Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa
Dua Istri KembarkuDua Istri Kembarku
Oleh: Webfic

Bab 2

Keesokan paginya, seorang pengacara datang mengirimkan surat cerai. "Nona Nabila, semua klausa dalam surat cerai ini sudah disusun sesuai permintaan Nona. Begitu Nona dan suami sudah tanda tangan, surat ini akan segera diproses agar berlaku. Silakan dicek lagi apakah perlu ada tambahan, atau ada yang harus diubah." Nabila hanya memindai beberapa halaman dan membaca sekilas. Dia lalu dengan acuh tidak acuh berkata, "Nggak ada yang harus diubah, Pak Beni. Bayaranmu akan segera ditransfer, silakan dicek sudah masuk atau belum." Pengacara itu mengangguk. Saat dia mau mengatakan sesuatu, tiba-tiba Tama muncul di ambang pintu. "Nabila, siapa dia?" Tatapan pria itu tampak tajam dan mengintimidasi. Nada bicaranya juga dingin dan menusuk, membuat orang tidak ada yang berani menatapnya langsung. Sebelum Tama sempat melontarkan pertanyaan lagi, pengacara yang peka dengan situasi pun segera mengambil tas kerjanya dan bergegas pergi. Nabila tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya berdiri perlahan dan hendak naik ke lantai atas. Tapi saat lewat di samping Tama, pria itu menarik pergelangan tangannya. "Lepaskan, sakit!" Nabila mengerutkan kening. Rasa sakit di tangannya membuat raut wajahnya menegang. Sepasang mata indahnya menyiratkan perasaan muak serta jijik. Tama melonggarkan cengkeramannya, lalu menarik Nabila dalam pelukan. "Kenapa masih marah, Nabila?" "Kamu yang nurut dan jangan marah lagi, oke?" Suaranya terdengar dari atas kepala Nabila. Ucapan Tama terdengar lembut, tapi Nabila malah merasa jijik. Dia lebih suka melihat Tama bersikap jahat daripada penuh kasih seperti dulu. Jelas-jelas pria ini yang sudah ingkar janji. Tapi sekarang malah bersikap seolah dia yang jadi korban. Entah untuk apa Tama bersandiwara begini? Nabila tidak peduli lagi. Dia malas berdebat dan tidak punya tenaga untuk menangis sambil menuntut penjelasan. "Tama." Dia berusaha melepaskan diri dari pelukan pria itu. Kemudian mundur dua langkah sambil memasang ekspresi dingin. "Jangan sentuh aku, kamu terlalu kotor ... " Ketenangan di wajah Tama langsung sirna usai mendengarnya. Nada bicaranya langsung meninggi, "Nabila, bukankah penjelasanku waktu itu sudah cukup jelas? Cuma kamu yang kucinta." Bagi Tama, dia sudah banyak berkorban untuk Nabila. Dia bahkan menggelar konferensi pers untuk mengumumkan bahwa tidak mau punya anak. Semua itu dia lakukan demi Nabila. Bahkan Tama juga harus menanggung tekanan dari orang tuanya selama bertahun-tahun. Di mata Tama, meskipun Nadia dan Nabila adalah saudara kembar. Nadia merupakan orang yang lebih pengertian. Sementara Nabila malah suka bertingkah dan gampang emosi. Tama menghela napas. Kesabarannya mulai habis. "Aku harus apa lagi supaya kamu mau bicara baik-baik?" "Aku mau kita tanda tangan surat cerai ... " Sebelum Nabila bisa menyelesaikan kalimatnya, sebuah dering ponsel terdengar menginterupsi mereka. Tama mengeluarkan ponselnya. Dia menatap sejenak nama kontak yang tertera di layar, lalu segera menerima panggilan. "Ada apa, Nadia? Apa anak kita menangis lagi?" Suara Tama otomatis berubah pelan dan jadi lembut. Sorot matanya juga menunjukkan betapa senangnya jadi seorang ayah baru. Dari seberang telepon terdengar suara Nadia yang manja dan sedikit cemas, [Kak Tama, kudengar sebentar lagi akan ada angin topan. Apa Kakak bisa datang menemani