Bab 16
Jeritan menyayat langsung terdengar. Wajah Luna pucat karena sakit.
Perubahan mendadak ini membuat semua orang yang hadir tercengang.
"Sania! Apa yang kamu lakukan?" Siska yang pertama bereaksi. Dia langsung berdiri dan mendorong Sania dengan keras sambil membentaknya.
Sania terdorong dengan kuat, tubuhnya kehilangan keseimbangan dan hampir jatuh.
Namun pada saat itu, pinggangnya tiba-tiba ditarik dengan kuat.
Sesaat kemudian, tubuhnya menabrak dada yang kokoh dan hangat.
Ketika mendongak, melihat wajah tampan yang begitu dekat, jantung Sania berdetak tak beraturan.
Melihat Eric memeluk Sania seperti itu, mata Luna hampir meledak karena marah.
Air matanya mengalir deras. Dia melihat Sania dan berkata dengan suara bergetar, "Sania ... aku ... aku tahu kamu selalu nggak menyukaiku, kamu merasa aku merebut kasih sayang Ayah dan Ibu."
"Tapi ... tapi kamu nggak seharusnya ...."
Ucapannya berhenti sampai di situ, lalu dia mengendus pelan. "Sudahlah, mungkin kamu nggak sengaja."
Mendengar itu, Siska langsung meledak. "Sania! Kenapa kamu begitu jahat? Luna kakakmu! Dia berbaik hati mengambilkan sup, tapi kamu malah sengaja menyiramnya?"
Mendengar kata-kata manis beracun Luna dan tuduhan Siska, Sania menjelaskan, "Dia sengaja mengangkat mangkuknya, aku ...."
"Diam!" Belum selesai bicara, Siska sudah memotongnya dengan bentakan marah.
"Sudah seperti ini masih keras kepala dan nggak mengaku salah! Masih mau fitnah orang! Sania, begini caranya aku mengajarimu?"
Sania langsung terdiam setelah mendengarnya.
Siska tidak mau mendengarkan penjelasannya, langsung memvonis dia salah.
Dengan situasi seperti itu, mau bicara apa pun percuma.
Saat ini, Diego melirik Eric dan melihat wajahnya gelap. Dia segera berdiri. "Sudah! Cepat bawa Luna siram tangannya dengan air dingin dan kompres es."
"Itu hanya salah paham, Sania pasti nggak sengaja."
Sania menoleh pada Diego.
Bahkan dia pun tidak percaya padanya?
Namun Siska masih marah. "Sayang! Kenapa kamu begitu pilih kasih! Lihat Luna jadi begini, memangnya harus dibiarkan begitu saja?"
Luna muncul pada saat yang tepat untuk meredakan suasana, suaranya lembut. "Ibu, jangan khawatir, aku kompres es sebentar juga sudah nggak apa-apa. Aku percaya Sania pasti nggak sengaja, jadi jangan salahkan dia lagi."
Siska menatapnya dengan kesal. "Kamu terlalu baik! Kalau kamu terus mengalah malah akan membuatnya semakin keterlaluan!"
Kata-kata Siska dan Luna, masuk ke telinga Sania, lalu menusuk hatinya dengan keras.
Dia menatap Luna, lalu tiba-tiba tersenyum.
Dia mengambil mangkuk, lalu menuangkan sup ke dalamnya, sendok demi sendok.
Saat semua orang bingung dengan apa yang ingin dia lakukan, Sania malah mengangkat mangkuk itu, lalu menyiramkannya ke tangan Luna.
"Ah!!!" Jeritan Luna kembali pecah di ruangan.
"Sania! Kamu gila, ya!"
"Sania!!"
Semua orang di tempat itu tercengang.
Bahkan mata Eric pun terbelalak karena terkejut.
Namun dua detik kemudian, ekspresinya kembali tenang, lalu menaikkan alis dengan heran.
