Bab 2
Rohku tetap tidak dapat pergi, melainkan mengikuti Riko ke luar ruangan dan pulang ke rumahnya.
Pukul dua belas malam, lampu di ruang tamu masih menyala.
Dengan penuh kebingungan, aku mengikuti Riko ke dalam rumah. Tampaklah hidangan yang sudah dingin serta mi ulang tahun yang sudah lembek di meja makan.
Nenek Fia duduk di depan meja makan, tampak mengantuk dengan mata terpejam.
"Nenek?"
Riko mengernyit. "Nenek belum tidur?"
Nenek Fia terbangun. Dia tertegun sejenak begitu melihat Riko pulang sendirian. "Di mana Tiara? Kenapa Tiara nggak pulang bersamamu?"
Mendengar Nenek Fia bertanya tentang aku, wajah Riko makin masam.
"Dia sedang mengambek. Abaikan saja dia. Nenek, cepat pergi tidur."
"Hari ini hari ulang tahunnya. Kenapa kamu masih menyakitinya?"
Nenek Fia mulai cemas. "Sekalipun bertengkar denganmu, Tiara nggak akan nggak jawab panggilan Nenek dan nggak balas pesan!"
"Nenek mengirimi banyak pesan WhatsApp dan bilang sudah masak mi ulang tahun untuknya, tapi tetap nggak dapat respons. Tiara pasti sedang dalam masalah!"
Melihat tangan Nenek Fia gemetar saking cemas, hidungku tiba-tiba terasa pedih. Rohku melayang mendekatinya dan ingin menggenggam tangannya.
Akan tetapi, teringat kata orang bahwa hantu membawa aura negatif yang bisa membahayakan kesehatan, aku secara refleks mundur selangkah.
Aku tidak ingin Nenek jatuh sakit.
Ketika aku akhirnya dibawa pulang oleh Keluarga Rasid, semua orang menganggapku, "Nona Sulung Keluarga Rasid" yang tumbuh besar di panti asuhan, terlalu penakut sehingga tidak pantas dianggap anggota keluarga, serta jauh kalah dibandingkan Elmira, anak angkat mereka yang sopan, manis, dan terpelajar.
Hanya Nenek Fia yang berbeda. Begitu melihatku, Nenek Fia langsung memegang tanganku sambil meneteskan air mata, dan berkata aku pasti telah melalui banyak penderitaan. Nenek Fia juga memberitahuku bahwa aku dan Riko telah dijodohkan sejak dalam kandungan, dan kelak aku akan menikah dengannya.
Aku sangat menyukai Nenek Fia, juga ingin menjadi cucu menantunya. Ketika mengetahui Riko adalah anak laki-laki yang dulu terjebak bersamaku di gubuk terbakar itu, aku makin menanti hari pernikahan kami.
Namun, Keluarga Rasid sebenarnya ingin menikahkan Elmira. Orang yang ingin dinikahi Riko juga adalah Elmira yang tumbuh besar bersamanya.
Hanya saja, Nenek Fia bersikeras bahwa akulah putri Keluarga Rasid yang sesungguhnya. Oleh karena itulah aku akhirnya menjadi istri Riko.
Melihat Nenek Fia begitu cemas, jantungku serasa diremas hingga begitu sesak dan perih.
Ketika jasadku ditemukan, mereka seharusnya akan menyembunyikan kabar itu dari Nenek, 'kan?
Aku tidak ingin kesehatan Nenek memburuk karena masalahku.
Mendengar ucapan itu, ekspresi Riko berubah sinis. "Tiara sengaja buat Nenek khawatir supaya aku mengalah. Buat apa Nenek menyayanginya? Karena masalah kecil saja langsung kabur dari rumah. Tiara sama sekali nggak peduli Nenek bisa sakit karena stres!"
"Jangan pedulikan dia. Tiara pasti pulang kalau sudah puas berulah. Aku justru ingin lihat drama apa lagi yang bisa dia buat!"
Riko berbalik dan hendak ke lantai atas.
Dada Nenek Fia naik-turun saking marah. "Kurang ajar! Tiara istrimu! Yang ada di kandungannya adalah darah dagingmu sendiri!"
Ekspresi Riko tampak dingin.
"Aku nggak mau istri seperti Tiara dan anak itu."
"Tiara yang dengan nggak tahu malu memberiku obat. Kalau nggak, mustahil aku mau bersamanya."
