Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 4

Sigit menatap cambuk di depannya tanpa bergerak. Di sampingnya, Tina kembali meneteskan air mata. "Kak Sigit, aku tahu kamu dan Kakak saling mencintai, jadi sudahlah ... " "Bagaimanapun juga, kalian akan segera menikah. Saat itu tiba, aku juga harus pergi dari sisimu." "Sigit, pikirkan baik-baik. Kalau kamu nggak bisa menunjukkan wibawa sebagai suami, nanti setelah menikah ... " Cahyo sempat terdiam, tetapi hanya kalimat itu sudah membuat Sigit mengambil cambuk tersebut. Dia berdiri dan berjalan ke belakang Wulan. Meski lengannya gemetar, cambuk pertama tetap mendarat di punggung Wulan. Wulan menggigit bibir, menahan diri agar tidak mengeluarkan suara, tetapi butiran keringat besar menetes dari dahinya. "Wulan, jangan salahkan aku. Aku melakukan ini juga demi kita ... " Suara Sigit lirih, tetapi cambuk di tangannya jauh lebih mantap dari sebelumnya. Dalam sekejap, aula menjadi sunyi, hanya terdengar suara cambuk yang membelah udara dan menghantam punggung Wulan. Darah membasahi punggungnya, dan rasa karat memenuhi rongga mulutnya. Pandangan matanya mulai berkunang, wajahnya pucat, tubuhnya tampak seperti baru diseret keluar dari air. Entah berapa lama berlalu, sepuluh cambukan akhirnya selesai. Dua pria yang menahannya melepaskan tangan mereka, dan Wulan jatuh tersungkur ke lantai. "Wulan!!" Sigit hendak menolongnya, tetapi dia mendengar suara lemah dari Wulan. "Sigit, utang nyawa saat kamu selamatkan dulu, sekarang sudah aku balas." Gerakan Sigit terhenti, pikirannya melayang pada sepuluh tahun yang lalu. Tahun itu, Wulan kabur dari rumah dan hampir menjadi korban perdagangan manusia. Kalau bukan karena Sigit diam-diam melindunginya dan berkelahi dengan para penculik, mungkin Wulan sudah dibawa pergi. Akibatnya, Wulan harus dirawat di rumah sakit selama seminggu. Sejak hari itu pula, Wulan mulai menaruh perasaan samar padanya. Saat itu, Cahyo berkata, "Sigit, Tina, kalian pulang dulu. Aku masih ada urusan dengan Wulan. Bagaimanapun juga, dia anakku, aku nggak akan benar-benar membunuhnya." Tina berdiri, memeluk lengan Sigit, dan menuntunnya pergi dalam keadaan linglung. Setelah keduanya pergi, Wulan dengan susah payah bangkit dari lantai. Keringat membasahi wajahnya, tetapi tidak memadamkan keteguhan di matanya. Cahyo tidak memandangnya, hanya berkata dingin ... "Keluarga Silendra sudah bilang, lima hari lagi mereka akan menjemputmu." "Wulan, jangan bikin masalah lagi." Wulan tidak menjawab. Dia hanya menyeret langkah beratnya keluar dari vila. Setiap langkah membuat darah dan keringatnya menetes ke lantai, tetapi justru membuat pikirannya makin jernih. Dia pergi sendiri ke rumah sakit untuk merawat lukanya. Keesokan harinya teater akan mengadakan pertunjukan, jadi dia hanya meminta dokter menambah obat dan mempertebal perbannya. Pertunjukan kali ini sangat penting. Apa pun yang terjadi, Wulan harus tampil. Begitu tiba di teater, dia melihat Tina memegang seikat besar bunga mawar dengan senyum bahagia. "Tina, apa itu bunga dari pacarmu? Cantik sekali!" "Iya, aku juga merasa begitu. Pacarmu benar-benar romantis!" Wajah Tina memerah melebihi warna mawar, dan dia berkata dengan pelan. "Terima kasih, aku nggak menyangka dia akan memberiku bunga mawar. Ah, sebenarnya kami sudah lama pacaran, nggak perlu repot begini ... " Ketika mendongak, tatapan Tina bertemu mata Wulan, lalu buru-buru berjalan mendekat. "Kak, bagaimana kondisimu? Kalau nggak sanggup, jangan paksakan tampil hari ini." Wulan tidak menjawab, hanya menunduk dan menelan dua butir obat pereda nyeri. Pemimpin teater masuk dan menepuk tangan, membuat semua penari yang semula mengobrol langsung terdiam. Wulan kembali ke tempat duduknya. Namun, dia mendengar pemimpin itu berkata dengan lantang, "Wulan, untuk pertunjukan hari ini kamu nggak perlu tampil. Ganti orang lain." Wulan langsung mendongak. "Kenapa! Aku ikut dalam setiap latihan, kenapa aku nggak boleh tampil!!" "Itu aku yang memutuskan." Sigit masuk dari luar ruangan, tatapannya penuh kekhawatiran. Dengan nada yang dianggapnya bijak, dia menasihati Wulan, "Wulan, masih banyak pertunjukan lain, nggak perlu memaksa tubuhmu." "Kamu baru saja ... Istirahatlah hari ini." Wulan tidak mengerti, apa posisi Sigit sehingga bisa mengatakan hal semacam itu. Pelaku sebenarnya adalah dia, dan kini dia juga yang berpura-pura peduli. "Sigit, apa kamu tahu seberapa pentingnya pertunjukan ini bagiku?" "Tarian ini karya ibuku, ini peninggalannya!" Jarang sekali Wulan menampakkan emosi sedalam itu. Kali ini, dia nyaris berteriak pada Sigit. Air mata memenuhi matanya, dan akhirnya jatuh tanpa bisa ditahan. Namun, Sigit hanya diam, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Semuanya sudah terjadi, tidak ada gunanya bicara lebih jauh. Wulan menarik napas panjang dan memejamkan mata. "Sigit, kita sudah selesai ... " Sigit menggenggam tangan Wulan, dan hendak bicara. Namun, terdengar suara laki-laki asing dari pintu. "Permisi, siapa yang bernama Tina?" "Saya." Pria itu berjalan ke arah Tina dan langsung mengambil bunga di tangannya. "Maaf, salah kirim." "Siapa yang bernama Nona Wulan?" Wulan diam, tetapi semua orang serentak menatapnya. Pria itu menyerahkan bunga itu kepadanya. "Nona Wulan, ini bunga dari Tuan Muda untuk Anda." Di kartu itu hanya ada satu huruf. Silendra. Wulan refleks menerimanya dan berkata pelan, "Terima kasih." Setelah pria itu pergi, dia mendongak dan bertemu dengan tatapan marah Sigit. "Siapa dia?" "Siapa orang yang mengirim bunga padamu!!"

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.