Bab 2
Aku terkejut sedikit. Pria itu lebih muda dari yang aku bayangkan, wajahnya tampan menawan. Bagi yang tidak tahu mungkin mengira dia baru lulus dari universitas.
Dia memakai kaus putih lengan pendek, memperlihatkan bentuk ototnya yang padat dan kuat. Namun berbeda dari pria desa kebanyakan, garis tubuhnya tidak sekadar kekar, tapi punya daya tarik tersendiri.
Chakra Yanuar sempat terpaku menatap wajahku, ada sekilas rasa keheranan bercampur kagum di matanya, sebelum akhirnya pandangannya jatuh pada perutku yang buncit.
"Apa ada yang nggak nyaman karena sedang hamil?"
Suaranya dalam dan lembut, namun pandangannya menelusuri tubuhku tanpa segan, terutama ketika melihat bagian yang sulit tertutupi pakaian, dia berhenti menatapnya cukup lama.
Seluruh tubuhku bergetar saat Chakra menatapku. Sensasi hangat yang tak asing lagi terasa di bagian bawah tubuhku, membuat wajahku memerah dan malu.
Pria itu menoleh dan duduk di depan meja. "Jangan segan untuk bicara, kalau ada yang nggak nyaman, bilang saja. Apakah payudara terasa sesak atau sakit karena kehamilan?"
Aku buru-buru melambaikan tangan, panik menepis salah paham. "Bukan, cuma pinggangku ... belakangan agak pegal, jadi ingin minta dipijat sedikit."
"Kehamilan bisa menekan saraf tulang belakang, jadi merasa nggak nyaman itu memang wajar." Dia memperbaiki posisi kacamatanya. "Mari ke ruangan dalam, aku akan pijat punggungmu."
Setelah itu dia berdiri dan masuk, tidak memberiku kesempatan untuk bicara.
Hanya memijat punggung, tidak akan terjadi apa-apa, bahkan jika suamiku datang pun tidak akan ada yang perlu dikatakan.
Aku menenangkan diri, mengikutinya masuk ke dalam ruangan.
Cahaya di dalam ruangan itu temaram. Tirainya ditarik menutupi jendela meski matahari masih tinggi. Di atas meja, sebatang lilin putih menyala, menebarkan wangi lembut yang membuat hati terasa nyaman.
Sebuah ranjang besar berwarna putih berada di tengah ruangan kosong, luasnya cukup untuk beberapa orang dewasa berbaring sekaligus.
"Berbaringlah dulu, dan angkat bajumu."
Sambil mencuci tangan, Chakra berkata dengan tenang.
Aku menggigit bibir bawah, melepas sepatuku, dan berbaring menyamping di tempat tidur. Perlahan aku mengangkat sedikit ujung bajuku.
Dari belakang terdengar tawa kecil, kemudian bagian atas tubuhku terasa dingin. Chakra mendorong bajuku sampai di bawah dada.
"Kalau nggak terlihat jelas, bagaimana aku bisa memijat?"
Aku terkejut dan berseru, mencoba duduk, namun tangannya menahan tubuhku di tempat tidur, tangan lainnya menyentuh kulitku yang putih lembut.
Telapak tangan Chakra yang lebar terasa agak dingin karena baru dicuci. Aku tak bisa menahan getaran tubuhku, aliran hangat mulai terasa di bawah.
Satu tangan Chakra berada di depan, satu lagi di belakang, membentuk lingkaran yang mengelilingiku, memberi kesan seolah aku menjadi miliknya.
Gerakannya lembut tapi kuat, hanya beberapa kali pijatan aku sudah merasa seluruh tubuh menjadi lebih nyaman. Bagian dalam tubuh mulai terasa hangat, saraf yang tegang perlahan menjadi rileks.
Aku menatap lilin putih yang menyala di depan, reaksi tubuhku makin kuat, seolah di belakangku adalah suamiku, yang menyentuh seluruh tubuhku.
Rasa yang sudah lama hilang itu datang seperti gelombang. Tubuhku mulai menyesuaikan diri dengan gerakan Chakra.
Tangannya agak kasar, bergerak melingkari pusar, lalu perlahan naik ke atas.
Hingga tangannya menyentuh pakaianku pun dia tidak berhenti. Tangannya terus naik, hingga rasa dingin menyentuh dada. Pikiranku yang sempat melayang tiba-tiba sadar.
"Jangan ... "
Aku meraih tangannya yang berada di dadaku, suaraku serak.
"Sudah cukup, nggak usah dipijat lagi, sudah cukup."
Aku bangkit dan menoleh, melihat Chakra menatap dadaku yang setengah terbuka tanpa berkedip, obsesinya membuatku takut.
Reaksi Chakra sangat intens. Napasnya pun terdengar makin berat. Aku buru-buru menarik turun pakaianku yang tersingkap, sambil menggertakkan gigi untuk menahan gejolak di dalam hati.
Tatapan singkat tadi membuatku paham mengapa wajah Bu Linda, janda di sebelah rumah, sering terlihat memerah dan langkahnya tak stabil.
Ada pesona kuat dalam diri pria ini, yang cukup untuk membuat siapa pun kehilangan kendali.
Dibandingkan dengannya, suamiku tampak begitu biasa. Dalam hati, keyakinanku mulai bergoyang.
Aku menelan ludah, bibirku kering, napasku mulai tak beraturan.
Chakra menyodorkan segelas air, suaranya lembut namun tegas, "Kehamilan bisa membuat dada terasa tegang dan nyeri. Pijatan ringan bisa membantu melancarkan peredaran darah. Kamu yakin nggak mau aku pijat?"