Bab 6
Namun, pada akhirnya Sigit tetap salah menilai.
Mendapat kabar pemecatan itu tidak membuat Wulan kehilangan kendali.
Dia mendengarkan dengan tenang semua yang disampaikan oleh penanggung jawab, lalu tersenyum tipis.
"Sigit yang menyuruh Anda melakukan ini, 'kan?"
Penanggung jawab itu menyeka keringat di wajahnya, lalu menghela napas.
"Nona Wulan, saya ini cuma penanggung jawab kecil. Soal utang perasaan Anda dan Sigit, saya ... "
"Tenang saja, saya nggak akan mempersulit Anda. Saya akan pergi hari ini juga."
"Nona Wulan, Anda sangat berbakat dalam menari. Selama Anda terus berusaha, suatu hari nanti saya yakin akan melihat Anda di panggung yang lebih besar."
Wulan tersenyum, menunduk sopan, lalu berbalik meninggalkan kantor.
Di koridor, foto ibunya saat muda masih terpajang di dinding.
Dalam foto itu, wanita itu tersenyum cerah, menjunjung tinggi piala di tangannya, dengan matanya berbinar.
Itulah penghargaan yang paling diidamkan Wulan.
Namun kini, dia justru makin jauh darinya.
"Bu ... "
Wulan mengulurkan tangan, menyentuh lembut foto itu.
"Aku akan pergi dulu, tapi suatu hari aku pasti akan kembali. Percayalah padaku, Bu."
Wulan menempelkan dahinya ke bingkai foto itu, memejamkan mata, menelan getir dan sesak di tenggorokannya.
Dia tidak akan menyerah semudah itu pada mimpinya.
Wulan tahu, semuanya belum berakhir.
Dia menarik napas dalam-dalam, lalu meninggalkan gedung teater.
Namun, Sigit sudah lama menunggunya di depan pintu.
Begitu melihat Wulan keluar, Sigit segera melangkah cepat ke arahnya. Dia baru hendak bicara, tetapi Wulan berjalan melewatinya, seolah-olah tidak melihat keberadaannya.
"Wulan!!"
Sigit berteriak marah.
Langkah Wulan tidak berhenti, membuat Sigit menggertakkan gigi dan berteriak,
"Berhenti! Kalau nggak, percaya atau nggak, akan kuhancurkan seluruh teater ini!"
Kebodohan seperti itu jelas bisa dilakukan Sigit.
Wulan tidak punya pilihan selain berhenti.
Dia berbalik, ekspresinya dingin, suaranya datar.
"Ada apa?"
Sigit menarik napas dalam-dalam, dan melangkah mendekatinya.
"Kenapa kamu harus sekeras kepala ini? Apa kamu nggak bisa seperti Tina, sesekali manja dan mengalah padaku!"
Nada Sigit penuh keluhan.
Seolah-olah yang berselingkuh bukan dia, melainkan Wulan.
Wulan merasa geli, tetapi wajahnya tetap tenang.
"Sigit, kita sudah saling kenal sejak kecil. Aku kira kamu sudah cukup mengenalku."
"Setelah Ibu meninggal, aku hidup dalam kesengsaraan. Jangankan bermanja-manja, aku bahkan berharap bisa punya enam tangan untuk bertahan."
"Dan kamu tahu siapa yang membuatku sengsara, tapi tetap saja berkali-kali berpihak padanya."
Tatapan Wulan begitu jujur, sampai-sampai Sigit tidak sanggup membalas tatapannya.
Bibir Sigit bergetar, dan dia bergumam.
"Tapi yang bersalah itu ibunya, apa hubungannya dengan dia."
Saat itu, Wulan tahu tidak ada gunanya bicara lebih jauh.
Karena di hati Sigit, dia sudah bukan lagi yang utama.
"Jadi, apa maumu sebenarnya?"
Wulan menarik napas, ingin segera mengakhiri percakapan itu.
"Besok aku mengadakan pesta. Kamu harus datang."
"Asal kamu datang, aku akan mempertimbangkan untuk membawamu kembali ke teater sebagai penari utama."
Kedengarannya menguntungkan, tetapi Wulan tahu bahwa semuanya pasti tidak sesederhana itu.
Dia ragu sejenak, lalu tetap mengangguk.
"Baik."
Namun, begitu sampai di tempat pesta, Wulan langsung menyesal.
Sigit hanya bilang itu pesta, tetapi tidak menyebut bahwa tamunya sebanyak itu.
Wulan berdiri di tengah keramaian, merasakan tatapan dari segala arah, membuatnya merasa seperti badut di arena sirkus.
Dia menggenggam erat gelas di tangannya, lalu mendengar keributan di sekitar.
"Sigit datang!"
"Wanita di sampingnya siapa? Belum pernah lihat!"
"Bodoh! Itu anak haram Keluarga Estiawan, yang dibawa pulang setelah ibu Wulan meninggal ... "
"Gila! Bukannya Sigit dan Wulan sudah bertunangan? Apa maksudnya ini ... "
Wulan jelas merasakan makin banyak tatapan jatuh padanya.
Di seberang, Tina menggandeng lengan Sigit, dan berjalan dengan anggun.
Gadis itu mengenakan gaun mewah, berhiaskan kalung berkilauan, tampak seperti putri bangsawan sejati.
Wulan tidak tahu apa rencana Sigit, tetapi satu hal yang pasti, dia sedang dihina.
Dia ingin pergi, tetapi begitu teringat ucapan Sigit, dia akhirnya berhenti.
Begitu Sigit muncul, semua orang langsung mengerumuninya, membuat Tina juga dikelilingi penuh sanjungan.
Wulan sedang bersyukur bisa luput dari pusat perhatian, tetapi tiba-tiba terdengar suara manja Tina.
"Kakakku juga bisa menari, bahkan lebih hebat dariku!"
"Karena semua orang sedang bahagia, bagaimana kalau kita minta Kakak menampilkan satu tarian!"