Bab 5
Usai menandatangani dokumen tersebut, Nabila hendak pergi. Tapi para wartawan tiba-tiba datang dan berkerumun mendekatinya.
Mereka memegang mikrofon dan melontarkan pertanyaan tajam karena ingin mencari tahu sampai ke akar.
"Nona Nabila, suamimu mau mentransplantasikan kulitnya untuk wanita lain, apa kamu nggak merasa sedih atau cemburu? Apa kamu pasrah karena nggak mau kehilangan harta dan status?"
"Permisi, apa ke depannya kalian akan terus begini? Siapa yang sebenarnya istri sah dan madu? Kamu atau adikmu? Lalu siapa yang akan dipanggil ibu oleh si bayi?"
Nabila sempat dibuat jengkel di bawah sorotan lampu kamera wartawan. Tapi dia mencoba tenang saat menjawab, "Kalian seharusnya tanya ke Tama dan Nadia, bukan padaku."
Begitu jawabannya terlontar, seorang wartawan pria menatapnya dengan tatapan meremehkan.
"Kalau bukan karena adikmu bisa hamil dan melahirkan bayi laki-laki, kamu pasti sudah lama didepak dari Keluarga Aldeno. Kamu pura-pura angkuh dan sok di depan kamera. Tapi kamu pasti menjilat dan berusaha merebut hati Nona Nadia di belakang."
Nabila menyipitkan mata mendengarnya. Dia lalu mengulas senyum santai dan melangkah ke depan dengan elegan. Dia meraih mikrofon wartawan barusan.
"Ucapanmu seolah berkata aku harus berterima kasih pada selingkuhan suamiku, bahkan merayunya. Tapi aku mau tanya, kenapa juga aku harus melakukannya? Apa aku pantas mendapatkan cacian orang cuma karena nggak punya anak laki-laki?"
"Apa karena aku nggak bisa punya anak, aku harus diam saja menerima suamiku selingkuh?"
Nabila tidak perlu menjelaskan banyak hal, apalagi berusaha membuktikan kalau dirinya tidak bersalah. Dia hanya melemparkan pertanyaan balik agar semua orang bisa berpikir.
Wajah wartawan itu mendadak membeku. Butuh waktu cukup lama sebelum dia akhirnya berkata, "Dari dulu tugas wanita kan jadi istri dan melahirkan. Istri yang nggak bisa punya anak sepertimu seharusnya bersyukur masih ada yang mau menikahi. Kami mewawancaraimu juga sudah merupakan bentuk kesempatan agar kamu muncul di depan publik, jadi jangan nggak tahu diri."
Makin wartawan itu bicara, suaranya makin lantang. Kalimat demi kalimat hinaan terus terlontar tanpa henti.
Tapi Nabila sama sekali tidak ragu untuk mengambil mikrofonnya lagi, lalu melemparkannya ke arah pria itu.
Saat wartawan itu menjerit kesakitan sambil menutupi wajah, Nabila mengeluarkan uang sepuluh ribu dari dompet. "Ini buat mengobati lukamu. Lumayan buat beli lem super untuk menutup mulutmu itu, daripada terus asal bicara seharian."
Orang-orang tampak kaget. Nabila sendiri merapikan rambutnya yang tergerai, lalu memberi isyarat pada wartawan perempuan di sampingnya untuk melakukan siaran langsung.
Begitu siaran langsung dimulai, Nabila tersenyum. "Aku tahu banyak orang penasaran soal pernikahanku, dan juga soal bayi itu. Aku tahu ada yang kasihan padaku, ada juga yang mengejekku."
"Zaman dulu, orang selalu merasa punya anak laki-laki adalah syarat biar bisa punya penerus, dan agar ada yang merawat di hari tua. Tapi bagiku, pernikahan dan anak bukanlah segalanya dalam hidup ini. Aku sudah banyak memenangkan penghargaan jurnalisme dan fotografi. Pencapaianku dalam karier akan tertulis di bagian pembuka kabar kematianku kelak. Selain itu, nggak ada lagi yang penting."
"Jadi, tolong berhenti berspekulasi soal pernikahanku. Lebih baik kalian peduli dengan prestasiku, dan prestasi para wanita di luar sana. Bukan pada apakah kami bisa punya anak atau nggak."
Dalam siaran langsung tersebut, seberkas sinar mentari yang menembus jendela pun tampak menyinari wajah Nabila, membuatnya terlihat bersinar dan percaya diri.
Di hadapan tatapan kagum orang-orang, dia melangkah keluar dari rumah sakit dengan tenang dan anggun.
Setelah semua ini, dia benar-benar melepaskan statusnya sebagai Nyonya Tama, dan menjadi panutan banyak wanita.
Operasi Nadia baru selesai. Dia ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk menunjukkan seberapa besar cinta Tama padanya.
Tapi sayangnya, tepat saat dia membuka ponselnya, ada sebuah siaran langsung berjudul, "Nabila si Wanita Tangguh".
Raut wajah Nadia sontak berubah jadi marah. Kulit yang baru ditransplantasikan di pipi kanannya jadi berkerut tidak rata.
"Akulah wanita yang bisa hamil dan melahirkan. Dari kecil sampai sekarang, selain punya nilai akademik yang lebih tinggi, apalagi yang bisa membuat si Nabila itu lebih unggul dariku? Mereka ini seharusnya kagum padaku. Bahkan Tama dan semuanya adalah milikku."
Nadia tersenyum, lalu menjatuhkan cermin yang ada di samping ranjang.
Cermin itu pecah berkeping-keping. Sambil menahan rasa sakit di telapak tangannya, dia meraih pecahan cermin yang paling tajam. Tanpa ragu, dia kembali menggores pipinya.
Darah segar mengalir dari wajahnya. Saat itu juga dia memasang ekspresi tersakiti. Dia berjalan menuju ruangan Tama dengan terhuyung-huyung.
"Kak Tama ... " Suara Nadia begitu lirih dan jelas sedang pura-pura. Dia terjatuh di tepi ranjang dan sengaja menunjukkan luka sayatan di wajah.
Wajah tampan Tama sontak berubah panik. Dia berseru cemas, "Nadia, kamu kenapa? Kenapa wajahmu bisa berdarah begini?"
Nadia menunduk dan menangis. Dia terlihat takut mau menjawab.
Setelah Tama mendesaknya berkali-kali, dia baru mau menjawab dengan terbata, "Ka ... Kakakku yang melakukannya. Dia iri melihatmu mendonorkan kulitmu untukku, makannya sengaja melukai wajahku lagi."
"Dia juga menyebutku selingkuhan di siaran langsung. Sekarang semua netizen menghujatku. Aku harus bagaimana, Kak Tama? Aku takut sekali ... "