Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 5

Kemudian, Riko berbalik dan hendak pergi. Dion mencegatnya dan bertanya dengan suara dingin, "Masalahnya belum terselesaikan. Kamu mau ke mana?" Suasana antara keduanya tegang. Melihat kedua pria itu akan berkelahi di kantor polisi, petugas polisi mengetuk meja dan menegaskan. "Ini kantor polisi! Pak, apa kamu benar-benar yakin mau melaporkan kasus ini?" "Nggak, nggak perlu repot-repot," tolak Riko mentah-mentah. "Oke. Kalau dia belum pulang juga hari ini, sebaiknya kamu datang lagi untuk melaporkan kasus. Kalau nggak, waktu terbaik untuk melakukan pencarian akan terlewatkan." Sebelum pergi, polisi itu tidak lupa memberikan nasihat, tetapi dicueki Riko. Di luar kantor polisi, amarah Dion yang terpendam barusan meledak. "Kamu sudah menikahi Tiara, kenapa kamu nggak memperlakukannya dengan baik?" Riko menyeringai sinis. "Aku sama sekali nggak mencintai Tiara, untuk apa aku bersikap baik padanya? Memangnya aku harus berakting selamanya?" Aku berdiri di samping kedua pria itu. Lalu, aku menoleh pada Riko. Keputusasaan di mataku hampir terwujud nyata. Aku mentertawakan kebodohanku sendiri, sekaligus menyesali setiap pilihan yang pernah kubuat. "Kenapa kamu menikahi Tiara kalau kamu nggak mencintainya? Kamu bisa mengakhirinya setelah insiden itu." Dion mengungkit tentang kekacauan malam itu. Saat itu, aku tidak mengerti. Sampai sekarang, aku tetap tidak mengerti mengapa Riko pura-pura bersedia bertanggung jawab, padahal dia bisa saja memintaku melakukan aborsi. "Enak sekali kamu bicara! Kalau begitu, kenapa nggak kamu saja yang menerimanya waktu itu?" Tak kusangka Riko akan mengatakan hal-hal konyol seperti itu. Di matanya, aku bisa melakukan hubungan dengan pria mana pun. "Tiara begitu mencintaimu. Demi kamu, dia bahkan ...." Dion tiba-tiba tidak berniat melanjutkan perkataannya. "Bahkan apa? Ada hal apa lagi yang aku nggak tahu?" Riko bertanya dengan penuh minat. "Sudahlah, percuma berdebat sekarang. Tapi aku sarankan kamu langsung cerai dengan Tiara setelah dia ditemukan. Aku bisa bantu mengurus anak kalian." Saat ini, Dion belum tahu aku sudah meninggal. Sebagai sahabat baik yang selalu bersedia mendampingiku, dia sudah melakukan yang terbaik untukku. "Anak apa? Apa kamu nggak tahu wanita kejam itu sudah menggugurkan janinnya?" Mengungkit hal itu, wajah Riko berubah muram, seakan-akan aku telah membunuh anak yang seharusnya menjadi miliknya. "Nggak hanya begitu, dia bahkan mengirim mayat janin itu ke rumah Elmira." Mendengar itu, sudut mulut Dion berkedut-kedut dan wajahnya masam. "Mana mungkin? Tiara pasti tertimpa masalah!" Ada sedikit kemerahan di sudut mata Dion. Dia mundur beberapa langkah, seolah-olah tidak bisa menerima berita berat seperti itu. "Hanya orang bodoh sepertimu yang percaya Tiara itu polos dan baik. Aku nggak mau buang-buang waktu denganmu. Kalau kamu mau cari Tiara, cari saja sendiri dan jangan ganggu aku." Setelah itu, Riko berbalik dengan cuek. Aku melihatnya tiba-tiba berhenti dan melirik ke arahku, lalu mengalihkan pandangannya pada Dion lagi. "Oh, ya. Sebelum wanita itu pulang, jangan temui aku lagi. Aku nggak mau dengar berita apa pun tentang wanita itu." Dulu, aku berpikir pria ini masih punya rasa kemanusiaan. Tak kusangka Riko akan begitu kejam. Dion tidak berkata apa-apa, seolah-olah rohnya ditarik keluar dari tubuhnya. Aku