kami?] "Tentu. Kalian tunggu saja, jangan takut. Aku akan segera ke sana." Begitu mengakhiri panggilan telepon, suara petir menggelegar di luar jendela. Tirai berayun keras diterpa angin kencang. Dari balik kaca, sebuah pohon besar tumbang di tengah jalan. Tama hanya melirik sekilas pemandangan itu, lalu tanpa ragu berkata, "Malam ini aku mau menemani Nadia dan bayinya dulu. Kamu kunci pintu dan jendela." Saat pria itu bicara, mata Nabila menatap surat cerai di meja. Dia lalu membukanya sedikit dan mengulurkannya ke depan Tama. "Kamu boleh menemani mereka, tapi tanda tangan ini dulu." Nabila sengaja menghalangi pintu dengan tubuhnya. Dia memasang ekspresi tegar meski berkaca-kaca. Tama tampak bingung. Dia hendak membalik halaman surat itu untuk bertanya. Tapi ponselnya kembali berdering dan membuatnya terkecoh. Dia menerima panggilan tersebut, lalu berusaha menenangkan Nadia yang ada di seberang telepon. Dia menelepon sambil menandatangani berkas surat cerai dengan cepat. Bahkan tanpa membaca isi di dalamnya. Begitu Tama selesai membubuhkan tanda tangan, Nabila tersenyum tipis. Dia merasa lega sekaligus sedih. "Pergilah, jangan sampai Nadia menunggu lama." Nabila menatap mobil Tama yang perlahan menjauh dan akhirnya menghilang di tikungan jalan. Kemudian, dia tanpa ragu membuka sebotol anggur merah dan meneguknya, menganggap ini sebagai perayaan kecil atas kebebasannya dari ikatan pernikahan. Dirinya kembali menjadi wanita lajang. Jarinya mengusap tanda tangan di atas surat cerai sambil bergumam, "Tama, kamu bilang ini demi meneruskan garis keturunan. Tapi tindakanmu menyadarkanku bahwa kamu mencintai Nadia ... " Saat melihat Tama nekat menembus angin topan demi menemui Nadia. Saat itu pula Nabila sadar bahwa posisi Nadia lebih penting di hati pria itu. Tama lebih memilih menemani Nadia. Sementara padanya, pria itu hanya menyuruhnya mengunci pintu dan jendela. Perlakuan Tama begitu berbeda. Mana mungkin kalau bukan karena pria itu mencintai Nadia. Nabila tersenyum meremehkan, sedang mentertawakan dirinya sendiri. Telapak tangannya menekan dada perlahan, seolah mencoba merasakan getir dalam hati. Tapi sudah lama mencoba meresapinya, dia malah tidak merasakan apa-apa. Hatinya seolah mati dan membeku seluruhnya. Dia sebenarnya ingin bertanya langsung pada Tama, "Saat melihat wajah kami yang sama persis, siapa yang sebenarnya kamu cintai?" Tapi setelah berpikir lagi, pertanyaan itu sudah tidak penting. Bahkan tidak perlu ditanyakan. Malam itu Nadia bahkan sengaja mengirimkan pesan padanya. Nadia: [Besok hari jadiku yang kedua dan Kak Tama, sekaligus ulang tahun anak kami yang pertama. Pesta perayaannya akan digelar di rumah Keluarga Aldeno, Kakak harus datang, ya.] Nabila menatap tulisan 'hari jadiku yang kedua' dalam pesan tersebut. Dia pun sadar kalau selama dua tahun ini dia sudah dibohongi. Tama sudah menduakannya selama ini. Nabila kira dapat melepaskan semuanya dengan mudah. Tapi saat rasa sakit itu benar-benar datang menyerang. Dia malah tidak sanggup menahannya. Air matanya menetes di layar ponsel, membuat deretan huruf di layar perlahan kabur. Dengan ekspresi dingin dia membalas pesan itu secara singkat: [Oke, aku pasti datang.] Bohong kalau dia tidak sedih. Tapi karena Nadia sendiri yang duluan menantangnya, mana mungkin dia tidak datang? Setidaknya, dia harus mendapatkan kesempatan untuk melampiaskan amarahnya agar tidak merasa tertekan.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.