Bab 7
Laticia ketakutan dengan auranya yang seperti preman itu. Dia sedikit mendongak dengan tatapan sedih dan tak berdaya. "Aku ... aku harus kerja malam ini. Bagaimana kalau ... lain kali saja?"
Dia tidak mau ikut dengannya, selama bisa ditunda, dia akan menundanya.
Enzo menatap mata penuh kebohongan itu. Dia mengangkat alis pelan dan berbalik sambil mengejek. "Ayo."
"..."
Setelah Laticia menerima gajinya, dia berjalan keluar bar bersama Enzo dengan wajah suram.
Dia tidak bisa lagi bekerja sambilan di sana. Karena barusan pria berengsek ini bilang ke bos, kalau berani mempekerjakannya lagi, tempat itu akan tutup selamanya.
Pria gila.
Di sini upahnya tinggi. Kalau beruntung dan satu malam berhasil menjual beberapa botol anggur, bisa buat satu bulan sewa. Tapi pria gila ini justru membuatnya kehilangan pekerjaan.
Memutus sumber rezeki orang sama saja dengan memutus nyawa orang. Pria ini benar-benar mau menghancurkannya.
"Hei!" Laticia memanggil pria yang berjalan di depan.
Dia tidak tahu nama pria itu, jadi hanya bisa memanggilnya begitu.
"Kita ... kita bisa bicara sebentar nggak?"
"Nanti. Setelah urusan selesai." Enzo tidak memberinya kesempatan, langsung menyeret lengannya masuk ke mobil.
"Dokter bilang belum boleh, masih harus menunggu. Luka belum sembuh. Nanti kalau aku sudah sembuh aku hubungi kamu, boleh nggak?" Dia menahan tubuh agar tidak masuk ke mobil, memohon lewat pandangan.
"Huh."
Enzo mendengus dan mengejeknya, "Aku tunggu kamu menghubungiku? Kamu pikir aku sebodoh kamu?"
Saat dia hendak memasukkan Laticia ke mobil dengan paksa, ponselnya tiba-tiba berbunyi. Rumah sakit memanggilnya untuk operasi darurat. Laticia pun berhasil lolos dari genggamannya.
"Aku ... aku akan menghubungimu kalau sudah sembuh. Aku ... aku pergi dulu!"
Mata Enzo sedikit berkilat saat melihatnya berlari seperti menyelamatkan nyawa. Gaya larinya jelek sekali!
Kelinci kecil ini, tidak hanya keras kepala, tapi nyalinya juga besar.
Kebiasaan menggigit belum diperbaiki, tapi sekarang sudah belajar kabur.
Dia harus mencari waktu, untuk mengajarinya baik-baik!
Hari ini adalah hari Laticia pindah rumah.
Setelah mencari cukup lama, akhirnya dia menemukan rumah yang masih sanggup dia bayar.
Sepasang kekasih dan dirinya yang lajang!
Mereka sewa rumah bersama.
Setelah pindah dari kampus, berarti masa kuliahnya sudah berakhir.
Belakangan ini dia terus mencari kerja dan seperti sudah diduga, tidak ada satu pun yang memberi kabar. Dia sempat berpikir, apakah dirinya telah menyinggung orang.
Kehilangan pekerjaan paruh waktu di bar dan susahnya mencari pekerjaan membuatnya gelisah sampai sakit gigi. Dia semalaman tidak bisa tidur.
"Kamu lebih baik ke rumah sakit saja. Sakit gigi memang bukan penyakit, tapi sakitnya bisa bikin orang mati!" ucap teman serumah yang tidak tega saat melihat lingkar hitam di bawah matanya.
Laticia memang sudah tidak kuat lagi. Di laci hanya tersisa satu butir obat pereda nyeri. Semalam dia menahan diri tidak meminumnya, karena dia punya masalah haid yang sakitnya bisa sampai pingsan. Itu lebih menyakitkan daripada ini.
Namun dompetnya sekarat. Setelah bayar uang sewa, dia benar-benar tidak punya uang lebih untuk ke rumah sakit dan beli obat.
Melihat kondisinya seperti itu, teman serumah semakin iba, lalu mentransfer uang satu juta untuknya.
"Aku tahu kamu baru lulus dan belum punya uang, tapi kalau sakit harus diperiksa. Kamu pergi ke dokter dulu, nanti kalau sudah ada uang, baru kembalikan. Jangan ke klinik kecil, ke rumah sakit saja."
"..."
Laticia benar-benar tidak tahan lagi. Rasa sakit dari pipi sampai ke pelipis, membuat tubuhnya gemetar. Dia merasa kepalanya mau pecah.
Dia mengingat nasihat teman serumah, jadi tidak berani ke klinik kecil. Dia naik bus menuju Rumah Sakit Sanur.
Bus bergoyang. Laticia memegang pelipis dengan satu tangan, memejamkan mata sambil bersandar di kaca jendela.
Tanpa dia sadari, pemandangan itu terlihat dari dalam mobil Mercedes Benz G-Class yang juga sedang berhenti di lampu merah.
Enzo menatapnya dengan penuh minat, sorot matanya memunculkan sedikit ejekan. Kota Sanur ini ternyata begitu kecil, mereka bahkan bertemu lagi!
