Bab 12
"Kenapa? Kalian kenapa diam saja?" Melihat keduanya tidak menjawab, Risa langsung panik dan bertanya.
"Jangan-jangan kalian benar-benar berpikir mau cerai? Aku ... hhh ... hhh ... hhh!" Belum selesai bicara, napasnya kembali menjadi berat dan cepat.
Suara napasnya dalam dan berat.
Eric langsung panik dan segera menenangkan Risa. "Nggak, Nenek! Kami nggak pernah berpikir mau cerai! Jangan panik, tarik napas pelan-pelan."
Mendengar itu, Sania melirik Eric sekilas.
Dia tahu, Eric bicara begitu hanya demi menenangkan Nenek.
"Sania." Risa kembali memanggilnya.
"Ya, Nenek."
Risa menggenggam tangannya erat-erat. "Nenek hanya mengakuimu sebagai satu-satunya cucu menantu. Kalau Eric berani menyakitimu, kamu harus kasih tahu Nenek. Nenek yang akan memarahinya!"
Kata-kata itu membuat hati Sania terasa hangat.
Dia benar-benar berterima kasih pada Risa.
Tapi ... dia sudah benar-benar sadar sekarang.
Kalau bukan miliknya, sekeras apa pun dipaksakan, dia tidak akan pernah menjadi miliknya.
Urusan perasaan, justru hal yang paling tidak bisa dipaksa.
Hanya saja, demi menenangkan Risa, Sania akhirnya tetap berkata hal yang bertolak belakang dengan hatinya, "Tenang saja, Nenek. Eric nggak menyakitiku. Kami baik-baik saja."
Risa akhirnya tersenyum. "Baguslah."
Tak lama kemudian, Risa tertidur lagi mungkin karena terlalu lelah.
Setelah dia tidur, mereka pun keluar dari kamar.
"Ibu, ada yang ingin aku bicarakan dengan Sania. Kami ke kamar dulu." Setelah mengatakan itu, Eric langsung meraih tangan Sania.
"Ah ...." Begitu tangan kirinya ditarik, Sania mengerang pelan menahan sakit.
Eric tertegun, menunduk melihat tangannya.
Wajah Sania agak pucat, tidak bicara lagi. Dia melewati Eric dan langsung menuju kamar mereka.
Mata Eric menggelap, dia ragu dua detik, lalu memasukkan tangan ke saku dan menyusulnya.
Begitu masuk kamar dan pintu tertutup, Eric langsung bertanya, "Lukamu karena apa?"
Suaranya rendah, serak, membawa emosi yang sulit ditebak.
Sania hanya berkata datar. "Pak Eric nggak perlu memikirkannya."
Mendengar itu, Eric mengerutkan alis.
Beberapa detik kemudian, dia menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan suara berat, "Masalah cerai kita tunda dulu."
Ekspresi Sania tidak berubah saat mendengar kalimat Eric. Dia hanya bicara dengan tenang. "Kita urus dulu prosedurnya. Soal Nenek, kita jangan kasih tahu dulu. Aku akan kerja sama untuk pura-pura."
Eric melirik Sania. "Kita baru sampai Kantor Catatan Sipil, tapi Nenek langsung sakit. Begitu bangun, dia ngomong begitu."
"Kamu nggak pernah memikirkan alasannya?"
Mendengar itu, Sania tertegun.
Eric melanjutkan, "Nenek pasti punya kenalan di Kantor Catatan Sipil. Jadi, selama kita pergi ke sana, Nenek pasti akan tahu."
Sania terdiam.
Setelah berpikir sebentar, Sania berkata pelan, "Aku akan cari waktu untuk menjelaskan semuanya pada Nenek."
Eric tampak kaget, muncul rasa aneh yang tidak bisa dia jelaskan.
Ekspresinya tetap dingin, tidak terlihat emosi dan berkata, "Baguslah kalau begitu."
Sania tidak bicara lagi, berbalik dan keluar kamar.
Melihat punggungnya, mata panjang Eric sedikit menyipit. Dia seolah memikirkan sesuatu, jadi mengeluarkan ponsel dan menelepon seseorang.
"Pak Eric." Suara di seberang terdengar hormat.
