Bab 3
Jantungku bergetar, dan tekad untuk menolak yang baru saja kuteguhkan perlahan mulai goyah.
Dulu, suamiku juga sering memijatku saat masih di rumah. Tujuh bulan tanpa dirinya ... Kalau aku bilang aku sama sekali tak menginginkannya, itu bohong.
Namun, apa aku benar-benar akan menyetujui permintaan Chakra?
Aku teringat pada suamiku yang kini bekerja jauh di luar kota, pada genggamannya sebelum pergi, pada janjinya untuk memberi hidup yang lebih baik bagi aku dan anak kami. Dan kini aku, di rumah, nyaris tak mampu menahan sepi ... kalau sampai ada yang tahu ...
Pikiranku makin kusut. Aku tak berani meneruskan bayangan itu. Dengan panik aku menolak tawarannya dan bergegas pulang tanpa arah yang jelas.
Saat baru mengeluarkan kunci untuk membuka pintu, Bu Linda di sebelah mendengar suara dan membuka pintu juga. Melihat wajahku memerah, dia tersenyum dengan pengertian.
"Sudah kubilang aku nggak menipumu, 'kan? Teknik pijat Dokter Chakra hebat, 'kan? Berdasarkan pengalamanku bertahun-tahun, meski dia muda, tenaga dan tekniknya luar biasa, benar-benar memanjakan."
Mendengar perkataan Bu Linda yang terang-terangan, ujung telingaku terasa panas, aku mengangguk malu-malu.
Chakra hanya memijat punggungku selama setengah jam, tapi aku merasakan pegal dan nyeri akibat kehamilan jauh berkurang, jelas dia memang terampil.
Setidaknya keterampilan memijatnya memang bagus.
"Menurutku, kalau kamu sedang hamil dan suami tidak di rumah, memiliki kebutuhan seperti itu normal saja, jangan sampai merasa terbebani secara psikologis ... "
Bu Linda terus bicara panjang lebar, sampai seorang pria menelepon mencarinya, barulah dia memutar pinggangnya dan pulang.
Setibanya di rumah, kegelisahan di dalam diriku sudah mulai tenang. Setelah makan malam, aku memutuskan untuk menghubungi suamiku.
Melihat wajah yang sangat kukenal, aku sedikit terharu, dan air mata tak sengaja menetes. "Kapan kamu akan pulang?"
Dulu dia pernah berkata, sebelum anak mereka lahir dia pasti akan pulang merawatku.
Suamiku mengerutkan dahi, tampak sedikit tidak sabar, tapi tetap menenangkanku dengan suara lembut, [Jangan khawatir. Terlalu banyak pikiran nggak baik untuk janinmu, aku pasti akan pulang sebelum kamu melahirkan.]
Aku ingin mengobrol lebih lama, tapi suamiku berdalih ada urusan di lokasi kerja. Aku mendengar suara wanita di telepon, suamiku segera menutup panggilan.
Aku memegang ponsel, sambil terpaku menatap ke luar jendela. Dari sebelah terdengar lagi suara napas berat Bu Linda.
Saat awal mulai bekerja di luar desa, suamiku bisa menelepon tiga kali sehari, mengucapkan selamat pagi, siang, dan malam. Perhatiannya tak pernah berkurang.
Namun, entah sejak kapan, obrolan kami makin jarang.
Setiap kali aku meneleponnya, pembicaraan kami tak pernah berlangsung lama dan selalu berakhir dengan nada tak menyenangkan.
Aku curiga dia punya wanita lain, tapi suamiku berkata aku terlalu cemas karena hamil, dan menyuruhku tidak berpikir macam-macam, cukup tinggal di rumah menjaga kandunganku.
Suara wanita di seberang telepon terdengar seperti palu berat yang menghantam hati. Mengapa pria boleh mencari perempuan di luar, sementara aku harus menahan diri di rumah, menjaga kesucian seolah tanpa hasrat?
Sepertinya obrolan siang tadi membuat Bu Linda makin terbuka. Suaranya yang semula masih tertahan kini tak lagi ditutupi, membuat hatiku terasa gatal dan geli, seakan ribuan semut merayap di dalam dada.
Kedua kakiku tak bisa lagi menahan, dan bergerak menjepit selimut. Sambil menggigit bibir, aku mengambil alat itu dan dengan gerakan yang sudah terbiasa, mengarahkannya ke bawah.
Sayangnya karena sedang hamil, gerakanku terbatas. Hasrat yang bergejolak di dalam tubuhku bukannya mereda, justru makin memuncak.
Tiba-tiba rasa nyeri menusuk di dada. Tak sengaja aku menjerit, dan benda di tanganku terlepas jatuh ke lantai.
Saat membuka mata lagi, kulihat payudaraku memerah dan membengkak. Ketika disentuh terasa perih, membuatku panik memikirkan kemungkinan ada yang tidak beres. Aku buru-buru mengenakan celana dan keluar tanpa sempat membereskan apa pun, hendak mencari dokter.
Saat aku mengetuk pintu, ternyata Chakra sedang mandi. Dia keluar tanpa mengenakan baju, hanya mengenakan jaket yang disampirkan seadanya. Tetesan air menuruni otot-otot kokohnya, memancarkan aura maskulin yang kuat.
Namun sekarang, aku tak sempat mengagumi itu. Aku begitu khawatir tubuhku bermasalah dan memengaruhi janinku.
Setelah mendengar ceritaku, Chakra membawaku ke sebuah ruangan yang tak asing lagi.
Dia membuka bajuku, udara dingin segera terasa pada kulit halusku, membuatku gemetar.