Bab 11
Mendengar ocehan Siska yang penuh pembenaran diri itu, Sania tertawa lagi.
Dengarkan itu!
Apakah ini yang disebut permintaan maaf?
Ini jelas-jelas menyalahkannya!
Belum sempat Sania bicara, Siska sudah lanjut mengomel, "Sudah, nanti malam ajak Eric pulang makan bersama."
Sania menjawab dingin, "Nggak sempat."
Mendengar itu, Siska langsung naik pitam. "Aku sudah ngomong sampai begini, kamu masih nggak puas juga?"
"Kenapa? Aku yang sebagai ibumu harus minta maaf langsung padamu?"
Dia tertawa sinis. "Kamu nggak mau pulang, ya? Baik! Jangan pulang! Kalau kamu berani ...."
Kalimatnya belum selesai, tapi Sania sudah menutup telepon.
Tangan Sania yang menggenggam ponsel sedikit bergetar. Dia memejamkan mata dengan kuat, memaksa dirinya untuk tidak memikirkan juga tidak terpengaruh oleh hal itu lagi.
Tidak memikirkannya ... tidak peduli ....
Maka dia tidak akan merasa sedih.
"Nona, kita sudah sampai di Kantor Catatan Sipil." Saat ini, suara sopir membuyarkan lamunannya.
Sania kembali sadar. "Terima kasih."
Dia membayar, lalu turun dari mobil.
Dia berjalan terpincang-pincang ke depan. Kakinya yang sudah cedera karena melompat dari mobil kemarin, kini terasa jauh lebih parah.
Setiap langkah seperti ditusuk jarum.
Setelah masuk ke lobi Kantor Catatan Sipil, dia baru saja mengambil nomor antrean ketika pelayan dari Vila Palm Royal datang membawa buku nikahnya dan Eric.
Sania menerima buku nikah itu, lalu duduk di kursi dan hendak menelepon Eric.
Baru saja dia mengeluarkan ponsel, sebuah sosok tinggi tegap muncul di pintu masuk Kantor Catatan Sipil.
Wajah pria itu sangat tampan, berdiri di sana bagaikan pemandangan yang sempurna, dan langsung menarik perhatian semua orang.
Setelah menyapu ruangan dengan pandangan dingin, mata Eric akhirnya tertuju pada Sania.
Ekspresinya tidak berubah sedikit pun. Baru ketika berdiri tepat di depannya, dia melihat lebam di tulang pipi kiri Sania.
Alisnya sedikit mengernyit.
Ternyata semalam Sania benar-benar terluka?
Melihat Eric datang, Sania tetap tanpa ekspresi.
Ini kedua kalinya dia datang ke tempat ini.
Tapi suasana hatinya kini sepenuhnya berbeda.
Dulu, hatinya berdebar karena gembira dan penuh harapan.
Membayangkan kehidupan bahagianya setelah menikah dengan Eric.
Tapi kenyataan berkali-kali menampar wajahnya dengan keras.
Hingga sekarang dia akhirnya benar-benar tersadar sepenuhnya.
Dulu dia selalu merasa waktu menunggu terasa sangat panjang, tapi kini rasanya belum sampai beberapa menit saja sudah tiba giliran mereka.
Mereka bangkit bersama dan berjalan maju.
Baru berjalan dua langkah, ponsel Eric berdering.
Dia melihat layarnya dan itu telepon dari ibunya.
Setelah berpikir sejenak, dia mengangkatnya. "Halo."
"Eric, cepat pulang ke rumah tua! Asma nenekmu kambuh!" Suara Hanna terdengar panik dan cemas.
Mendengar itu, wajah Eric berubah drastis. "Aku segera pulang!"
Begitu selesai bicara, dia menutup telepon.
Lalu dia menoleh ke arah Sania yang wajahnya tetap datar, bibirnya bergerak sedikit. "Asma Nenek kambuh!"
"Apa?" Wajah Sania yang semula tenang langsung berubah panik.
Tanpa ragu sama sekali, dia berbalik dan menyeret kaki yang cedera itu berlari keluar.
