Bab 7
Dia sudah berkali-kali kurang ajar pada Ellen, tentu aku tidak bisa tinggal diam.
"Rumah ini dibeli sepenuhnya dengan uang keluargaku. Apa hubungannya denganmu?"
Janny menjawab penuh keyakinan, "Kamu sudah menikah dengan anakku. Jadi rumah ini miliknya. Nanti juga jadi milik cucuku. Nggak ada hubungannya denganmu."
Aku takut Ellen akan bertindak gegabah, jadi menyeretnya keluar secara paksa.
Setelah pintu ditutup, aku langsung mengeluarkan ponsel.
"Bibi, kamu benaran nggak mau kembalikan kalung itu?"
Matanya menghindar, menggertakkan gigi dengan diam.
Kalung itu bernilai enam puluh juta. Dia benar-benar tahu memilih yang mahal.
Janny mencubit lenganku dengan keras.
"Bukankah hanya masalah kalung saja, kenapa perhitungan sekali?"
Lalu dia masuk ke kamarku dan mengeluarkan kotak perhiasanku.
"Sini, pilih saja yang kalian suka. Hari ini aku yang memutuskan dan memberikan semuanya pada kalian!"
Dia menatapku sambil menantang.
"Ya sudah, seperti yang kamu mau."
Aku mematikan rekaman ponsel, lalu menelepon polisi.
Saat polisi pergi, Janny seperti ayam jago yang kalah bertarung.
Para kerabatnya menggerutu kesal karena dia hampir membuat mereka dipenjara.
Karena ini masalah keluarga, polisi hanya menegur beberapa kata.
Tapi itu cukup membuat mereka ketakutan.
Aku menyimpan barang berharga ke dalam koper dan menguncinya.
Lalu berbalik dan menemukan Janny dan kerabat yang masih melotot padaku.
"Polisi sudah ada catatannya hari ini. Kalau barangku ada yang hilang lagi, berarti kalian yang curi."
Aku masuk ke kamar dan menguncinya.
Janny dan para kerabatnya yang ada di ruang tamu menyebutku tidak punya sopan santun dan tidak tahu tata krama.
"Kalau bukan karena Daniel menyukainya, mana mungkin wanita begini pantas masuk keluarga kami!"
"Dulu dia memaksa membeli rumah dengan secara tunai. Wanita yang menawarkan diri memang nggak ada yang benar!"
Mereka sengaja mengeraskan suara, jelas ingin membuatku marah.
Aku mengirim pesan ke Daniel, bilang kalau dia tidak pulang sekarang, aku akan menjual rumah ini.
Kalau aku tidak bisa tinggal dengan nyaman, maka jangan harap ada yang boleh tinggal di sini lagi.
Ini pertama kalinya Daniel membalas cepat sejak menikah.
Dia bilang aku tidak pengertian, juga bilang dia akan segera pulang.
Setengah jam kemudian, Daniel membuka pintu rumah.
Sepuluh menit setelah itu, rumah kembali tenang.
Aku keluar dan melihat ruang tamu berantakan.
Kulit kuaci, bungkus camilan, dan puntung rokok berserakan.
Pada sandaran sofa kulit asli yang aku pesan khusus, bahkan ada satu lubang yang gosong.
Tapi Janny tidak peduli dan melihatku dengan sinis.
"Dasar manja, memangnya kamu pantas jadi menantuku?"
Aku tertawa dingin dan menunjuk lubang gosong di sofa.
"Sofa ini harganya 112 juta. Kamu cari cara perbaiki lubang itu. Kalau nggak, jangan salahkan aku kalau aku menggugat kerabatmu yang rakus itu."
Aku memberikan peringatan keras dan menyuruh mereka membereskan rumah.
Daniel mengerutkan kening dan menegurku. Dia bilang aku tidak boleh bicara seperti itu dengan ibunya.
"Ibuku sudah banyak menderita. Kamu sebagai menantu, seharusnya lebih perhatian."
"Selain itu, keluargaku mengeluarkan banyak uang untuk menikah denganmu, dari mana lagi harus mencari uang memperbaiki sofa untukmu?"
Aku malah tertawa mendengar perkataannya.
"Ibumu menderita saat muda karena ayahmu nggak punya kemampuan dan menderita sekarang karena kamu nggak punya kemampuan."
"Itu semua nggak ada hubungannya denganku. Lagi pula, nikah sama siapa pun pasti akan mengeluarkan uang. Kalau bisa, ya jangan nikah."
Aku mengambil tas dan menambahkan,
"Lagi pula, mobil dan rumah keluargaku yang beli. Kamu keluar uang apa?"
Daniel kehabisan kata, sementara aku langsung mengambil tas dan berjalan keluar.
Janny melotot padaku dan bertanya kenapa aku keluar padahal sudah hampir jam delapan malam sekarang.
Aku menoleh dan tersenyum manis padanya.
"Tentu saja mau ke klub malam. Kamu di rumah temani anakmu saja."