Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 1

Aku meninggal, meninggal pada malam ketika suamiku, Riko Pradipta mengusirku dari hotel. Ketika aku menerjang hujan demi membeli kue ulang tahun untuk adikku, Elmira Rasid. Seorang pria brewok menyergapku ke dalam gang dan menendang-nendang perutku yang besar. Aku sudah hamil enam bulan. Naluri ibu membuatku melindungi perutku erat-erat, meski punggung tanganku patah akibat tendangan pria itu. Pria itu menjambak rambutku dan menghantamkan diriku ke tembok. "Kamulah yang menggoda suami Elmira dan mengandung anak haram, 'kan?" "Kamu pantas mati karena sudah menyakiti Elmira! Dasar wanita hina! Kamu dan anak harammu ini pantas mati!" Penglihatanku diselimuti kabut merah. Tubuhku lunglai tergeletak di tanah. Aku ingin berteriak minta tolong, tetapi rasa sakit yang dahsyat membuatku tidak bertenaga. Apa maksudnya suami Elmira .... Itu jelas adalah suamiku. Anakku bukan anak haram! Akan tetapi, aku tidak dapat berbicara. Dengan pisau, pria itu merobek perutku hidup-hidup, merenggut janin yang sudah berbentuk dari rahimku, lalu melemparkan janin yang berlumuran darah itu ke dadaku. Bayi itu ... bahkan sudah mulai terlihat bentuk mata dan alisnya. Sampai akhir napasku, mataku tetap terbuka dengan penuh dendam dan kepahitan. Hujan deras menghanyutkan genangan darahku. Rohku melayang-layang di udara, menyaksikan pria itu menyeret mayatku dengan kantong sampah hitam besar dan pergi begitu saja. Gang kecil yang gelap itu kembali sunyi, tak menyisakan jejak sedikit pun tentang kematianku. ... Aku mengira rohku akan segera sirna. Tak disangka, embusan angin membawaku ke depan ruangan di mana Riko sedang merayakan ulang tahun Elmira. Riko merangkul pinggang Elmira dengan sorot mata penuh kelembutan. Dengan khusyuk, Riko memasangkan cincin ke jari tengah Elmira. Orang-orang di sekitarnya bersorak, "Wah, bukankah ini cincin Nami yang Kak Riko beli dengan harga selangit di Kota Paren? Ternyata untuk Elmira! Aduh ... bau-bau cinta ini." "Ini hadiah ulang tahun atau ... itu?" Elmira tersipu malu oleh candaan mereka hingga menyembunyikan mukanya ke pelukan Riko. "Kalau kalian anggap begitu, ya sudah. Aku nggak peduli." Riko melindungi Elmira dengan tatapan penuh kasih sayang. "Abaikan saja mereka. Kamu sudah minum terlalu banyak malam ini. Nanti aku belikan susu hangat untukmu, ya?" Elmira menggigit bibirnya sambil menatap Riko dengan mata penuh sukacita. "Kenapa kamu baik sekali padaku?" Riko mengecup dahi Elmira. "Sudah seharusnya." Betapa serasinya dua orang itu! Seolah-olah kematianku, istri sah Riko, tak meninggalkan bekas apa pun. Dadaku terasa sesak oleh nyeri yang tumpul. Aku hanya bisa menatap mereka dengan bengong dan tubuh menggigil. Riko jelas-jelas adalah suamiku, tetapi dia tidak pernah mencintaiku. Segenap hatinya hanya pada adikku. Aku sudah mencintai Riko dengan pesimis selama sepuluh tahun. Setelah mati pun aku harus menyaksikan Riko memasangkan cincin ke jari pujaan hatinya. Sepertinya Tuhan ingin aku melihat betapa bodohnya diriku .... Aku tahu betul Riko tidak pernah mencintaiku, tetapi mengapa Riko harus menginjak-injak cintaku yang tulus? Lalu, Elmira .... Atas dasar apa Elmira merebut suamiku dengan begitu tak tahu malu? Bukankah pria yang membunuhku itu juga termakan bujuk rayunya hingga tega menyiksaku sampai mati?" Bayangan kesakitan sebelum mati dan janin yang tak sempat lahir itu membuat mataku memerah darah. Aku menerjang sambil mengutuk dan menjerit histeris, tetapi rohku hanya bolak-balik menembus tubuh pasangan yang sedang berpelukan itu. Benar, aku sudah mati. Tidak peduli seberapa pedih hatiku, yang bisa kulakukan hanyalah menonton. Rohku melayang tanpa daya di atas ruangan itu. