dan segera mendekat hendak menamparku.
Tentu aku tidak bisa diam saja membiarkannya menamparku.
Saat tangannya terangkat, aku menarik Daniel ke arahku.
Lalu tamparan itu mendarat di wajahnya.
Kulit wajah Daniel yang halus langsung memerah dan bengkak.
Bekas tamparan terlihat jelas di wajahnya.
Darian, ayah mertua yang tadinya pura-pura tidak tahu, akhirnya buka suara.
"Selly, kamu sudah kelewatan."