Bab 1
"Ayah, Ibu, hasil fotoku mendapatkan penghargaan ... "
Nabila baru saja pulang ke rumah orang tuanya. Dia baru kembali dari perjalanan dinas. Sayangnya, pemandangan di dalam rumah membuatnya memicingkan mata, jari-jarinya mencengkeram erat gagang pintu.
Di tengah ruang tamu ada foto pernikahan Tama dan Nadia.
Dua orang itu, yang pria merupakan suaminya, sementara mempelai wanitanya adalah adik kembarnya sendiri.
Orang tua Nabila berdiri di samping ayunan bayi sambil memegang mainan gendang kecil di tangan.
Pikiran Nabila seketika kosong.
Sebelum bisa mencerna semuanya, Nadia tiba-tiba menggendong bayi itu dan berlutut keras di lantai.
"Kak, maafkan aku ... " Kedua matanya sudah berkaca-kaca. Wajahnya terlihat polos seperti tanpa dosa. "Karena Kakak mandul, sementara aku ... aku bisa hamil, makanya ... "
Sebelum Nadia menyelesaikan kalimatnya, Tama sudah menatapnya iba. Dia lalu membantu wanita itu berdiri. Dengan tenang dia menjelaskan, "Nabila, orang tuaku sudah lama ingin cucu. Nadia wanita yang baik, dia rela berkorban demi melahirkan anak kita, kamu seharusnya mau berterima kasih padanya, bukan malah menyalahkannya."
Pria itu lalu membetulkan letak kacamata bingkai emas di wajahnya. Bibirnya sedikit terkatup. Pantulan cahaya dari lensa kacamatanya membuat Tama terlihat dingin serta angkuh.
Orang tua Nabila juga segera menimpali, "Benar. Kalau bukan karena Nadia mau mengalah jadi penggantimu, kamu nggak akan bisa punya anak seumur hidup. Kamu harus tahu diri, Nabila."
Ucapan mereka seperti pisau yang menyayat hati Nabila. Rahasia itu akhirnya terbongkar di depannya malam ini. Untuk pertama kalinya, dia benar-benar merasakan bagaimana kata-kata bisa melukai hati seseorang.
Setiap kata yang terlontar dari mulut mereka membuat hatinya terasa ngilu.
Entah sudah berapa lama berlalu, gelombang rasa sakit di dadanya terasa menumpuk dan makin menyesakkan. Perasaan itu tidak bisa sirna dan terus menumpuk.
Pandangan matanya sudah kabur karena air mata.
Nabila memandang pria yang sudah dia cintai selama bertahun-tahun. Rasanya begitu ironis.
Semua orang mengenal Nabila sebagai wanita mandul yang tidak bisa melahirkan. Orang tuanya yang kuno jelas tidak bisa menerima kekurangannya tersebut. Dari kecil mereka memang lebih sayang pada Nadia. Teman-teman sekelas Nabila jadi sering mengejek serta menghinanya karena hal itu. Tapi tidak dengan Tama.
Tama merupakan pria paling menonjol di antara para pewaris kaya. Dia berhasil membuat nilai perusahaannya melonjak hingga triliunan dengan kemampuannya sendiri. Pria itu menjelma menjadi calon suami idaman yang sempurna. Tama menolak semua wanita yang orang tuanya jodohkan padanya. Pria itu mengabaikan cibiran dan larangan orang-orang hanya demi mengejar cinta Nabila secara terang-terangan.
Dia tahu bahwa mimpi Nabila adalah memenangkan semua penghargaan fotografi bergengsi di dunia. Tama rela menggelontorkan uang serta tenaga. Bahkan mempertaruhkan nyawa demi menemani Nabila ke medan perang di luar negeri untuk mendapatkan jepretan foto terbaik.
Saat semua orang mencela Nabila karena mandul, Tama justru mengadakan konferensi pers. Dia dengan tegas menyatakan bahwa mereka memilih hidup tanpa anak. Bahkan dia benar-benar pergi ke rumah sakit untuk menjalani operasi vasektomi. Semua itu agar Nabila bisa hidup tenang.
Dia tahu semua luka yang harus Nabila tanggung di masa lalu. Dia juga yang selalu berusaha melunakkan duri di hati wanita itu dengan kesabaran serta kelembutan.
Tama berkata, "Kamu terlalu sempurna, makanya Tuhan sengaja memberikan satu kekurangan. Walaupun kamu mandul atau jahat, aku tetap akan mencintaimu seumur hidupku."
