Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 1

Arga Wiranata dikenal sebagai pewaris kaya yang hidupnya penuh hura-hura. Balapan liar, berkelahi, hingga aksi nekat, semuanya pernah dia lakukan. Namun segalanya berubah sejak dia bertemu Aluna Cahyani. Pria yang dulu liar itu perlahan menjadi terkendali. Saat dia tahu Aluna takut melihat darah, dia berhenti berkelahi. Saat dia tahu Aluna takut kehilangan dirinya, dia meninggalkan dunia balap. Orang-orang di sekitarnya yakin Arga benar-benar jatuh cinta sepenuh hati pada gadis polos dan bersih bernama Aluna. Tetapi setelah lima tahun bersama, Arga tak pernah memberinya kepastian apa pun. Di tahun kelima kebersamaan mereka, Aluna mendadak menerima panggilan dari salah satu teman Arga. [Aluna, cepat ke arena balap! Arga sudah gila. Dia nekat mau balapan di lintasan maut!] Jari Aluna bergetar. Ponsel itu terlepas dari genggamannya dan jatuh ke tanah dengan bunyi keras. Lintasan maut adalah tempat Arga dulu mempertaruhkan nyawanya. Sejak bersama Aluna, dia tidak pernah lagi menginjakkan kaki di sana. Saat Aluna tiba, tepi sirkuit sudah dipenuhi orang. Dia menerobos kerumunan dan berlari masuk, tetapi begitu melihat pemandangan di hadapannya, langkahnya mendadak terhenti. Seorang gadis bergaun putih sedang memeluk pinggang Arga, dan matanya memerah. "Aku nggak mau kalung itu lagi. Jangan pergi, ya?" Arga menunduk menatap gadis itu. Di sudut bibirnya terukir senyum yang sangat Aluna kenal, liar dan tak terkendali. "Tunggu aku di garis finish." Setelah berkata demikian, Arga berbalik dan menaiki mobil balapnya. Saat mesin meraung keras, jantung Aluna seolah jatuh menghantam dasar dada. “Arga!" Dia berlari maju dan mengetuk kaca mobil dengan panik. “Jangan pergi! Lintasan itu ... " Saat kaca mobil diturunkan, tampak wajah samping Arga yang dingin dan tegas. "Minggir." Kata itu membuat seluruh tubuh Aluna terasa membeku. Mobil balap pun melesat keluar seperti anak panah yang dilepaskan dari busurnya. "Gila! Arga benar-benar sudah gila!" "Dengan kecepatan segimu, apa dia sudah nggak peduli nyawa lagi?" "Hanya demi sebuah kalung, apa perlu sampai segitunya?" Aluna mengepalkan tangannya erat-erat, pandangannya tak berkedip sedikit pun. Dia terpaku pada bayangan mobil yang sewaktu-waktu bisa terjun ke jurang. Dia teringat bagaimana dulu, Arga dengan mudah melepaskan kecintaannya pada kecepatan dan adrenalin, hanya karena satu kalimat darinya. Namun sekarang, demi menghadirkan satu senyum di wajah gadis lain, dia rela mempertaruhkan nyawanya tanpa ragu. Di tikungan maut terakhir, Arga bukan hanya tidak mengurangi kecepatan, dia justru menginjak gas lebih dalam. Ban berdecit, asap putih mengepul, dan mobilnya menghantam garis finis sebagai yang pertama. "Menang!" Sorak sorai meledak dari kerumunan. Namun gaya inersia yang dahsyat membuat mobil itu kehilangan kendali sepenuhnya dan menghantam keras pembatas lintasan. "Arga!" "Arga!" Semua orang panik. Kerumunan tumpah ruah berlari mendekat. Kaki Aluna terasa lemas. Dia nyaris tersandung saat mengikuti arus orang-orang itu. Terlihat Arga dengan susah payah merangkak keluar dari kabin pengemudi yang sudah ringsek. Darah mengalir dari pelipisnya, namun dia seakan tidak merasakan sakit sama sekali. Dia menggenggam