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, bahkan untuk sekadar pergi. Pesta itu berlangsung lama sebelum bubar. Riko yang memeluk Elmira hendak berdiri. Tatapannya tertuju pada noda kue yang tersisa di lantai. Alisnya berkerut seketika. Elmira menyadari lamunan Riko dan ikut menoleh ke sana. Matanya berkedip-kedip. Elmira memeluk lengan Riko erat-erat. Ada sedikit kekhawatiran dalam suaranya. "Riko, Tiara belum kembali sampai sekarang. Apa mungkin terjadi sesuatu? Bagaimana kalau kamu telepon dan tanyakan?" Setelah itu, Elmira menunduk dan berkata dengan suara sedih, "Tiara pasti salah paham tentang kue itu. Seharusnya aku nggak minta Tiara pergi membelikan kue. Tiara pasti nggak mau kembali karena marah padaku." Riko yang hendak merogoh ponselnya langsung berhenti. Wajahnya berubah dingin dan tegas. "Bisa-bisanya dia marah? Dia yang merusak hari ulang tahunmu." Suara Riko terdengar muak dan kesal. "Jangan khawatirkan Tiara. Apa yang mungkin terjadi padanya? Tiara hanya mengambek padaku, biarkan dia merajuk sendiri." "Tiara selalu berebut denganmu! Dia pikir dirinya siapa?" Kata-kata yang dingin itu menusuk jantungku bagai pecahan es tajam. Aku membuka mulutku dan tiba-tiba merasa sedikit konyol. Rupanya Riko mengira aku sedang merajuk dan sudah mengacaukan hari ulang tahun pujaan hatinya? Akan tetapi, Riko lupa bahwa hari ini juga hari ulang tahunku. Elmira meneleponku sore ini, bahwa Riko telah menyiapkan kejutan untukku hari ini. Ketika mendengar kabar itu, jantungku serasa ingin melonjak kegirangan. Dalam tiga tahun pernikahan kami, Riko tidak pernah memberiku senyuman. Tidak peduli bagaimana aku merendahkan diri dan berusaha mengambil hatinya, yang kudapat selalu wajah jijik pria itu. Kukira Riko akhirnya mau menerimaku setelah tahu aku hamil. Oleh karena itu, saat masuk ke ruangan dan melihat kue berbentuk hati di atas meja, aku begitu girang hingga tidak berani percaya. Tanganku gemetar saat menyalakan lilin yang kupasang dengan hati-hati. Bahkan ketika Riko masuk bersama Elmira, aku masih ingin tersenyum sambil mengucapkan terima kasih padanya. Namun, detik berikutnya, Riko mengepalkan tinju dan menghardik, "Kenapa kamu ada di sini? Beraninya kamu membuka kue itu?" Riko membanting kue itu ke lantai dengan geram. Krim kue terbang ke seluruh tubuhku. Lalu, Riko mencekik leherku. Rupanya kue itu untuk Elmira. Riko tidak pernah berpikiran untuk merayakan ulang tahunku ... bahkan ucapan sekadarnya pun tidak. "Tiara, kamu benar-benar membuatku muak! Kamu bahkan ingin merebut perhatian di hari ulang tahun Elmira!" "Kamu pikir dengan menggodaku dan hamil, kamu bisa semena-mena? Lebih baik kamu mati saja!" "Pergi sekarang juga! Belikan Elmira kue yang baru! Kalau nggak dapat, jangan kembali lagi!" Dengan demikian, aku yang berlumuran krim didorong keluar secara paksa oleh Riko. Elmira menatap punggungku dengan tatapan penuh ejekan, seolah-olah berkata, 'Apa kamu lihat itu? Meskipun kamu menikah dengan Riko, di mata Riko, kamu tetap tak pantas mendapat apa-apa.' Ketika aku pergi, Elmira bersandar dalam pelukan Riko dengan lemah gemulai dan mata merah padam. "Riko, aku hanya ingin ajak Tiara untuk merayakan ulang tahun bersama. Bagaimanapun, kami ini kakak-adik ...." "Kenapa Tiara begitu membenciku? Aku benar-benar ingin hidup rukun bersamanya ...." Riko memeluk Elmira seraya menghiburnya. Dia melemparkan tatapan penuh kebencian padaku. Itulah tatapan terakhir Riko padaku. Saat itu juga, kurasa Riko benar-benar berharap aku mati. Akan tetapi, aku tidak ingin dibenci olehnya. Padahal, dulu Riko berjanji akan menikahiku setelah dewasa nanti. Mengapa semuanya berubah seketika? Aku keluar menerjang hujan mencari kue. Pukul sepuluh malam, semua toko kue sudah tutup. Dengan kegigihan sambil melindungi perutku, aku berkeliling dari satu toko ke toko lain, bahkan mencoba kedai kecil. Kemudian, pria itu memberitahuku bahwa dia tahu toko kue rumahan yang bisa membuatkan kue untukku dengan cepat. Aku terlalu mudah memercayai pria itu, sampai dibawanya ke gang itu dan akhirnya mati di hari ulang tahunku yang ke-24. Keinginan Riko pun terwujud. Seperti apakah ekspresi Riko nanti begitu mendengar kabar kematianku?
Bab Sebelumnya
1/100Bab selanjutnya

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.