Bab 1
Namaku Jihan Baskara, seorang wanita hamil tujuh bulan yang merasa kesepian.
Sejak kecil, tubuhku memiliki sensitivitas yang berbeda, hasratku datang lebih kuat dibanding orang lain, dan sejak hamil, kekosongan di dalam hatiku makin terasa.
Sejak suamiku pergi bekerja di luar desa, aku sudah tujuh bulan tidak merasakan kehangatan seorang pria.
Di rumah, aku membeli berbagai alat, dan setiap malam menonton video yang menampilkan adegan pria dan wanita yang intens. Berkali-kali aku memuaskan diriku sendiri dengan memasukkan tangan ke balik pakaian dalamku.
Dibandingkan dengan kehadiran pria sungguhan, semua itu tidak benar-benar memberi kepuasan. Api di dalam hatiku bukannya padam, malah makin berkobar.
Saat suamiku di rumah, hampir setiap malam kami bergembira bersama, namun tujuh bulan tanpa keintiman membuatku hanya bisa menghitung hari demi hari dalam kesepian.
Terlebih lagi, sejak kematian suaminya, Bu Linda di sebelah seolah-olah lepas kendali. Sesekali dia bahkan membawa pria ke rumahnya.
Kami tinggal di bagian timur desa, jarang ada orang yang melintas. Saat malam larut dan sepi, Bu Linda seakan makin lepas kendali, suaranya terdengar jelas, tanpa sedikit pun usaha untuk menutupinya.
Karena rumah-rumah di desa tidak kedap suara, terdengar rintihan wanita berselang-seling dengan teriakan marah pria dari rumah sebelah.
Sementara aku hanya bisa gemetar, menyentuh tubuh sendiri, sambil mendengarkan suara dari sebelah. Pikiranku melayang, membayangkan diriku berada di bawah tubuh seorang pria sambil mengerang lembut.
Saat suara di sebelah mereda, aku tetap tidak tenang. Aku tidak bisa tidur sepanjang malam, dan baru terbangun lagi saat tengah hari.
Ketika kubuka pintu, tampak Bu Linda berlenggok pulang dengan wajah memerah dan langkah yang agak aneh. Pakaian ketat yang dia kenakan menonjolkan lekuk tubuhnya yang mencolok.
Dia sama sekali tak peduli dengan omongan orang desa. Sifatnya berani dan blak-blakan, kalau tak suka pada seseorang, akan langsung dia hadapi di tempat.
Sedangkan aku tidak berani seperti dia. Sejak hamil, payudaraku menjadi besar dan berat, setiap hari hanya bisa mengenakan pakaian longgar.
Seolah dengan cara itu aku bisa menipu diri sendiri, menyembunyikan hasrat liar yang bergejolak di dalam hati.
Melihat wajahku yang lelah, Bu Linda berjalan mendekat dan bertanya dengan perhatian, "Apa tidurmu nggak nyenyak semalam?"
Aku mengangguk, siapa pun yang mendengar suara seperti itu sepanjang malam pasti tidak akan bisa tenang, apalagi aku yang sejak dulu punya tubuh terlalu sensitif. Dan setelah hamil, semuanya jadi lebih parah.
Aku hanya berharap suamiku cepat pulang untuk menenangkan diriku.
Bu Linda tersenyum mengerti. "Apa karena pasanganmu nggak di rumah, jadi kamu merindukan sentuhan pria?"
Wajahku memerah mendengar keberanian Bu Linda, dan mengangguk malu-malu.
Bu Linda menenangkanku, mengatakan bahwa memiliki hasrat itu wajar bagi wanita. Kalau pria bisa mencari wanita di luar, kenapa wanita tidak bisa menikmati juga.
Dia melangkah mendekat, merangkul tanganku, sambil berbisik di telingaku, "Jangan bilang aku nggak perhatian, ya. Ada seorang dokter muda baru yang mengabdi di desa ini. Ganteng, dan pijatannya luar biasa. Semalam pinggangku keseleo, dia cuma tekan sebentar langsung sembuh. Kalau kamu lagi kurang enak badan, coba saja ke sana."
Setelah itu dia mengedipkan mata padaku dan pergi.
Aku berdiri terdiam di tempatku, dengan hati kacau. Hasratku seakan terpicu oleh api kecil, dan mulai sedikit goyah.
Aku dengar, banyak wanita di desa pergi untuk dipijat olehnya, dan semua memujinya.
Tubuhku terasa sangat lelah setelah sekian lama hamil, jadi aku cuma ingin pergi ke dokter itu untuk dipijat. Sepertinya tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Aku terus menenangkan diri, seolah itu bisa menenangkan hewan liar bernama hasrat di dalam hatiku.
Saat tersadar kembali, aku sudah sampai di depan klinik.
Mungkin karena sudah jam makan siang, klinik itu sepi, hanya ada aku seorang. Aku berdiri sambil meremas ujung bajuku, merasa gelisah dan tak tahu harus bagaimana.
Tiba-tiba, rasa sesal dan malu yang sulit dijelaskan muncul di dadaku. Aku menyesali pikiran-pikiran yang barusan sempat terlintas.
Baru saja aku berniat berbalik untuk pergi, tirai pintu terbuka, dan dari ruang dalam keluar seorang pria muda.