erat sebuah kotak beludru dan menyodorkannya kepada temannya yang berlari menghampiri. "Berikan ini pada Salsa ... cepat. Suruh orang mengantarnya pulang dulu ... dia takut melihat darah ... " Belum sempat Arga menyelesaikan kalimatnya, tubuhnya terhuyung, lalu dia pingsan. Semua orang panik dan buru-buru menopangnya. Sebagian orang lebih dulu mengantar Salsa, yang juga ketakutan, pergi meninggalkan tempat itu, sementara banyak orang lainnya dengan tergesa-gesa mengangkat Arga dan segera membawanya ke rumah sakit. Aluna tetap diam, lalu ikut masuk ke dalam mobil tanpa sepatah kata pun. Sejak Arga dilarikan ke ruang gawat darurat, waktu terasa berjalan sangat lambat. Detik demi detik berlalu seperti siksaan yang tak berkesudahan. Tiba-tiba pintu ruang operasi terbuka. Seorang perawat keluar dengan langkah tergesa dan raut wajah panik. "Keadaannya gawat. Pasien mengalami pendarahan hebat. Golongan darahnya Rh negatif dan sangat langka. Stok darah di rumah sakit hampir habis!" Rh negatif? Teman-teman Arga langsung geger. Mereka mondar-mandir dengan gelisah, buru-buru menghubungi sana-sini lewat ponsel, berharap menemukan solusi secepatnya. Di tengah kepanikan itu, sebuah suara dingin namun tenang terdengar jelas, "Aku Rh negatif. Ambil saja darahku." Semua orang tertegun dan spontan menoleh ke belakang. Di sudut ruangan, Aluna berdiri dengan wajah pucat pasi, bahkan lebih pucat dari cahaya lampu. Beberapa teman Arga saling bertukar pandang. Mereka hampir tak bisa menyembunyikan rasa bersalah di mata mereka. "Aluna, kamu ... " "Ambil saja. Menyelamatkan nyawa lebih penting," Aluna menyela dengan suara tenang tanpa riak emosi. Tanpa ragu, dia langsung mengikuti perawat menuju ruang pengambilan darah. Saat jarum menembus pembuluh darahnya, Aluna sama sekali tidak mengernyitkan dahi. "Sudah 600 cc, nggak bisa diambil lagi," kata perawat dengan cemas sambil menatap wajah Aluna yang semakin pucat. "Teruskan," jawab Aluna pelan, namun tegas. "Ambil sebanyak yang dia butuhkan." Cairan merah pekat mengalir perlahan melalui selang, sementara pandangan Aluna mulai kabur. Ketika jumlahnya mencapai 1000 cc, darah untuk Arga akhirnya tercukupi. Pada saat yang sama, tenaga Aluna pun habis. Tubuhnya melemah, lalu dia jatuh pingsan. Saat akhirnya sadar kembali, Aluna mendapati dirinya terbaring di ranjang ruang istirahat. Di luar jendela, langit sudah gelap. Dia tidak tahu bagaimana kondisi Arga sekarang. Dengan memaksakan diri, dia bangkit, menopang tubuhnya pada dinding, lalu berjalan perlahan menuju kamar rawat Arga. Baru saja sampai di depan pintu, suara percakapan dari dalam membuat langkahnya terhenti. "Arga, bukankah dulu kamu menyukai Aluna? Kenapa tiba-tiba kamu sampai mempertaruhkan nyawamu demi Salsa? Kamu tahu berapa banyak darah yang Aluna berikan untukmu kali ini? Dia benar-benar mencintaimu habis-habisan. Bahkan aku nggak berani memberitahunya kalau hatimu sudah berpaling." Di dalam kamar, Arga terbaring dengan kepala dibalut perban. Namun, aura liar dan santainya sama sekali tak berkurang. Dia menyalakan sebatang rokok, lalu bersandar malas di kepala ranjang. "Dulu memang aku menyukai Aluna, tapi entah kenapa selalu terasa kurang cocok," ucapnya santai, seolah tak sedang melukai siapa pun. "Baru