Bab 17
[Sania! Angkat telepon!]
[Kamu kira nggak angkat telepon, masalahnya sudah selesai?]
[Aku perintahkan kamu pulang sekarang juga dan minta maaf sama kakakmu! Kenapa aku bisa punya anak sejahat kamu! Menyiram kakakmu sekali belum cukup, kamu malah menyiramnya dua kali!]
[Kamu pikir hanya karena ada dukungan Eric, aku nggak bisa menyentuhmu?]
[Kamu masih menganggapku ibumu?]
Melihat semua itu, hati Sania terasa seperti disayat.
Dia menarik napas dalam-dalam, lalu menyimpan ponselnya.
...
Keesokan harinya.
Sania pergi sejak pagi, hari ini dia harus menandatangani kontrak.
Menjelang siang, rumah tua Keluarga Lutanza kedatangan dua tamu tidak diundang.
"Bu Risa, kondisi Anda semakin baik saja," Siska menyapa Risa dengan senyum yang cerah.
Namun ekspresi Risa justru datar. Setelah tersenyum tipis, dia bertanya, "Kalian ke sini hari ini, ada keperluan apa?"
Siska langsung memasang wajah serius. "Memang ada sesuatu yang ingin kami bicarakan dengan Anda."
Dia menghela napas panjang. "Sania ... sungguh ... sungguh keterlaluan."
"Oh?" Risa menaikkan alis. "Apa yang Sania lakukan?"
"Luna," panggil Siska.
Luna memandang Siska dengan tatapan tidak setuju dan menggeleng pelan. "Ibu! Jangan merepotkan Nenek Risa dan Bibi dengan hal sekecil ini."
"Kamu ini, di saat seperti ini masih mau membantunya." Siska mendelik, lalu menarik tangan Luna ke depan Risa serta Hanna.
"Bu Risa, Besan, lihatlah. Ini ulah Sania."
Tangan Luna dibalut perban berlapis-lapis, seperti lontong.
"Ada apa itu?" tanya Hanna.
"Semalam ...." Siska pun menceritakan kejadian makan malam kemarin, tentu saja dengan bumbu berlebihan.
Setelah selesai mengadu, dia kembali menghela napas berat. "Coba lihat betapa kejamnya anak itu! Kakaknya memperlakukannya begitu baik, tapi dia malah tega berbuat seperti ini!"
"Sup sepanas itu, disiram sekali belum cukup, malah disiram dua kali! Setelah itu sikapnya pun nggak merasa bersalah sama sekali. Dia sekarang benar-benar makin menjadi! Hatiku merasa hancur."
Luna buru-buru menenangkan Siska, suaranya penuh pengertian. "Ibu, jangan sedih. Aku rasa kemarin Sania hanya sedang kurang baik suasana hatinya, makanya jadi impulsif. Dia sebenarnya nggak jahat."
Siska menatap Risa dan Hanna dengan wajah tak berdaya. "Kalian lihat sendiri, adiknya sudah memperlakukannya seperti itu, tapi anak aku yang bodoh ini masih membela adiknya. Luna memang terlalu polos, makanya selalu ditindas Sania."
Alis Hanna mengerut sangat dalam. Rasa tidak sukanya pada Sania bertambah lagi.
Dia bahkan bisa sekejam itu terhadap kakaknya sendiri saja. Orang yang begitu kejam, benar-benar tidak pantas untuk putranya.
Dia baru hendak bicara ketika suara pengurus rumah tiba-tiba terdengar. "Bu Sania, Anda sudah pulang."
"Paman Edi." Setelah menyapa pengurus rumah, Sania masuk ke ruang tamu.
Namun begitu melihat kedua orang yang sedang duduk di sana, langkahnya langsung terhenti.
"Sania sudah pulang, sini." Begitu melihatnya, Risa tersenyum dan melambaikan tangan ke arahnya.
Sania juga tersenyum, lalu berjalan dan duduk di sisi Risa.
Begitu dia duduk, Risa mengusap kepalanya dengan lembut sambil berkata pelan, "Sania, Ibu dan kakakmu datang. Mereka baru saja membicarakan kejadian di meja makan tadi malam."
"Kamu ceritakan pada Nenek, apa yang sebenarnya terjadi semalam."
Saat melihat Siska dan Luna, Sania sudah bisa menebak kalau mereka pasti datang untuk mengadu.
Jadi, mendengar pertanyaan Risa, dia sama sekali tidak terkejut.
Karena ditanya Risa, Sania pun tidak berniat menyembunyikan apa pun.
Dengan sangat tenang, dia menceritakan apa yang terjadi tadi malam.
"Aku dengan jelas merasakan Luna sengaja mengangkat mangkuknya sedikit. Dia sengaja menumpahkan mangkuk itu. Aku ...."
Ucapan Sania belum selesai ketika Siska langsung memotong dengan suara tajam. "Omong kosong! Luna mana mungkin sengaja menyakiti dirinya sendiri! Untuk apa dia melakukan itu?"
"Sania, kamu sudah melakukan kesalahan. Kamu bukannya menyesal, tapi malah mau menyalahkan orang lain. Aku ... aku benar-benar kecewa padamu!"
Luna juga memandang Sania dengan wajah sedih. "Sania, aku ... aku hanya berpikir, mungkin suasana hatimu sedang nggak bagus, makanya kamu impulsif dan melampiaskan ke aku. Tapi aku nggak disangka kamu ... kamu malah ... memfitnahku seperti ini, aku ...."
Dia belum selesai mengeluh ketika Risa menyela. "Sania, lanjutkan."
Wajah Luna sempat menegang, air mata memenuhi matanya, tapi tidak jatuh.
Sania melanjutkan, "Kejadiannya memang seperti itu. Ayah Ibu nggak percaya. Ibuku bahkan merasa aku sengaja mengelak dari tanggung jawab."
"Aku berpikir, karena mereka merasa aku melakukannya dengan sengaja, kenapa aku harus terima tuduhan itu begitu saja? Jadi aku ambil semangkuk sup lagi, lalu aku siramkan ke tangan Luna."
Setelah mendengarnya, ekspresi di wajah Hanna benar-benar kaget.
"Kamu ... meskipun begitu, kamu tetap nggak boleh sengaja menyiramkan sup ke kakakmu!" Dia mengerutkan alis, sangat tidak setuju dengan apa yang dilakukan Sania.
Risa terdiam sejenak, lalu dengan tenang menoleh pada Hanna. "Hanna, nanti tolong siapkan cek 400 juta untuk Nyonya Siska."
"Eh?" Hanna sempat tercengang oleh perintah itu.
Risa mengusap rambut peraknya yang digelung sambil tersenyum. "Aku selalu bilang ke Sania, kalau diperlakukan nggak adil di luar, dia nggak perlu menahan diri, balas saja. Apa pun yang terjadi, aku akan membelanya!"
"Karena Sania yang melukai Nona Luna, tentu biaya pengobatannya harus kita tanggung. Sisanya anggap saja kompensasi, untuk beli suplemen dan menenangkan Nona Luna."
Mendengar itu, wajah Siska dan Luna langsung berubah drastis.