memejamkan mata, menunggu Riko membawaku pergi. Seketika itu, rohku serasa menguap perlahan. Rasa sakit yang tak terucapkan menyebar ke seluruh ragaku. Apakah aku akhirnya akan bebas? Memikirkan untuk benar-benar meninggalkan dunia ini, aku bertanya-tanya apa yang menantiku nanti. Namun, detik berikutnya, aku kembali ke kondisi semula. Kurasa mungkin seseorang telah menemukan mayatku. Aku belum bisa pergi untuk saat ini. Mungkin hanya ketika mayatku benar-benar lenyap dari dunia ini, aku baru akan menemukan kebebasan sejati. Ketika aku membuka mataku lagi, Riko sudah berjalan jauh. Aku menatap punggungnya dengan penuh keheranan. Mengapa aku masih di sana, padahal Riko sudah pergi? Aku mencoba mengikutinya, tetapi rohku hanya bergeming di tempat. Rasanya seperti ada suatu kekuatan yang menarikku dan mencegahku untuk pergi. Oleh karena itu, aku tinggal bersama Dion. Apa yang terjadi sebenarnya? Apakah ini petunjuk dari kekuatan tak kasatmata bahwa aku harus mengucapkan selamat tinggal pada orang yang lebih penting? "Tiara, kamu bodoh." Lama kemudian, aku mendengar gumaman sedih itu. Dion duduk di pinggir jalan dengan mata tertunduk sambil bergumam sendiri. Dion benar, aku memang bodoh. Jika aku mendengarkan nasihatnya, mungkin aku masih bisa menjalani hidup dengan bebas sekarang. "Kalau kamu bisa menemukanku, tolong bawa aku pergi dari dunia ini. Kumohon." Tanganku yang tembus pandang tergantung di atas bahu Dion. Aku menyeringai getir melihat ironi ini. "Tiara, di mana kamu?" Dion mendongakkan wajahnya yang berlinang air mata. Kami hanyalah teman biasa, tetapi Dion meneteskan air mata untukku. Sementara pria yang berstatus sebagai suamiku itu, dia hanya akan menganggapku beban. Melihat Dion yang matanya mulai memerah karena diriku, aku ingin menghiburnya, tetapi tak ada kata yang bisa kuucapkan. Dengan pilu, aku hanya bisa berdiri di samping dan mendengarkan. Setelah menenangkan diri, Dion berbalik dan hendak pergi. Aku mengira diriku akan tetap di tempat ini. Tak kusangka, sebuah kekuatan tak kasatmata mendorongku untuk mengikuti Dion. Aku pun mengikuti mobilnya. Apa yang terjadi? Apakah ada yang mengendalikan rohku? Meskipun aku sudah mati, perasaan diatur secara misterius ini membuatku merasa ngeri. Begitu masuk ke mobil bersama Dion, aku melihatnya terus-menerus menelepon. "Aku sudah menyuruh kalian lapor polisi dan menggeledah seluruh kota. Kenapa masih nggak ada kabar? Kalau nggak bisa menemukan Tiara, kalian semua akan dipecat!" Mungkin ini pertama kalinya aku melihat Dion begitu marah. Dalam ingatanku, Dion selalu lembut dan baik hati. Kemudian, Dion mengakhiri panggilan dan membuang ponselnya keluar melalui jendela mobil. Melihat Dion begitu frustrasi, hatiku juga perih. Tiba-tiba, Dion menginjak pedal gas. Aku secara refleks berpegangan erat pada sandaran kursi. Tanganku tak menyentuh apa pun. Bahkan sebagai roh pun aku masih bisa merasa kaget. Aku mengikuti Dion pulang ke rumah. Rumah itu persis seperti ingatanku dulu, tak ada yang berubah. Dion duduk melamun di sofa, entah sedang memikirkan apa. Aku mondar-mandir di rumahnya tanpa tujuan, tak tahu harus berbuat apa. Tepat saat aku bosan, Dion tiba-tiba berdiri, menghampiri rak buku, dan menekan sebuah tombol tersembunyi. Rak buku itu terbelah ke dua sisi. Tak kusangka ada ruang rahasia di rumah Dion!

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.