setelah bertemu Salsa, rasanya cocok." Nada bicaranya ringan, namun setiap kata-katanya terdengar menyakitkan. "Aku rasa baru kali ini aku tahu apa itu jatuh cinta. Perasaan seperti ini nggak pernah ada saat aku bersama Aluna." Beberapa orang di dalam ruangan refleks menarik napas tajam. "Tapi Aluna sudah bersamamu selama lima tahun. Jadi ... kamu mau melepaskannya begitu saja?" "Iya," jawabnya singkat. Belum lama kata-kata itu terucap, sebuah bunyi kecil terdengar dari luar pintu. Aluna tanpa sengaja menyentuh hidran pemadam di samping lorong. "Siapa di luar?" "Jangan-jangan itu Aluna?" "Mana mungkin. Kalau benar Aluna, dia pasti sudah menangis dan menerobos masuk saat mendengar Arga bicara seperti itu. Mungkin cuma kucing liar, abaikan saja." Di luar pintu, Aluna perlahan menurunkan tangan yang sejak tadi menutup mulutnya. Namun, tidak seperti yang mereka katakan, Aluna tidak menunjukkan sedikit pun ekspresi terluka. Wajahnya tenang, bersih, tanpa setetes pun air mata. Aluna berbalik dan pergi dalam diam. Setelah menjauh, dia mengeluarkan ponselnya dan menekan sebuah nomor yang sudah sangat dia hafal di luar kepala. Panggilan itu tersambung. Dari seberang sana terdengar suara pria yang rendah dan dingin, [Halo.] "Pak Jordan. Arga sudah memiliki gadis yang lebih disukainya. Cintaku sudah nggak bisa mengendalikannya lagi. Tolong biarkan aku pergi." Di ujung telepon, Jordan terdiam sejenak. Dengan pengaruh dan caranya, dia pasti sudah lebih dulu mengetahui semua kabar tentang Arga, tentang uang yang dihamburkan demi seorang wanita, juga tentang keberanian nekat yang hampir merenggut nyawanya. Beberapa saat kemudian, Jordan akhirnya berbicara dengan nada datar, [Baiklah. Selama lima tahun ini, kamu telah bekerja keras. Aku akan segera memerintahkan bawahanku untuk mentransfer uang ke rekeningmu 20 miliar.] "Terima kasih, Pak Jordan." Aluna menutup panggilan itu, lalu menyandarkan tubuhnya pada dinding yang dingin dan perlahan memejamkan mata. Lima tahun lalu, setelah melewati serangkaian seleksi ketat, Aluna resmi menjadi sekretaris Presiden Direktur Grup Wiranata, Jordan Wiranata. Namun pada hari pertamanya masuk kerja, Jordan sama sekali tidak memberinya tugas apa pun. Pria itu duduk rapi di kursi direktur utama dengan setelan jas rapi. Dengan jari-jari panjangnya, dia mendorong selembar foto ke hadapannya. "Kamu mengenalnya?" Dalam foto tersebut, terpampang seorang pria dengan tatapan berani dan senyum tak terkekang. Dia adalah Arga, putra kedua Keluarga Wiranata, adik kandung Jordan. "Aku ingin kamu mendekatinya dan membuatnya jatuh cinta padamu," ujar Jordan dengan suara sedingin es. "Gunakan perasaanmu untuk menahannya. Jangan biarkan dia terus mempertaruhkan nyawa dengan olahraga ekstrem itu." Aluna masih ingat jelas saat itu dia terdiam cukup lama. Dua putra Keluarga Wiranata adalah sosok yang tak asing di lingkaran mereka. Jordan, sang kakak, terkenal dingin dan berjarak. Meski usianya masih muda, dia sudah sepenuhnya memegang kendali atas Grup Wiranata. Sementara sang adik, Arga, justru kebalikannya. Dia hidup bebas dan tak terikat. Wajahnya memesona, tetapi jiwanya liar. Balap liar, terjun payung, panjat tebing ... Semakin berisiko, semakin dia kejar. Bahkan belum genap sepekan, Arga sempat dilarikan ke ICU akibat balapan ekstrem. "Imbalannya 20 miliar." Ucapan Jordan itu membuat Aluna sontak mengangkat kepala. 