Bab 8
"Plak!" Suara keras terdengar. Risa meletakkan alat makannya dengan kuat. Dia mendongak menatap Eric dan berkata tajam, "Aku suruh kamu duduk!"
"Hari ini kamu nggak boleh pergi ke mana pun! Malam ini, kamu dan Sania menginap di rumah tua!"
Mata Eric penuh rasa tidak berdaya, tapi saat melihat Risa sudah marah, dia takut memicu emosinya sampai sakitnya kambuh. Jadi hanya bisa patuh dan duduk kembali.
Barulah Risa puas dan merenggangkan alisnya. "Lanjut makan."
Dengan begitu, semua orang kembali makan, tapi suasananya menjadi tegang dan menekan.
Selesai makan, Sania menemani Risa berjalan keliling taman untuk membantu pencernaan, sementara Eric dan Kevin naik ke lantai dua dan masuk ke ruang kerja.
Eric sedang menelepon.
"Kak Eric, kamu kapan datang? Kak Riska kesakitan sampai menangis." Suara gadis di ujung telepon terdengar manja.
Mendengar itu, alis Eric mengerut dalam. Wajah tampannya dipenuhi kekhawatiran.
"Kasih teleponnya ke Riska."
Beberapa detik kemudian terdengar suara Riska yang lemah. "Eric ...."
"Riska, maaf. Aku sekarang nggak bisa pergi." Nada suara Eric rendah dan serak, disertai rasa bersalah.
Mendengar itu, wajah Riska di seberang telepon membeku sejenak.
Namun tak lama kemudian, dia berkata pelan, "Nggak apa-apa. Kamu kerjakan urusanmu saja. Aku baik-baik saja."
"Ya sudah, aku nggak ganggu kamu lagi, aku ... ah!"
Belum selesai bicara, tiba-tiba terdengar jeritan tajam Riska dari ujung telepon!
Lalu sambungan telepon terputus.
"Riska! Halo??" Eric langsung panik.
"Ada apa, Kakak? Kak Riska kenapa?" Kevin bertanya.
Eric tidak menjawab. Dia mencoba menelepon balik.
Tapi baik nomor Riska maupun adiknya sama-sama tidak diangkat.
Dia meletakkan ponsel, alisnya mengerut sangat dalam, dan wajahnya dipenuhi kecemasan.
Saat ini, dia seolah teringat sesuatu, dan matanya menyipit. Dia sudah punya rencana.
...
Di taman, ponsel Sania berbunyi karena ada pesan WhatsApp masuk. Dia sedang menuntun Risa dengan satu tangan, satu tangan lainnya membuka ponsel.
Pesan itu dari Eric, [Aku tunggu kamu di ruang kerja lantai dua.]
Mata Sania bergetar sedikit, tidak membalasnya. Dia menyimpan ponsel dan tetap menemani Risa berjalan.
Meski dia terus menenangkan dirinya dan berkata jangan peduli dan jangan pikirkan,.
Tapi tetap saja hatinya tidak bisa tenang.
Jadi tidak lama kemudian, Sania mencari alasan untuk membawa Risa kembali ke vila.
Lalu dia sendiri naik ke lantai dua menemui Eric.
Dia masuk ke ruang kerja, melihat Eric dan bertanya datar, "Ada apa?"
Eric langsung bicara, "Aku harus pergi menemui Riska."
Dia berhenti sebentar, lalu melanjutkan. "Aku butuh bantuanmu."
Mendengar itu, Sania merasa hatinya seperti ditusuk.
Ternyata karena masalah Riska.
Meski sudah menduganya, tapi karena tidak mendengar sendiri masih terasa ada secercah harapan.
Namun, Eric bahkan meminta bantuannya?
Apa Eric pikir dia tidak akan merasa sakit hati? Tidak akan sedih?
Sania tidak berbicara, hanya menatap Eric dengan mata kosong.
Eric mengira Sania diam karena ingin bernegosiasi.
Jadi bibir tipisnya bergerak. "Sebagai imbalan, aku kasih kamu dua miliar."
Sania tidak tahan dan tertawa.
Tapi tawa itu penuh kepedihan.
"Huh! Pak Eric benar-benar kaya!"