Sania meletakkan mangkuk itu, mendengus pelan. "Kalau kalian semua yakin aku sengaja menyiram Luna, aku nggak mau menanggung tuduhan itu begitu saja."
Rasa sakit membuat wajah Luna sampai terpelintir. Dia menatap Sania dengan tidak percaya, benar-benar tidak menyangka Sania berani melakukan itu!
"Kamu ... kamu gila!" Siska memaki dengan kesal, lalu dengan amarah yang meluap, dia melangkah ke arah Sania.
"Aku akan memukulmu sampai mati, dasar anak kurang ajar!" katanya sambil mengangkat tangan, hendak menampar Sania.
Namun tangannya berhenti di udara, ditahan seseorang.
Siska terkejut, menatap pria yang mencengkeram pergelangan tangannya. "Eric, kamu ...."
Eric tersenyum dingin, nada suaranya datar dan tak terbantahkan. "Nyonya Siska, memukul istriku di depan mataku, sepertinya kurang pantas, bukan?"
Selesai bicara, dia langsung melepaskan tangan Siska.
Tubuh Siska terhuyung dan dia buru-buru berpegangan pada kursi agar tidak jatuh.
"Kita pergi." Setelah mengucapkan kalimat itu, Eric menarik tangan Sania dan membawanya keluar.
Begitu keluar dari Keluarga Ravan dan menghirup udara segar di luar, Sania merasa seperti ada batu besar yang akhirnya diangkat dari dadanya.
Melihat Eric yang masih memegang pergelangan tangannya dan berjalan di depan, hati Sania dipenuhi rasa rumit yang sulit digambarkan.
Barusan ... hanya dia yang membelanya.
Tapi seharusnya dia tidak melakukan itu.
Ketika dia sudah memutuskan untuk benar-benar melepaskannya, pria itu tidak seharusnya memberinya setitik harapan lagi.
Saat memikirkan itu, Sania menarik tangannya dari genggaman Eric.
Langkah Eric berhenti, lalu menoleh.
Bibir merah Sania bergerak, suaranya datar. "Tadi ... terima kasih."
Eric memasukkan tangan ke saku celananya, memandangnya dari atas dengan senyum tipis. "Sania, kamu benar-benar nggak disukai di mana pun juga."
Mendengar itu, wajah Sania sempat menegang sejenak.
Benar. Dia memang tidak disukai.
Di Keluarga Ravan begitu, di Keluarga Lutanza pun sama.
Selain Nenek, tidak ada yang menyukainya.
Sania tidak mengatakan apa-apa, langsung berjalan pergi.
...
Sesampainya di rumah tua, Risa menanyakan kunjungan mereka di Keluarga Ravan sambil tersenyum.
Eric melirik Sania sambil tersenyum samar. "Lumayan."
Dia berhenti sejenak, lalu berkata penuh makna, "Melihat pertunjukan yang cukup menarik."
Sania, "..."
"Dasar aneh." Risa memelototi Eric dengan jengkel, lalu mengambil undangan yang tergeletak di samping dan menyerahkannya pada Eric.
"Putri Paman Gio baru pulang dari Negara Cannava, besok ada pesta penyambutan untuknya. Ini acara anak muda, besok kamu bawa Sania ke sana."
"Baik." Eric menerima undangan itu tanpa berkata banyak.
Setelah menemani Risa mengobrol sebentar, mereka naik ke lantai atas.
Sania kembali ke kamar, Eric menuju ruang kerja.
Baru saja masuk kamar, ponsel Sania berdering.
Melihat tulisan [Ibu] di layar, Sania langsung memasukkan ponsel itu ke dalam saku.
Tanpa diangkat pun, Sania tahu apa yang ingin Siska katakan.
Namun tampaknya Siska benar-benar berniat memaksanya mengangkat telepon itu, sekali tidak diangkat, dia menelepon lagi. Dua kali, tiga kali!
Sampai lima kali panggilan, barulah telepon berhenti. Tapi pesan WhatsApp justru masuk bertubi-tubi.