20 miliar. Bagi Aluna, yang sejak kecil tumbuh dan berjuang di lingkungan kumuh, jumlah itu adalah angka yang nyaris tak terbayangkan. Karena itu, dia menerima cek dan foto tersebut, sekaligus menerima tugas yang terdengar begitu konyol. Jordan mengatakan padanya bahwa Arga menyukai gadis yang bersih dan polos, seperti kertas kosong tanpa noda. Maka Aluna pun mulai mengubah dirinya. Dia menyingkirkan semua pakaian berwarna cerah dan hanya mengenakan gaun putih. Rambutnya yang semula sedikit bergelombang dia luruskan menjadi hitam panjang yang terlihat sederhana. Riasannya dibuat setipis mungkin. Dia berusaha tampil lugu dan memerankan sosok gadis polos yang tak tersentuh hiruk-pikuk dunia. Aluna sengaja muncul di klub privat yang sering didatangi Arga. Dengan perhitungan matang, dia mengatur sebuah adegan seolah dirinya tengah "diganggu". Dalam kepanikan palsu dan air mata yang mengalir, dia berlari dan menjatuhkan diri ke dalam pelukan pria yang liar dan mencolok itu, mencengkeram ujung pakaiannya sambil memohon pertolongan dengan suara bergetar. Dan seperti yang sudah diduganya, Arga terpancing. Malam itu juga, dengan setengah penolakan yang tak sungguh-sungguh, dia dibawa oleh Arga ke ranjang. Sejak hari itu, Aluna berada di sisinya selama lima tahun penuh. Dia mengikatnya dengan kelembutan dan perhatian, melarangnya berkelahi, menahan hasratnya untuk balapan dan mempertaruhkan nyawa. Sementara Arga tampaknya justru menikmati semua itu. Dia sangat memanjakan Aluna, seolah rela terperangkap dalam jaring cinta yang perlahan menahannya. Arga pernah rela menyetir di tengah malam, menembus separuh kota hanya karena Aluna berkata lapar dan menginginkan camilan favoritnya. Saat Aluna meringkuk kesakitan karena datang bulan hingga keringat dingin membasahi tubuhnya, Arga akan dengan sabar memijat perutnya dengan penuh kelembutan. Setiap pagi, begitu membuka mata, hal pertama yang dia cari adalah sosok Aluna, lalu menariknya ke dalam pelukan dan mengecupnya dengan hangat. Hingga suatu malam, tiga bulan lalu, dalam keadaan penuh hasrat, Arga menekan tubuh Aluna dan tanpa sadar memanggil sebuah nama yang asing, "Salsa ... " Setelah kejadian itu, Aluna diam-diam mencari tahu tentang gadis bernama Salsa. Barulah dia mengetahui bahwa Salsa adalah mahasiswi yang bekerja paruh waktu di sebuah bar. Dia gadis polos, lembut, dan tampak rapuh. Gadis itu pernah diganggu pelanggan, dan secara kebetulan diselamatkan oleh Arga yang lewat. Dan saat Aluna melihat foto Salsa untuk pertama kalinya, dia langsung mengerti inilah saatnya dia mundur dan menghilang dari panggung cerita mereka. Salsa memang benar-benar polos dan bersih, sementara dirinya hanyalah menjalankan sebuah peran. Tak heran jika Arga selalu merasa ada yang kurang. Kini, tugasnya telah selesai. Saatnya Aluna menjalani hidup yang benar-benar dia inginkan. Adapun Arga ... Dia menoleh untuk terakhir kalinya ke arah kamar perawatan, lalu berbalik pergi tanpa ragu. Arga akan mendapatkan Salsa. Dan Aluna akhirnya bisa kembali menjadi dirinya sendiri.
Bab Sebelumnya
1/23Bab selanjutnya

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.