Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 2

Begitu melangkah keluar dari rumah sakit, hal pertama yang Aluna lakukan adalah langsung menuju kedutaan untuk mengurus visa. Petugas memberi tahu bahwa visanya bisa selesai dalam waktu setengah bulan. Aluna mengangguk singkat, lalu memanggil taksi dan pergi ke vila tempat dia dulu tinggal bersama Arga. Di sana, dia membereskan semua barang miliknya tanpa satu pun ditinggalkan, lalu pergi tanpa menoleh lagi. Karena Arga sudah memilih berpisah, Aluna tahu diri. Lebih baik dia menyingkir lebih dulu, mengosongkan tempat untuk Salsa, agar tak ada lagi situasi canggung yang tersisa di antara mereka. Sambil menyeret koper, Aluna meninggalkan semuanya dan menyewa sebuah apartemen jangka pendek di pusat kota, tempat yang bisa langsung dihuni tanpa banyak persiapan. Saat dia mulai menggantung pakaian satu per satu ke dalam lemari, gerakannya perlahan melambat. Yang tersisa di hadapannya hanyalah warna putih. Gaun-gaun putih dengan berbagai model, berenda, sutra, katun linen, bersih dan sederhana, tanpa sedikit pun warna lain yang mencolok. Itulah gaya yang Arga sukai. Dia menyukai sosok yang "bersih" dan "polos", seperti kertas kosong. Dan karena itu, selama lima tahun, lemari pakaian Aluna pun hanya dipenuhi warna dan model yang sesuai dengan selera Arga. Hingga tanpa sadar, seleranya sendiri lenyap begitu saja. Namun kini sandiwara itu telah berakhir. Kostumnya pun sudah saatnya dilepas. Keesokan harinya, Aluna langsung menuju pusat perbelanjaan paling ramai di kota. Dia berdiri di depan cermin ruang ganti, menatap pantulan dirinya yang mengenakan gaun merah menyala. Dia menyibakkan ujung rambut hitamnya yang sedikit bergelombang. Dalam sekejap, bayangan dirinya lima tahun silam seolah muncul. Gadis bergaun merah yang bersinar terang di kampus, berani dan memesona, seperti mawar merah yang tak ragu memamerkan keindahannya, bukan sosok gadis polos yang selama lima tahun ini selalu berbalut gaun putih dan hidup hanya untuk menyesuaikan diri dengan selera Arga. "Gaun ini benar-benar cocok untuk Anda," puji pramuniaga di sampingnya. Aluna membalas dengan senyum tipis, lalu membayar dengan satu gesekan kartu, tegas dan tanpa ragu. Setelah sekian lama, akhirnya dia kembali menjadi dirinya sendiri. Baru beberapa langkah meninggalkan pusat perbelanjaan, ponselnya berdering. Di layar, terpampang nama Arga. [Aluna ... ] Suara Arga terdengar rendah dari seberang sana, [Siapa yang mengizinkanmu pindah?] Aluna terdiam sesaat. Dia sempat mengira Arga justru akan merasa lega. "Bukankah aku hanya mengosongkan tempat untuk Salsa?" tanyanya pelan. Di seberang telepon, Arga terdiam beberapa detik. Bahkan suara napasnya terdengar jelas. [Datang ke Velora sekarang ... ] ucap Arga tegas, tanpa ruang untuk dibantah. [Kita perlu bicara.] Panggilan terputus. Aluna menurunkan ponselnya, lalu menghentikan sebuah taksi di pinggir jalan. Klub Velora masih tenggelam dalam kemewahan yang memabukkan. Saat Aluna baru saja tiba di depan pintu ruang VIP, sebuah suara mabuk menghentikannya, "Berhenti! Ini ruangannya Arga. Kamu siapa?" Aluna berbalik dan langsung berhadapan dengan tatapan kaget Dicky. "Astaga ... Aluna?" Gelas di tangan Dicky nyaris terlepas. Matanya membelalak. "Ka ... kamu ... kok bisa ... " Tatapannya menyapu Aluna dari ujung kepala sampai kaki, tapi kata-katanya seolah tersangkut di tenggorokan. Aluna hanya tersenyum tipis, lalu mendorong pintu dan masuk. Di dalam, cahaya lampu remang bercampur musik keras memekakkan telinga. Arga bersandar