Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 7

Saat kedua kakak beradik itu masuk, mereka melihat Sania sedang duduk di sofa. Kedua kaki jenjangnya yang indah menjuntai, bergoyang santai tanpa beban. Mendengar kata-kata Hanna, ekspresi Sania tetap datar. Sania tersenyum tipis. Dulu, demi menuruti Eric, demi Siska, demi menjadi menantu yang bisa membuat ibu mertuanya puas, dia mengubah gaya aslinya, berusaha mirip Riska dan Luna. Dia pikir ... dengan begitu Eric mungkin akan lebih memperhatikannya. Siska dan Hanna juga akan lebih menyukainya. Namun .... Tidak peduli sekeras apa berusaha, dia tetap kalah dari Riska dan Luna. Dia sudah lelah! Dia tidak mau lagi menuruti siapa pun. Dia hanya ingin menjadi dirinya sendiri. Saat memikirkan itu, Sania menatap wanita yang sedang bicara dengannya. Wanita itu mengenakan tunik berwarna ungu tua. Rambut hitamnya yang panjang disanggul menggunakan tusuk rambut. Riasannya rapi, auranya sangat bagus. Seluruh tubuhnya memancarkan kesan elegan dan berkelas. Dia adalah ibu Eric dan Kevin, sekaligus ibu mertuanya, Hanna Marian. Sania tersenyum tipis dan bertanya dengan nada datar, "Ibu nggak suka ya? Kalau begitu mohon Ibu bersabar sebentar lagi." "Tapi nggak apa-apa, lagi pula sebentar lagi Ibu nggak akan melihatnya lagi." Mendengar itu, Eric melirik ke arahnya, sorot matanya membawa makna tertentu. Wajah Hanna langsung mengernyit dan suaranya tidak ramah. "Apa maksud nggak akan melihatnya lagi? Kamu ngomong apa?" Sania belum sempat menjawab ketika suara lembut dan penuh kasih terdengar. "Hanna, Sania hanya mewarnai rambutnya, biarkan saja." Seorang nenek tua dengan tunik merah muncul dari arah ruang makan. Rambutnya yang penuh uban disanggul rapi. Meskipun sudah berumur, dia terlihat penuh semangat dan wajahnya cerah. Dia berjalan perlahan dengan tongkat, namun setiap langkahnya stabil. Saat melihat Sania, mata Risa berbinar. Namun ketika melihat perban di kening cucu menantunya, dia langsung mengernyit. "Sania, kenapa keningmu bisa terluka?" Mendengar pertanyaan Risa, hati Sania terasa hangat. Semenjak luka itu, dia sudah bertemu banyak orang ... tapi hanya Bibi Virna dan Nenek yang menanyakan luka itu. Sania berdiri dan berjalan mendekat, lalu membantu Risa duduk di sofa. Setelah itu dia menjelaskan, "Nenek, aku ceroboh dan terbentur, tapi sekarang sudah nggak apa-apa. Nenek jangan khawatir." Risa menatapnya. "Benar nggak apa-apa? Jangan membohongiku." "Aku nggak bohong." Sania tersenyum. "Syukurlah." Risa mengangguk lega. Lalu dia tersenyum lagi. "Model rambutmu bagus sekali! Unik." "Sania memang sudah cantik dari lahir. Jadi warna dan gaya apa pun pasti cocok." Hanna kembali mengernyit. "Tapi, Ibu, warna rambutnya itu ...." Risa langsung memotong. "Sudahlah! Hanya warna rambut saja." Hanna akhirnya diam, tapi tatapannya pada Sania tetap tidak suka. Pemandangan itu membuat Kevin melongo! Nenek bahkan membiarkannya? Padahal dulu sewaktu melihat rambut Kevin, Nenek hampir mencukur rambutnya! Kalau bukan ibunya yang menahannya, sekarang dia pasti sudah botak. Tapi Nenek bahkan sebaik itu pada Sania? Kevin buru-buru duduk di samping Risa. "Nenek! Lihat baik-baik, baju dan rambut Sania itu. Anda bahkan ... aduh!" Belum selesai