Setelah itu, Riko langsung berjalan ke lantai atas.
Nenek Fia begitu marah hingga tubuhnya gemetar, bahkan ingin melempar tongkat di tangannya. Matanya memerah ketika melihat hidangan di atas meja.
"Tiara nggak akan kabur dari rumah dan membuat Nenek khawatir. Tiara itu anak baik. Hanya kamu yang buta dan nggak suka Tiara!"
"Tuhan memberkati, tolong lindungi Tiara agar tetap aman dan sehat ...."
Nenek Fia berdiri dengan gemetar dan meminta pelayan untuk meneleponku lagi.
Dering telepon terdengar lama, tetapi tak dijawab.
Setelah dibujuk-bujuk oleh pelayan, akhirnya Nenek mau naik ke kamar untuk beristirahat.
Dari jauh, aku melihat Nenek Fia minum obat dan tertidur. Baru setelah itu, rohku melayang ke kamar Riko.
Di luar dugaanku, Riko belum tidur. Dengan wajah geram dan gelisah, Riko duduk di ruang kerja sambil merokok. Ponsel tergenggam erat di tangan satunya.
Memandang asap rokok yang mengepul di ruangan itu, aku melayang mendekat dan melirik layar ponsel Riko. Rupanya itu kotak dialog WhatsApp-ku.
Riko meneleponku. Dering telepon terdengar lama, tetapi tak dijawab.
Selama bertahun-tahun ini, Riko tidak pernah tidak bisa menghubungiku melalui telepon.
Aku selalu menjawab panggilan, baik sedang kerja maupun mandi. Bahkan jika Riko menelepon pukul dua subuh setelah turun dari pesawat dan memintaku menjemputnya, aku juga menjawab panggilan dalam hitungan detik dan bangun untuk bersiap-siap.
Oleh karena itu, wajah Riko berubah masam dalam sekejap.
Riko meneleponku lagi, tetapi tetap tak dijawab. Riko dengan geram memadamkan rokoknya di dalam asbak, lalu berdiri dan menjatuhkan semua barang di atas meja ke lantai.
[Tiara, kalau kamu nggak pulang, nggak usah pulang lagi! Jangan pikir aku mengalah begitu saja dan memanjakanmu!]
[Kalau kamu belum pulang besok pagi, kita cerai saja. Anak haram hasil tipu dayamu itu juga nggak akan kuakui!]
Riko mungkin mengira aku akan langsung pulang ketakutan setelah membaca pesan itu. Dulu, aku benar-benar sangat takut Riko mengajukan perceraian.
Namun, sekarang ketika melihat kata-kata di layar ponsel dan wajah Riko yang marah, aku hanya ingin menamparnya.
Bukan hanya merasa jijik padaku, anak kami pun disebut anak haram oleh Riko.
Bagaimana bisa aku menyukai pria bajingan seperti itu begitu lama ....
Riko yakin anak itu hasil rencana licikku, dan hanya sebuah senjata untuk mengukuhkan posisiku sebagai istrinya. Padahal, dialah yang memaksaku di bawah pengaruh obat saat itu.
Riko tidak memberi belas kasihan sedikit pun, yang kurasakan hanya sakit. Tangis dan jeritanku memohon ampun tak digubrisnya.
Ironis sekali, satu-satunya saat kami berhubungan intim, Riko malah memanggil nama adikku.
"Cerai? Cerai saja. Aku nggak akan takut lagi pada ancaman ceraimu."
Aku menatap Riko dengan tenang. "Saat kamu menemukanku nanti, yang tersisa hanya mayat istrimu."
Riko tampaknya merasakan sesuatu. Dia menatap ke arahku dan tertegun cukup lama tanpa berkata apa-apa.
Kami bertatapan satu sama lain. Entah mengapa, hatiku tenang tak beriak.
Mungkin karena aku sudah meninggal. Segala sesuatu tentang Riko tidak ada hubungannya denganku.
Setelah sesaat, Riko memalingkan tatapannya. Dia kembali ke kamar untuk beristirahat.
Namun, baru saja Riko berbaring, ponselnya berdering. Elmira menelepon.
Riko langsung menjawab panggilan dengan suara lembut, "Ada apa, Elmira?"
Entah apa yang Elmira katakan di telepon. Aku samar-samar mendengar suara isakan.
Seketika, Riko mengepal tinju dan wajahnya memucat. "Tunggu aku, aku ke sana sekarang."