malas di sofa sambil mengayun-ayunkan gelas minuman dengan jari-jarinya yang panjang. Mendengar suara pintu, dia mengangkat pandangan dengan sikap acuh. Namun, gerakan tangannya mendadak terhenti. Tatapannya terpaku pada Aluna, menyusuri setiap detail tubuhnya mulai dari rambut hitamnya yang berombak ringan, gaun merah yang membungkus tubuhnya, hingga sepatu hak tinggi yang ramping, lalu berhenti di bibir merahnya yang mencolok. Di mata yang biasanya selalu santai dan menggoda itu, sekilas tampak keterkejutan. Bahkan, alisnya mengerut tajam. "Gaya pakaian macam apa itu?" Suara Arga terdengar rendah dan serak, jelas mengandung ketidaksenangan. "Aku berpakaian sesuai seleraku," kata Aluna sambil duduk di hadapannya. Dia menyilangkan kedua kakinya hingga belahan gaun merah itu memperlihatkan garis kaki yang pucat dan jenjang. Arga menelan ludah, dan kerutan di dahinya kian dalam. Dia meletakkan gelas minuman, lalu merogoh saku dalam jasnya dan mengeluarkan selembar cek, mendorongnya ke atas meja. "Karena kamu sudah tahu soal aku dan Salsa, isi saja angkanya sendiri," ucapnya dingin. "Kamu sudah mengikutiku selama lima tahun, aku nggak akan memperlakukanmu dengan buruk." Namun Aluna sudah menerima uang dari kakaknya. Tentu dia tak berniat mengambil apa pun lagi dari Arga. Dia bahkan tidak melirik cek itu. Aluna hanya menggeleng pelan. "Aku nggak mau." Suasana di ruang VIP langsung hening. Dicky buru-buru mencoba melerai suasana. "Aluna, jangan begitu ... Arga bermaksud baik ... " "Iya," timpal seorang teman lain. "Berpisah saja dengan baik-baik. Ambil uangnya dan pergi." Arga mengetuk meja pelan dengan jari-jarinya yang panjang. Suaranya dingin dan tegas. "Keputusanku nggak bisa diubah. Aluna, jangan terus memaksakan diri." Saat Aluna baru saja hendak menjelaskan maksudnya bukan seperti itu, tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Salsa berdiri di pintu, matanya merah dan bengkak, tampak seperti kelinci kecil yang ketakutan. Melihat pemandangan di dalam, suaranya bergetar sambil menahan tangis. "Arga ... kamu keluar dari rumah sakit tapi nggak mengizinkanku menjemputmu, ternyata untuk bertemu dia. Apa aku mengganggu kalian? Maaf ... aku akan pergi sekarang." Setelah itu, dia berbalik dan hendak pergi. Wajah Arga tiba-tiba berubah drastis. Dia berdiri, melangkah cepat, dan memeluk Salsa erat. Dengan lembut, dia mengusap air mata yang masih menetes di wajah Salsa, sambil berkata dengan suara rendah dan hangat, "Kamu ngomong apa? Aku memintanya datang agar semuanya jelas." Salsa menatapnya dengan air mata masih menggantung di bulu matanya. Dia bertanya dengan suara ragu, "Menjelaskan apa?" Arga tersenyum tipis, nada suaranya penuh kasih sayang. "Kalau aku nggak benar-benar menyelesaikan urusan dengannya, bagaimana bisa aku bersama kamu?" Wajah Salsa seketika memancarkan keceriaan, namun segera berubah menjadi ragu dan cemas. "Arga, kamu benar-benar menyukaiku, 'kan? Aku juga sangat menyukaimu ... tapi ini pertama kalinya aku pacaran. Aku takut terluka ... " Dia menggigit bibir, suaranya semakin pelan. "Lagi pula, mereka bilang kamu dulu playboy, sulit diatur, dan nggak pernah memberi status resmi pada wanita mana pun." Arga tak menjawab sepatah kata pun. Tanpa peringatan, dia menunduk dan menciumnya. Ciuman itu tegas namun penuh gairah, membuat orang-orang di sekitarnya bersorak. Yang lebih mengejutkan, Arga mengambil ponselnya, memotret momen ciuman mereka, dan langsung mengunggahnya ke media sosial. [Pacarku, Salsa.]

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.