Bab 9
Aku bangkit untuk mengambil makanan pesananku dan masuk ke kamar.
Sore itu, Daniel mengetuk pintu dan masuk.
Tatapannya menyapu tubuhku, wajahnya masam.
"Gara-gara kamu, ibuku hanya makan sedikit."
Aku hanya menjawab "oh" dengan acuh. Daniel menggertakkan gigi, mendekat ke ranjang, lalu menindih tubuhku.
"Ibu bilang, dia nggak peduli kamu nggak punya tata krama. Asalkan kamu melahirkan anak laki-laki untukku, dia akan memaafkanmu."
Daniel mendekat, bibirnya semakin dekat ke wajahku.
Aku bahkan bisa mencium bau daun bawang dari mulutnya.
Wajahnya semakin dekat dan ada dua orang yang berdiri di luar pintu kamar yang setengah terbuka.
Mereka benar-benar gila!
"Pergi!"
Aku mengeluarkan suara dari sela gigiku. Daniel cukup berat dan tubuh yang menekanku hampir membuatku kehabisan napas.
Dia malah mengira aku malu, jadi menahan kedua tanganku di atas kepala.
"Selly, kita sudah lama nggak melakukan itu. Kamu nggak kangen padaku? Asal kamu melahirkan anak laki-laki untukku, nanti aku akan lebih baik padamu."
Dia berkata dan hendak menciumku.
Kesabaranku habis. Aku mengangkat lutut dan menendang selangkangannya dengan kuat.
Daniel menjerit, terjatuh dari ranjang dan menghantam lantai dengan keras.
Dia meringkuk seperti udang dan berguling kesakitan di lantai.
Janny menerobos masuk, mengulurkan tangan hendak melepas celananya untuk memeriksa apakah aku sampai melukai alat vitalnya.
"Dasar wanita jalang! Kamu segitu terobsesinya dengan alat vital pria, ya!"
Dia mengumpat sambil melepas celana Daniel.
Aku tercengang dengan tindakannya.
Daniel itu sudah berumur dua puluh empat tahun!
Darian berdeham, menariknya turun dari tubuh Daniel.
"Jangan bikin malu!"
Janny memerah matanya dan berteriak marah.
Daniel susah payah bangkit dari lantai, lalu dipapah keduanya keluar kamar.
Aku mengunci pintu kamar, membiarkan Janny memaki dari luar.
Saat suara di luar tidak terdengar lagi, aku menghela napas lega. Tapi aku melihat seseorang berdiri di balkon luar.
Wajah Janny menempel kuat di kaca, mukanya tertekan sampai gepeng. Wajah sinisnya saat ini tampak sangat menakutkan.
"Wanita jalang, buka pintunya! Biarkan aku masuk!"
Aku hampir pingsan karena ketakutan. Begitu sadar, aku bergegas ke sana dan membuka jendelanya.
Aku menjambak rambutnya dan menariknya ke dalam dari jendela.
"Kalau mau masuk ya masuk saja! Jangan menempel di luar situ. Di sini lantai tujuh belas, kalau sampai jatuh dan mati, satu kampungmu bisa pesta besar!"
Aku dan Janny saling tarik menarik, sementara Daniel yang ada di luar sangat panik.
Begitu dia berhasil membuka pintu kamar dan menerobos masuk, rambut ibunya sudah tercabut lumayan banyak olehku.
Aku terengah, menatap Janny yang menangis tersedu-sedu di pelukan Daniel.
"Bagaimana? Masih mau masuk?"
Dia menjerit kencang dan bilang mau pulang ke kampung saja.
"Aku dipermalukan menantu seperti ini, apa gunanya aku hidup lagi?"
Hati Daniel hancur karena tangisan ibunya dan menyuruhku segera minta maaf padanya.
"Pergi! Segera keluar dari kamarku!"
Aku menunjuk ke arah luar, lalu mengambil pisau buah dari meja.
Amarahku terus menghantam batas terakhir akal sehatku.
Seolah pada detik berikutnya, pisau itu akan aku ayunkan.
Daniel ketakutan melihatku seperti itu dan buru-buru membawa ibunya pergi.
Aku melemparkan pisau buah itu, jantungku yang berdetak kencang perlahan normal kembali.
Rasa takut yang muncul belakangan membuat air mataku jatuh tanpa bisa ditahan.
Malam itu aku sama sekali tidak bisa tidur.
Begitu memejamkan mata, selalu terbayang wajah ibunya yang menempel di kaca.
Saat pagi akhirnya tiba, aku masuk ke kamar mandi dan menemukan celana dalamku yang dijemur di balkon sudah dibuang ke tempat sampah.
Aku buru-buru ke balkon dan mengambil semua pakaian yang tersisa.
Daniel keluar dari kamar ibunya dan tatapannya dingin saat melihatku.
"Selly, kalau kali ini kamu nggak minta maaf, aku nggak akan memaafkanmu."