Dia begitu mencintai Nabila, semua orang tahu itu. Bahkan Nabila sendiri juga merasa tenggelam dalam cintanya. Apalagi Tama bersumpah akan setia.
Orang-orang bilang, "Baru Nabila yang bisa mendapatkan cinta sejati seorang pria dari keluarga kaya."
Nabila menerima lamaran Tama di tengah lautan bunga yang dipenuhi sorakan serta doa. Saat itu, dia percaya bahwa dirinya akan selalu bahagia. Tapi kenyataan kejam justru datang menghancurkan keindahan masa itu.
Dia tahu, mau seberapa keras dirinya mencoba meyakinkan diri sendiri, hal ini akan tetap menjadi duri dalam hatinya. Duri itu pada akhirnya akan menusuknya berulang kali hingga lukanya membusuk. Rasanya amat menyakitkan.
Nabila tersenyum merendahkan. Sorot matanya tampak mengejek. "Ayah, Ibu, ini terakhir kalinya aku memanggil kalian begitu. Lagi pula, sejak awal kalian memang menganggap Nadia yang lebih pantas bersanding dengan Tama. Sekarang mereka sudah punya anak. Aku cuma bisa mendoakan semoga kalian berlima bahagia."
Usai bicara begitu, dia berbalik dan membuka pintu, lalu berjalan pergi tanpa menghiraukan tatapan kaget semua orang. Dia terus berjalan pergi tanpa menoleh sama sekali.
Tama mengerutkan kening, refleks ingin mengejarnya. Tapi Nadia segera menarik lengan bajunya. Wajah wanita itu pucat pasi seperti sedang menahan sakit.
Dia menggigit bibir bawahnya dan berkata, "Kak Tama, perutku sakit sekali. Bisa tolong elus dulu ... "
Tama menatap sosok Nabila yang makin menjauh dari pintu. Dia lalu ganti menatap Nadia yang tampak kesakitan. Akhirnya dia segera membuat keputusan.
Dia segera meletakkan telapak tangannya di perut Nadia. Sementara orang tua wanita itu menggendong bayi mereka supaya tidur.
...
Setelah meninggalkan rumah Keluarga Ariswan, Nabila pergi ke kantor imigrasi sendirian untuk mengurus visa.
Petugas menanyakan alasannya pergi ke luar negeri sesuai prosedur.
Nabila menarik napas pelan, menahan emosi yang berkecamuk dalam dada. Dia lalu memaksakan satu senyuman penuh percaya diri. "Hasil fotoku memenangkan Penghargaan Pulitzer. Pihak penyelenggara mengabarkan kalau aku diundang ke sana untuk menerima langsung penghargaan itu dua minggu lagi."
Usai mendengar jawabannya, para petugas imigrasi di sekitarnya pun tampak kagum.
Nabila hanya menunduk, mengucapkan terima kasih dengan sopan. Setelah menyerahkan semua dokumen yang dibutuhkan, dia pun melangkah keluar. Nabila pulang ke rumah yang ada di pusat kota. Dulu dia dan Tama tinggal di sini setelah menikah.
Nabila mengemasi barang-barang yang mau dibawanya terlebih dahulu. Lalu dia melihat buku nikah yang jatuh dari map surat.
Suasana hatinya makin tidak nyaman usai membaca isi buku nikah itu. Rasanya ada sebilah pisau yang mengiris hatinya hingga berdarah.
Ternyata, selama dia pergi perjalanan dinas, Tama mengajak Nadia ke Republik Gara untuk menikah di sana.
Kini, Tama punya dua orang istri sah. Satunya dinikahi di dalam negeri, sementara satunya lagi di luar negeri.
Pria itu sepertinya lupa dengan janjinya dulu. Tama pernah janji hanya akan mencintai Nabila seumur hidup. Tapi baru tiga tahun berlalu, cinta pria itu telah pudar.
Nabila merasa miris. Rupanya seumur hidup bagi Tama begitu singkat.
Sudahlah.
Nabila menghapus air mata di sudut matanya. Pernikahannya memang sudah hancur. Tapi kariernya justru sedang menanjak. Dia sedang melangkah ke puncak karier.
Mulai sekarang, dia hanya perlu fokus pada impiannya saja.
Selain itu, tidak ada lagi yang penting ...