Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 4

Fajar belum menyingsing, tetapi Aleya sudah terbangun akibat rasa sakit yang menusuk di pinggangnya. Selama bertahun-tahun ini, untuk mendapatkan lebih banyak uang dan mengejar progres, bisa dibilang Aleya siang dan malam duduk di depan komputer untuk menggambar. Dia jadi sering duduk menggambar lebih dari 12 jam setiap hari, begadang semalaman juga sudah menjadi hal biasa. "Kamu masih muda, kok otot pinggangmu sudah tegang dan sarafmu sudah terjepit?" keluh si dokter sambil memegang hasil rontgen Aleya. Aleya takut Haris khawatir, jadi dia tidak pernah membahas soal ini. Hari ini, lagi-lagi Aleya tidak bisa bangun dari tempat tidur. Aleya berpikir sebentar, lalu akhirnya menelepon Haris. Bagaimanapun juga, Aldino juga adalah putra Haris. [Halo?] Suara wanita yang manis menjawab telepon. Aleya pun terdiam dua detik, lalu melihat layar ponselnya untuk memastikan dia tidak salah menelepon. [Siapa yang mengizinkanmu mengangkat teleponku!] Suara Haris yang marah terdengar dari ujung telepon sana. Ternyata begitu. Jantung Aleya terasa seperti diremas, bahkan bernapas pun terasa sakit. [Lea?] panggil Haris dengan hati-hati. Aleya menjawab dengan nada datar, "Aku nggak bisa bangun. Tolong kamu pulang dan masak makanan buat anak kita, sekalian antar dia ke TK." "Atau suruh Nona Malena di sampingmu juga boleh." Haris buru-buru menyela, [Ini nggak seperti yang kamu pikirkan ... ] Namun, Aleya dengan tegas mematikan telepon tanpa menunggu Haris selesai bicara. Setengah jam kemudian, Haris pulang dengan tergesa-gesa. Malena yang berada di belakangnya tampak seperti habis menangis, matanya merah. Ekspresi Malena terlihat jujur, tetapi juga merasa tidak adil. "Nona Aleya, aku harus menjelaskan. Pak Haris minum alkohol semalam sampai sakit perut, jadi pagi ini dia menyuruhku membuat sup pereda mabuk." Aleya tidak memandang Malena dan hanya bertanya pada Haris, "Kamu semalam ke mana?" Haris langsung menjawab, "Ke hotel murah yang mana saja." Lalu, Aleya menatap Malena. "Oh, jadi maksudmu kamu pergi ke hotel murah jam enam pagi untuk membuatkan sup pereda mabuk?" Ekspresi Haris dan Malena sontak menjadi kaku. Aleya balas tertawa kecil. Ujung bibir Malena berkedut, lalu dia menunduk dan berjalan keluar kamar. "Aku akan membuat sarapan." Haris duduk di samping Aleya dengan ekspresi kikuk. "Pinggangmu kenapa?" "Kamu sudah tanda tangan surat cerainya?" "Lea." Ekspresi Haris jadi terlihat masam. "Apa kamu masih menyalahkanku karena nggak menghasilkan uang, sampai harus membuatmu bersusah payah membayar utang?" "Aku janji, setelah utang 20 miliar kali ini lunas, aku akan memberimu kehidupan yang nyaman." Aleya hendak mengatakan sesuatu, tetapi pintu kamarnya berderit dan terbuka sedikit. Aldino muncul sambil memeluk selimutnya, lalu bertanya dengan hati-hati, "Ibu, apa Ibu akan pergi dinas lagi?" "Ibu pasti sangat kesulitan karena bekerja begitu keras. Nanti ketika aku sudah besar, aku pasti akan berbakti pada Ibu." Tubuh mungil Aldino yang sudah lama tidak bersama Aleya, merapat ke sisinya. Aleya hanya bisa mengiakan dengan lemah, dia tidak bisa mengatakan hal lain. Padahal dia juga tidak berencana untuk pergi. Aldino tertawa diam-diam, trik yang diajarkan Bibi Lena memang efektif. Haris pun berbalik dengan penuh semangat dan diam-diam mengetik, [Aku menang! Berikan 200 miliarnya.] Setelah sarapan dan Aldino diantar ke TK, Aleya meminum obat pereda nyeri dan pil tidur supaya bisa tidur lebih lama. Mungkin karena semalaman tidak tidur, efek obat cepat bekerja dan dia tertidur lelap. Setelah mengantar Aldino, Haris dan Malena pun pulang. Haris menatap Aleya yang hanya bisa tidur tengkurap karena sakit pinggang, sorot tatapannya terlihat agak tidak tega. Malena segera memijat pinggang Aleya dengan terampil. "Otot pinggang Nona Aleya mungkin tegang karena sering bekerja sambil duduk di depan komputer." Haris menundukkan pandangannya. "Dia nggak pernah memberitahuku." Malena menambah tenaga pijatannya. "Jangan menyalahkan diri sendiri, anggap saja pijatanku ini sebagai permintaan maafmu." Haris menggesekkan jari telunjuknya dengan ambigu di bibir Malena. "Andai saja dia setengah perhatian dan selembut kamu." Malena memiringkan kepalanya, wajahnya memerah. "Istrimu masih di sini." Tangan Haris makin tidak bisa diam. "Nggak apa-apa, dia sudah minum pil tidur." Aleya terbangun saat hari sudah sore. Tidak ada seorang pun di rumah. Namun, dia refleks mengernyit saat mencium bau aneh di sekitarnya. Aleya mengayunkan lengannya yang pegal dan mati rasa. Dia hendak bangun dengan berpegangan pada tepi kasur, tetapi tiba-tiba rasa sakit yang hebat dan belum pernah terjadi sebelumnya muncul dari pinggangnya. Pakaian Aleya sudah basah oleh keringat dingin saat dia meraih ponsel. "Halo? 112?"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.