"Cari tahu, apa yang terjadi setelah Sania berpisah dariku semalam." Eric memberikan perintah.
"Baik."
Eric menutup telepon.
Sania baru saja keluar dari kamar ketika ponselnya berdering.
Dia berjalan ke arah balkon kecil untuk mengangkat telepon.
"Halo, Ayah." Orang yang meneleponnya adalah ayah Sania, Diego Ravan.
"Sania, malam ini kamu dan Pak Eric pulang makan di rumah, ya," kata Diego.
Mendengar itu, ujung bibir Sania terangkat sedikit. Dia menolak dengan nada datar. "Nggak. Ibu sudah bilang, setelah aku pergi, jangan kembali ke rumah itu lagi."
"Kapan dia bicara begitu?" Diego bertanya, lalu langsung tertawa. "Kamu juga tahu sifat ibumu. Mulutnya jahat tapi hatinya lembut."
"Waktu itu dia pasti lagi emosi, jadi asal bicara."
Sania hanya tertawa pelan. "Aku nggak akan pulang supaya nggak mengganggu pemandangannya. Ayah, aku masih ada urusan, aku tutup dulu."
Selesai itu, sebelum Diego sempat bicara, Sania sudah menutup telepon.
Dia menyimpan ponsel, kedua tangannya diletakkan di pagar balkon, lalu perlahan menutup mata, menghirup udara segar.
...
Asisten Eric menyelidiki dengan sangat cepat.
"Pak Eric, sudah ketemu. Semalam setelah Bu Sania berpisah dengan Anda, dia naik taksi, tapi sepertinya itu taksi gelap."
"Saat berada di Jalan Kencana, Bu Sania melompat dari mobil! Setelah itu ada pengemudi yang lewat dan mengantarnya ke rumah sakit dan lapor polisi."
Mendengar itu, wajah Eric langsung berubah.
Lompat dari mobil?
Jadi sewaktu Sania meneleponnya dan bilang ada di rumah sakit ... dia benar-benar terluka?
"Polisi bilang apa?" Eric bertanya.
Asisten menjawab, "Polisi masih mengejar pelakunya, tapi sudah ada petunjuk."
Eric tidak bicara. Setelah terdiam beberapa detik, suaranya rendahnya bertanya, "Bagaimana dengan lukanya?"
Asisten ragu sejenak sebelum menjawab, "Uh ... bahu kiri terkilir, pergelangan kaki kiri keseleo parah dan banyak memar jaringan lunak di tubuh. Tapi pagi ini, Bu Sania memaksa keluar dari rumah sakit sendiri."
Mendengar itu, sorot mata Eric sedikit bergetar.
"Baik." Dia menutup telepon.
Alisnya berkerut dalam, perasaannya sedikit rumit.
Namun emosi itu tidak bertahan lama dan segera kembali normal.
...
Sebuah vila, Keluarga Silva.
"Kak, makan buah." Rania meletakkan buah yang sudah dicuci di depan Riska.
Riska tidak bicara, juga tidak memberi respons. Dia hanya menunduk, seolah sedang memikirkan sesuatu.
Melihat itu, Rania tidak tahan untuk bertanya, "Kakak sedang memikirkan Kak Eric?"
Mendengar itu, Riska mengangkat kepala, bibirnya terkatup rapat, wajahnya sedikit muram. "Rania, menurutmu ... apakah Eric akan bercerai dengan Sania?"
Dia benar-benar tidak yakin dengan hal ini.
Rania tersenyum dan menepuk bahunya. "Tenang saja, Kakak. Kak Eric pasti bercerai dengan Sania dan menikahi Kakak."
"Lihat saja kemarin, begitu mendengar kaki Kakak sakit sedikit saja, Kak Eric langsung datang, 'kan?"
"Sedangkan Sania, dia mau menipu Kak Eric pergi, tapi Kak Eric sama sekali nggak peduli. Itu cukup membuktikan, di hati Kak Eric, orang yang paling penting adalah Kakak."
Sampai di sini, senyum Rania berubah menjadi penuh makna. "Lagi pula, bukankah Kak Eric selalu mengira orang yang menyelamatkannya dari penculikan dulu itu Kakak?"
"Dengan pegangan itu, Kakak takut apa!"