bicara, kepalanya sudah diketok keras oleh Risa. Risa menatapnya tajam. "Nggak sopan! Dia kakak iparmu!" Kevin memutar matanya. "Kakak ipar apaan? Kak Eric dan dia ...." "Kevin." Suara Eric yang rendah dan berat tiba-tiba terdengar. Kevin langsung tertegun. Dia baru ingat pesan kakaknya di perjalanan tadi. Dia mengatupkan mulut, tidak berani bicara lagi. Tak lama kemudian, mereka semua menuju ruang makan untuk makan. Di meja makan, semua makan dengan diam, tidak ada yang berbicara. Sampai di tengah makan, Hanna tiba-tiba melirik Sania dengan heran. Biasanya, saat makan, Sania selalu sibuk melayani Risa, Hanna, dan Eric. Dia juga akan mengupaskan udang, memisahkan duri ikan, dan hal lainnya. Semua itu dilakukan oleh Sania sendiri, tanpa bantuan siapa pun. Tapi hari ini .... Dia hanya mengambilkan lauk untuk Risa saja. Hanna dan Eric benar-benar diabaikan. Apa yang terjadi? Bukan karena Hanna ingin Sania melayaninya, hanya saja perubahan sikap Sania yang mendadak membuatnya merasa heran. Kevin menatap wajah tenang Sania. Tidak tahu apa yang dia pikirkan, matanya tiba-tiba berbinar, lalu menoleh pada Eric. "Kak Eric, Kak Riska kembali kali ini, tapi aku lihat kakinya masih belum membaik!" Begitu kata-kata itu berlabuh, suasana meja makan berubah drastis. Kevin bahkan melihat dengan jelas, gerakan tangan Sania yang sedang menjepit lauk langsung berhenti. Ekspresi yang tadinya datar, seketika menegang. Kevin mendengus dalam hati, 'Hatimu merasa kesal, 'kan? Huh! Aku mau lihat apa kamu masih bisa pura-pura tenang lagi!' "Riska sudah kembali?" Hanna bertanya pada Eric. Kevin mengangguk, menggantikan Eric menjawab, "Iya, baru kembali." Wajah Risa pun terlihat berubah sedikit. Dia menoleh sekilas pada Sania, tapi tidak berkata apa pun. Pada saat inilah, ponsel Eric berbunyi. Saat dia mengeluarkan ponsel dan melihat nama penelepon, ekspresinya berubah sebentar. Dia berdiri. "Aku keluar sebentar, mau angkat telepon." Beberapa saat kemudian, dia kembali, wajahnya terlihat sedikit kegelisahan. "Nenek, Ibu, kalian lanjutkan makan saja. Aku ada urusan, jadi pergi dulu." Setelah berkata begitu, dia berbalik hendak pergi. "Tunggu." Suara Risa terdengar. Risa berhenti sejenak, memandang Eric dan bertanya dengan tenang. "Mau ke mana? Memangnya ada urusan besar apa, sampai kamu harus langsung pergi sekarang?" "Tumit Riska tiba-tiba sakit. Aku harus ke sana melihatnya." Eric tidak berbohong, dia memang berkata apa adanya. Mendengar itu, Sania menundukkan mata. Dia mengunyah makanan di mulutnya dengan kaku, tanpa ekspresi. Dia sudah menduganya. Selama itu menyangkut Riska, tidak peduli hal sekecil apa pun, Eric akan langsung panik. Wajah Risa seketika menggelap. "Kalau kakinya sakit ya pergi ke rumah sakit cari dokter! Kenapa mencarimu?" "Memangnya kalau kamu datang, sakitnya langsung hilang?" Setelah mengatakan itu, Risa mengambil sepotong iga dan meletakkannya di mangkuk Sania. Lalu dia berkata datar, "Duduk. Lanjut makan." Alis Eric langsung berkerut dan berkata dengan suara berat. "Nenek, aku harus ke sana!" Dia terdiam sejenak, lalu menambahkan dengan makna tersirat. "Nenek juga tahu ... kecelakaan Riska dulu, aku punya tanggung jawab."

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.