Tidak tahu kelinci kecil bodoh ini mau pergi ke mana lagi. Entah kenapa, setiap melihatnya, Enzo merasa ingin menyeretnya pulang, lalu menindasnya.
Menurutnya, itu bisa disebut nafsu yang muncul karena tergiur kecantikan.
Hingga kendaraan di belakang membunyikan klakson, Mercedes Benz G-Class itu baru meluncur pergi.
Bagian rawat jalan rumah sakit.
Enzo baru selesai mencabut gigi dan sedang mencuci tangan ketika mendengar suara panggilan nomor antrean di luar.
[Nomor 26, Laticia, silakan masuk ke ruang pemeriksaan gigi nomor satu.]
Kelopak matanya terangkat. Dia melihat papan ruang periksa nomor satu yang ada di pintunya. Gerakan mencuci tangannya berhenti.
Kelinci bodoh ini datang mengantarkan diri lagi!
Setelah masuk, sesuai arahan anak magang, Laticia berbaring di tempat periksa. Dari ujung mata, dia melihat seorang pria berjas putih dengan masker di wajahnya dan sedang memakai sarung tangan.
"Buka mulut."
"..."
Eh? Kenapa suara ini terdengar familier?
Sepertinya dia benar-benar ketakutan oleh pria berengsek itu, sampai muncul halusinasi suaranya di mana-mana. Dia memejamkan mata dan membuka mulut lebar-lebar karena panik.
Saat perawatan berlangsung, rasa tegangnya perlahan mereda. Dia sedikit membuka mata dan melihat kartu nama di dada dokter itu.
Departemen gigi Rumah Sakit Sanur. Dokter penanggung jawab, Enzo Austin.
"Ah!"
Seketika rasa sakit menyerang, Laticia berteriak kecil dan refleks mendorong tangan dokter.
"Jangan bergerak! Tahan sebentar, hampir selesai!"
Suara Enzo terdengar dingin tapi serius. Awalnya dia ingin menggodanya, tapi saat melihat kondisi giginya yang parah, dia mengurungkan niat itu.
Ketika rasa sakit mulai mereda dan kesadarannya kembali, Laticia memutar bola mata dengan takut. Sampai tatapannya bertemu dengan mata gelap itu.
Benar saja, suara yang tadi dia rasa familier itu bukan halusinasi!
Meski pria itu memakai masker, dia tetap mengenalinya.
Itu dia!
Ternyata benar-benar dia!
Kagetnya setara disambar petir di tengah jalan.
"Uh, aku nggak ...."
"Jangan bicara, nanti kamu bisa mati. Ikut saja arahanku!"
Satu kalimat Enzo langsung membungkam semua pertanyaannya. Serius? Cuma periksa gigi bisa mengancam nyawa?
Walaupun tidak yakin, tapi dia dokter. Laticia yang polos tetap mempercayainya dan berbaring dengan diam.
Enzo menunduk dan terlihat serius. Alat di tangannya terus berganti. Meski terhalang sarung tangan, Laticia tetap bisa merasakan suhu hangat dari ujung jarinya, membuat jantungnya sempat berdebar sebentar.
Saat ini, ketika pria itu diam dan serius, ditambah seragam dokter, dia terlihat sangat tampan. Itu memang wajah yang disogok dengan uang saat wajahnya diciptakan!
Namun, saat dia bicara, langsung membuat orang ingin mencekiknya sampai mati.
Penanganan gigi itu memakan waktu sekitar empat puluh menit. Laticia yang berbaring sudah penuh keringat dingin, apalagi setelah tahu identitas pria itu, hatinya semakin gelisah.
Tidak disangka pria yang suka seenaknya itu, ternyata dokter di Rumah Sakit Sanur!
Dia tidak bisa tidak mengeluh, dunia ini sempit sekali. Semakin tidak ingin bertemu, justru semakin sering berjumpa.
"Selesai, bangun."
Enzo melepas sarung tangan dan duduk menulis rekam medis. Dia bahkan tidak menoleh, hanya bicara dengan serius.
"Gigi bungsumu meradang, belum bisa dicabut sekarang, harus hilangkan radang dulu. Radang saraf gigi geraham bawah pertama, perlu perawatan saluran akar. Tadi aku hanya tangani sebentar, tiga hari lagi datang cari aku lagi."
"..."
Harus datang lagi?
Laticia menutup wajahnya dan kedua matanya membelalak. Dia merasa pria ini sengaja menakutinya.
"Dok ... Dokter Enzo, aku sudah nggak sakit. Jadi nggak perlu kembali lagi."
"Aku dokter atau kamu yang dokter?" Enzo mengangkat wajah, alisnya sedikit berkerut sambil menatapnya dari atas ke bawah.
Tiba-tiba dia berdiri mendekat, matanya penuh ejekan. Dia menurunkan suara sambil tersenyum. "Itu akibat kamu menggigit orang. Aku mau lihat apakah kamu masih menggigit orang lagi."
Apa hubungannya ini sama itu!
Laticia berdeham pelan, mundur setengah langkah dengan malu. Dia menunduk tidak berani menatapnya. "Bagaimana kalau kamu kasih aku obat saja? Aku nggak ada waktu datang lagi."