Bab 2
Patricia mengetahui jika wanita ini selalu memusuhinya. Bukan hanya karena dia menduduki posisinya selama 20 tahun, tapi juga karena Tommy.
Dia tidak ingin mempermasalahkan hal ini dengan Fanny di depan Amelia, jadi Patricia tidak mengatakan apa pun.
Amelia berkata, "Jangan sembarangan bicara. Patricia demam dan harus istirahat, jadi dia nggak lihat panggilanku."
Setelah itu, dia menatap Patricia. "Apakah kamu sudah minum obat?"
"Sudah."
"Baguslah kalau begitu."
Amelia menghela napas lega, dia menarik Patricia untuk duduk, lalu menyerahkan album foto gaun pengantin padanya. "Patricia, lihatlah. Ini semua adalah gaun pengantin terbaru tahun ini, tolong bantu Fanny pilih beberapa, sekalian pilih untuk dirimu sendiri."
Patricia sudah merasa ada yang aneh sejak mendengar ucapan Amelia, tapi dia kurang lebih sudah paham pada saat ini.
"Patricia, Fanny saja sudah mau tunangan. Kamu juga nggak boleh terus melajang."
Amelia menghela napas, lalu berkata, "Kebetulan mitra kerja sama ayahmu punya anak yang lebih tua dua tahun darimu, dia baru saja pulang dari luar negeri. Aku sudah pernah ketemu dengan anak itu, dia sangat tampan dan cocok untukmu. Bagaimana kalau kalian ketemuan?"
Jari Patricia mendingin, dia berkata, "Ibu, aku nggak berencana untuk pacaran akhir-akhir ini ...."
Setelah dia mengatakan ini, Fanny langsung menjatuhkan album foto itu ke lantai.
"Apakah kamu nggak berencana untuk pacaran atau masih nggak mau menyerah?"
Fanny mencibir. "Saat lihat aku dan Tom mau tunangan, kamu jadi nggak mau melepaskan Tom, 'kan?"
Tenggorokan Patricia seperti tersumbat, pada akhirnya Patricia tidak bisa menahan dirinya lagi. "Karena kamu tahu kalian akan segera tunangan, kamu nggak perlu merasa nggak percaya diri."
Fanny tertegun sejenak setelah mendengar ini, kemudian mengangkat tangannya untuk menampar Patricia.
Patricia tanpa sadar memejamkan matanya, tapi dia sama sekali tidak merasakan rasa sakit.
Dia membuka matanya, lalu melihat Robert menahan pergelangan tangan Fanny.
Fanny menatapnya dengan mata yang merah. "Kak!"
Pria itu menatap Patricia dengan tatapan yang dalam dan datar, tidak terdapat ekspresi apa pun di wajahnya. Dia hanya berkata dengan nada dingin, "Minta maaf."
Patricia berkata, "Maaf."
Dia sama sekali tidak merasa jika dia salah bicara. Tapi di tengah situasi seperti ini, minta maaf adalah cara yang tercepat untuk menyelesaikan masalah ini.
Amelia segera menenangkan Fanny. Patricia menghela napas lega, lalu berusaha mengabaikan rasa sakit di dadanya.
Patricia pergi untuk mencuci muka. Begitu mendongak, dia melihat sosok lain di dalam cermin.
Raut wajah pria itu sangat dingin, tubuhnya juga dipenuhi dengan tekanan seolah-olah badai akan datang. Robert maju dua langkah dan menghalanginya di sudut kecil.
Patricia tidak bisa menghindari pria itu, jadi dia berusaha untuk menempelkan tubuhnya di dinding. Dia mendengar pria itu bertanya dengan suara yang berat.
"Hari Jumat malam minggu lalu, kamu lagi di mana?"
Pria ini sedang menuntut penjelasan darinya.
Patricia memejamkan matanya, lalu berkata dengan jujur, "Hotel Albara."
"Bertemu dengan siapa?"
Patricia berkata dengan suara yang rendah, "Tommy."
"Aku nggak sengaja ketemu dengannya saat sedang bahas kontrak dengan bos Roken Real Estate."
Dia berkata sambil menusuk telapak tangan dengan kukunya. Patricia menatap Robert, lalu berkata, "Aku cuma melihatnya sekilas, bahkan nggak bicara dengannya."
Sebenarnya Patricia juga tidak tahu apa yang bisa dia katakan pada Tommy saat ini.
Dia juga tidak berbohong, Robert terus menatapnya lekat-lekat. Tidak hanya supir dan pengawal yang terlihat di permukaan, masih terdapat banyak mata-mata Robert yang mengawasinya.
