Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa
Dua Istri KembarkuDua Istri Kembarku
Oleh: Webfic

Bab 6

Malam itu, Grup Aldeno merilis sebuah pengumuman yang jarang mereka lakukan. Pengumuman itu berjudul, "Orang yang Tidak Dicintailah yang Orang Ketiga". Pengumuman tersebut juga disertai peringatan dari pengacara untuk para netizen yang menghujat. Tama mengunggah ulang pengumuman tersebut, bahkan menyematkannya di halaman utama profilnya. Pengumuman itu pun langsung jadi topik panas dalam hitungan menit. Nadia bahkan menyuap beberapa netizen untuk membanjiri kolom komentar akun sosmed Nabila. Pasukan netizen bayaran itu menyebarkan rumor dan mengatakan bahwa cinta sejati tidak akan terkalahkan. [Nggak bisa punya anak tapi nggak mau mundur, sengaja, ya.] [Jelas-jelas cuma mau mengincar harta dan status, makanya nggak mau cerai. Sekarang malah balik menuduh Nadia yang jadi selingkuhan. Padahal kamu yang jadi orang ketiga dalam hubungan mereka!] [Nabila, keluarlah dari Keluarga Aldeno! Serahkan posisi istri sah itu ke Nadia!] Awalnya Nabila sama sekali tidak terpengaruh. Dia bahkan merasa semua ini hanyalah trik murahan yang tidak pantas dia tanggapi. Namun, beberapa netizen masih bisa membedakan mana yang benar dan salah. Mereka mulai memihak Nabila, dan berusaha melawan serangan para akun bayaran yang menyerangnya. Tiga jam kemudian, Tama pulang ke rumah dengan membawa puluhan pengawal. "Nabila, dengarkan baik-baik. Asal kamu mau mengeluarkan pernyataan yang menyatakan kalau kamu yang jadi selingkuhan, masalah ini akan berakhir sampai di sini." Tama mengulurkan tangan hendak menyentuh Nabila. Tapi wanita itu refleks memalingkan wajah untuk menghindar. Tatapan matanya tampak jijik. Dia lalu mundur dua langkah untuk menjauh. "Tama, buat apa aku mengakui sesuatu yang nggak benar? Kita semua tahu siapa yang orang ketiga di sini." Dia berkata dengan tegas dan menolak untuk mengalah. Tama mengerutkan kening, dia menghela napas pelan. "Nabila, Nadia itu adik kandungmu. Kamu tahu dia nggak kuat menghadapi cibiran orang-orang. Apa kamu nggak bisa mengalah sedikit?" Nada bicara Tama terdengar lelah. Dia bersandar ke sofa. "Dulu kamu kan orang yang berbesar hati." Raut wajah Tama terlihat kecewa, seolah Nabila yang salah di sini. Suara tawa sinis tiba-tiba terdengar memecah keheningan. Nabila menyilangkan kedua tangan di depan dada. Bibir merahnya tersenyum sinis. "Dulu kamu juga nggak pernah sampai harus memutarbalikkan fakta begini, Tama. Kamu tahu betul bukan aku yang nggak mau mengalah, tapi kamu yang terlalu berat sebelah." Usai bicara begitu, Nabila sudah muak membahas omong kosong ini lagi. Dia mengambil laptop dan beranjak dari sofa. Para pengawal di pintu mengadangnya usai mendapat isyarat dari Tama. "Nabila, jangan salahkan aku." Suara dingin Tama terdengar dari belakang. Dalam sekejap, beberapa pengawal langsung mengangkat lemari kaca yang ada di sana. Nabila menatap ngeri pada piala-piala yang totalnya mencapai dua puluh tujuh piala itu. Piala itu begitu menyilaukan saat terkena cahaya. Masing-masing piala merupakan bukti dari kerja keras serta pencapaian Nabila selama bertahun-tahun. Mereka telah berbagi ranjang selama bertahun-tahun. Nabila bisa langsung menebak apa yang mau Tama lakukan. Nabila melemparkan tas laptop di tangannya dan hendak menyelamatkan piala-piala itu. Tapi Tama mengulurkan tangan dan menahan bahunya dari belakang, memeluknya erat. "Nabila, cuma piala-piala itu yang kamu pedulikan di dunia ini. Bagaimana kalau semua piala itu hancur? Kamu pasti sedih, 'kan?" Sebelum Nabila sempat menjawab, suara barang pecah sudah terdengar. Seorang pengawal sudah menghancurkan satu piala pakai palu. Kemudian diikuti piala kedua ... lalu piala ketiga. Nabila makin marah hingga menggigil. Jantungnya seolah diremas oleh tangan tidak kasatmata. Rasanya begitu menyakitkan hingga napasnya mulai tidak beraturan. Tama membelai pipinya penuh kasih, masih berusaha membujuknya, "Nabila, asal kamu mau mengeluarkan pernyataan itu dan menerima semua tuduhan yang ditujukan untuk Nadia, kamu masih bisa menyimpan piala-piala itu." Dia tahu betul kalau Nabila selalu mementingkan kariernya. Wanita itu juga menganggap piala-piala ini sebagai hidupnya. Makanya, Tama sengaja melakukan hal ini untuk memaksanya. Apalagi, Nabila juga sangat mencintainya. Amarah wanita ini pasti akan mereda setelah beberapa waktu berlalu. Semuanya akan berlalu saat Tama membujuknya. Beberapa saat kemudian, seluruh tubuh Nabila terkulai lemas di lantai. Dia menunduk, berusaha memunguti pecahan-pecahan piala itu satu demi satu. Air matanya yang panas terus menetes jatuh ke lantai. Dengan nada getir dan putus asa, dia berkata pelan, "Kamu menang, Tama. Aku akan merilis pernyataan itu seperti maumu ... " Akhirnya, dia menulis dan memublikasikan sebuah pernyataan yang berjudul, "Akulah Selingkuhannya, Nadia yang Jadi Korban". Setelah menutup laptop, dia mendongak dan menatap sinis Tama di depannya. "Sudah puas? Atau kamu masih mau menyuruhku mengakui dosa yang mana lagi? Katakan sekalian." Mungkin karena ekspresi tenang di wajah Nabila yang kontras dari biasanya, Tama malah gelisah melihatnya. Tama melambaikan tangan, menyuruh para pengawal keluar. Dia hendak duduk dan menenangkan Nabila. Tapi dering ponsel khusus Nadia malah terdengar dari ponselnya. Entah apa yang Nadia katakan, tapi Tama langsung melirik Nabila dengan tatapan yang seolah merasa bersalah. Tapi pada akhirnya dia tetap pergi dengan cemas. Setelah membereskan kekacauan di sekelilingnya, Nabila turun sendirian ke ruang bawah tanah untuk membuka brankas besi tebal. Ada tiga berkas rahasia tersimpan di sana. Semuanya bisa jadi bukti yang menghancurkan Nadia, sekaligus membuat Tama menyesal seumur hidup.

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.