Melihat langkah pincangnya, sorot mata Eric sempat berubah, tapi hanya dua detik. Lalu dia sendiri berlari keluar dari Kantor Catatan Sipil.
...
Rumah tua Keluarga Lutanza.
Begitu masuk ke vila, mereka langsung menuju kamar Risa.
Risa berbaring di tempat tidur, mata terpejam dan wajah pucat. Dia terlihat sangat lemah seolah bisa hancur begitu disentuh.
Melihat keadaan itu, dada Sania terasa seperti dicengkeram oleh tangan tidak terlihat.
"Dokter Jonathan, bagaimana kondisi Nenek?" tanya Sania.
"Kondisinya untuk sementara sudah terkendali." Setelah mengatakan itu, Dokter Jonathan menoleh ke arah Eric dan yang lainnya. Dia berhenti sejenak sebelum melanjutkan.
"Selain hal-hal yang biasanya perlu diperhatikan, kalian harus ingat, jangan sampai memicu emosi Bu Risa lagi. Kalau sampai terpancing emosi, detak jantungnya akan naik terlalu cepat, napasnya menjadi cepat, lalu saluran napasnya akan memberikan respons darurat, sehingga memicu serangan asma."
Setelah mendengar kalimat Dokter Jonathan, Eric mengangguk. "Baik, kami mengerti."
Setelah memberi peringatan, Dokter Jonathan membawa kotak obatnya dan keluar dari kamar.
Eric mengerutkan alis, menoleh pada Hanna. "Ibu, kenapa Nenek tiba-tiba kena serangan asma?"
Hanna menggeleng dan menjawab, "Aku juga nggak tahu. Begitu turun dari lantai atas, aku melihat Ibu duduk sendirian di sofa, tangannya memegangi dada sambil terengah-engah."
"Aku panik, langsung ambil obat asmanya. Tapi baru sempat semprot beberapa kali, Ibu langsung pingsan. Jadi aku buru-buru telepon dokter keluarga."
Eric mengangguk, wajahnya dipenuhi kekhawatiran saat menatap Risa dan tidak bicara lagi.
Mereka tetap duduk di kamar Risa, menunggu sampai Risa sadar.
Tidak tahu berapa lama berlalu, akhirnya Risa bangun.
Orang pertama yang menyadarinya adalah Sania. Dia segera berjalan ke sisi ranjang dan bertanya lembut pada Risa, "Nenek, Anda sudah sadar?"
Mendengar suara itu, Eric dan Hanna juga segera mendekat.
Saat melihat Sania, perasaan Risa jadi rumit.
Dia mengangkat tangannya dari balik selimut, berusaha meraih Sania.
Sania buru-buru menggenggamnya. "Ada apa, Nek? Mau bilang sesuatu denganku?"
"Sania, kenapa kamu terluka lagi?" Risa menatapnya dengan sayang, suaranya serak.
Sania tersenyum dan menjelaskan, "Jangan khawatir, Nenek. Aku hanya terpeleset. Nggak apa-apa."
Mendengar itu, Eric melirik Sania. Mata hitamnya dalam dan sulit ditebak.
Risa menatap Sania dengan sedikit kesal. "Kenapa kamu nggak hati-hati!"
Sania menggeleng. "Sudah nggak apa-apa." Lalu dia mengalihkan topik. "Tapi kenapa asma Anda tiba-tiba kambuh?"
"Betul, Ibu. Hari ini Ibu benar-benar bikin aku takut setengah mati!" Hanna mendekat, masih terlihat tegang.
Kalau mengingat adegan asma Risa yang tiba-tiba kambuh tadi, jantungnya masih berdebar kencang.
"Maaf sudah membuatmu khawatir," kata Risa pada Hanna.
Setelah berhenti sejenak, dia menenangkan mereka lagi, "Kalian tenang saja, aku baik-baik saja."
Namun begitu berkata begitu, dia mendadak menatap Eric. "Tadi aku tiba-tiba berpikir ... Riska sudah kembali, apakah Eric akan kehilangan akal sehat dan mau bercerai dengan Sania."
"Begitu berpikir begitu, hatiku langsung nggak tenang, makanya emosiku naik."
Mendengar itu, wajah Sania dan Eric langsung menegang.