Patricia sering merasa jika dia hidup di dalam ruang terbatas yang tidak terdapat titik buta, selalu ada mata-mata Robert yang mengawasinya. Dia bahkan tidak memiliki kesempatan untuk bernapas.
Mungkin tidak lama lagi dia akan kehabisan napas di tengah situasi seperti ini.
Tatapan pria itu melembut, lalu membelai wajah Patricia sambil berkata dengan nada bicara yang sedikit hangat, "Bagus sekali."
Jarak mereka sangat dekat sampai Patricia bisa mencium aroma tembakau di tubuh pria ini dengan jelas. Detik berikutnya, perutnya bergejolak. Patricia secara refleks mendorong Robert, lalu bergegas memuntahkan isi perutnya di toilet.
Patricia tidak memakan apa pun hari ini, jadi dia hanya memuntahkan air.
Setelah perasaan tidak nyaman itu menghilang, Patricia baru berdiri, kemudian dia bertatapan dengan tatapan tajam pria itu.
Jantungnya menegang.
Tatapan itu dipenuhi dengan tekanan yang kuat, untuk sesaat Patricia merasa punggungnya seperti akan meledak.
Dia berusaha untuk menenangkan dirinya. Tapi dia mendengar pria itu berkata, "Kamu hamil?"
Jari Patricia bergetar, lalu menggelengkan kepalanya. "Nggak mungkin, aku selalu minum pil kontrasepsi .... Perutku terasa nggak nyaman karena aku belum makan apa pun hari ini."
Pria itu menatapnya dalam diam selama dua detik, lalu meninggalkannya tanpa menanyakan apa pun.
Patricia kembali ke ruang tamu setelah selesai berkumur, saat ini Fanny sudah ditenangkan oleh Amelia, jadi wanita itu hanya mendengus padanya tanpa mengatakan apa pun.
Amelia memanggil Patricia untuk mendekat, lalu mengeluarkan beberapa lembar foto.
"Coba kamu lihat apakah ada yang cocok atau nggak."
Dia berkata sambil tersenyum, "Meskipun kamu nggak mau pacaran, kalian bisa kenalan dulu."
Patricia merasa tidak berdaya, dia hanya bisa mengambil foto itu dan melihatnya dengan acuh tak acuh. Dia mendengar Amelia kembali berkata.
"Sebaiknya kamu pergi ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan selama beberapa waktu ini."
Tindakan Patricia berhenti sejenak.
Rahimnya sudah dingin sejak lahir dan juga memiliki dinding rahim yang tebal, hal ini juga menyebabkan ovariumnya tidak berkembang dengan baik. Dokter pernah mengatakan jika Patricia sulit untuk hamil dengan kondisinya saat ini.
"Karena kondisi tubuhmu kurang baik, kamu harus lebih perhatikan tubuhmu."
Amelia berkata, "Kebetulan kakakmu bawa beberapa sarang burung walet dari luar negeri, nanti kamu bisa bawa beberapa pulang."
Fanny berkata dengan tidak puas, "Ibu, untuk apa kamu memedulikannya! Kalian sudah membesarkan Patricia selama ini, kesehatannya yang buruk adalah urusan dia sendiri. Aku dan Tom sebentar lagi akan menikah, aku juga perlu rawat tubuhku. Aku mau sarang burung walet itu."
Di antara Fanny dan Patricia, Amelia lebih memihak Fanny. Dia segera berkata, "Baik, baik. Kalau kamu mau makan, Ibu akan minta kakakmu belikan lebih banyak untukmu."
Mata Patricia memerah saat melihat adegan yang penuh kasih sayang ini.
Dia sudah menjadi orang luar di dalam keluarga ini.
Setelah selesai makan, Patricia berdiri untuk mengundurkan diri.
Dia tidak membawa sarang burung walet saat pergi.
Setelah meninggalkan rumah Keluarga Lusna, dia segera pergi ke rumah sakit.
Tubuhnya terasa sangat tidak nyaman hari ini. Patricia tidak hanya tidak nafsu makan, dia beberapa kali ingin muntah, tapi berusaha ditahan olehnya.
Jangan-jangan dia hamil?
Tidak mungkin. Dia pernah didorong ke dalam kolam renang oleh Fanny di tengah musim dingin, hal ini membuat rahimnya mendingin. Selain itu, dokter juga sudah mengatakan dengan jelas bahwa peluangnya untuk hamil kurang dari 10%.
Patricia berusaha untuk menyingkirkan pikiran buruk ini, lalu mengambil nomor untuk melakukan pemeriksaan.
Hasil pemeriksaannya segera keluar.
Dia benar-benar hamil.