"Kalau Pak Eric begitu royal, mana enak aku menolaknya? Pak Eric, tenang saja. Aku pasti akan memikirkan cara membantu Anda pergi agar keinginannya bisa terkabul!"
Saat berkata begitu, Sania terlihat tersenyum, tapi hatinya berdarah.
Betapa kejamnya Eric.
Mendengar itu, alis Eric bergerak sedikit.
Dia sempat terdiam, lalu berkata lagi, "Aku sudah siapkan alasannya. Bilang saja ada urusan mendesak di keluargamu, kita harus pergi ke sana."
Tenggorokan Sania terasa tercekat, tidak bisa menjawab.
Eric langsung mentransfer uang dua miliar ke rekening Sania.
Melihat saldo masuk, Sania merasa sangat ironis.
Baru kali ini dia merasa menghasilkan uang ternyata bisa semudah ini ... sekaligus menyakitkan.
"Pak Eric memang dermawan! Ayo." Dia tersenyum tipis sambil mencibir, lalu keluar dari ruang kerja.
Setelah turun ke lantai bawah, Sania duduk di samping Risa di sofa.
"Nenek, ayahku baru telepon. Katanya rumah ada masalah, aku dan Eric harus ke sana sekarang," kata Sania pada Risa.
Mendengar itu, Risa tidak bicara. Dia menoleh ke Eric, menatapnya dengan makna yang dalam.
Akhirnya, dia hanya menghela napas, lalu berkata, "Baiklah. Pergilah. Hati-hati di jalan."
"Baik."
Sania pergi dengan mobil Eric.
Di jalan, Eric melaju dengan sangat cepat.
Begitu sampai di pusat kota, dia menghentikan mobil.
Dia juga tidak melihat ke arah Sania, hanya meninggalkan satu kalimat. "Turun."
Tubuh Sania menegang sejenak. Pada akhirnya, dia tidak mengatakan apa-apa dan langsung membuka pintu mobil lalu turun.
Saat dia menoleh kembali, yang terlihat hanya sisa bayangan mobil yang sudah melaju pergi.
Dia mentertawakan dirinya sendiri.
Saat ini, kebetulan ada taksi lewat dan Sania langsung melambaikan tangan menghentikannya.
Setelah duduk di dalam dan menyebutkan alamat, dia menyandarkan kepala pada sandaran kursi belakang.
Dia mendadak merasa sangat lelah.
Lelah tubuh, lelah hati.
Dalam mobil ada aroma wangi yang membuat orang mengantuk.
Tak lama kemudian, Sania merasa kelopak matanya berat.
Seketika muncul firasat buruk di hatinya.
"Pak, berhenti di sini saja," kata Sania.
"Nona, masih belum sampai tujuan." Suara sopir terdengar kasar.
"Aku ada urusan di sekitar sini, berhenti di sini saja," ujar Sania.
Kali ini sopir tidak berkata apa-apa, tapi dia bukan tidak berhenti, justru menambah kecepatan.
Melihat itu, wajah Sania langsung berubah dan dia membentak, "Berhenti!"
Sial! Kenapa nasibnya bisa seburuk ini?
Naik taksi pun bisa naik taksi gelap!
Kecepatan mobil masih melaju kencang!
Sania merasa seluruh tubuhnya mulai lemas, tidak punya tenaga.
Kalau terus begini, dia merasa dirinya pasti akan celaka!
Dia langsung mengambil keputusan. Dia menggeser tubuh ke belakang kursi pengemudi, mengangkat lengannya dan mengunci leher sopir dari belakang, menekan sekuat tenaga sambil mengancamnya. "Berhenti sekarang!"
Tiba-tiba dicekik, wajah sopir mulai membiru, hampir tidak bisa bernapas.
Dia tidak menyangka wanita ini bisa begitu kuat!
Wajahnya dipenuhi niat jahat dan tiba-tiba membanting setir.
"Brak!" Tubuh Sania yang tidak stabil terlempar menghantam pintu kiri dengan keras.
Benturan itu memaksa Sania melepaskan tangan.
Wajahnya seketika memucat.
Melihat situasi yang berbahaya, dia tidak ragu sedikit pun dan langsung meraih gagang pintu belakang dan membukanya.