Bab 5
Patricia tertegun sejenak.
Dia tidak tahu kenapa Robert bisa bertanya seperti ini, dia juga tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan ini. Jadi dia hanya bisa terus terdiam.
Jangankan menikah, Patricia bahkan tidak berniat pacaran berkat Robert. Patricia hanya ingin menabung uang sebanyak-banyaknya, meninggalkan Keluarga Lusna dan Robert yang gila, lalu pergi ke luar negeri.
Hanya saja pria itu bersikeras ingin mendengar jawaban darinya. "Cepat jawab."
Patricia tidak berdaya, dia hanya bisa berkata, "Bukankah aku bisa menikah atau nggak tergantung denganmu?"
Pria itu mencondongkan tubuhnya untuk meremas dagu Patricia, lalu berkata dengan nada dingin, "Hilangkan niatmu yang nggak perlu, kamu cuma boleh berada di sisiku sepanjang kehidupan ini."
Pupil Patricia bergetar.
Ini adalah hal yang paling dia takutkan.
Patricia sudah tidak bisa menahan dirinya lagi, dia berkata dengan sarkastik, "Benar sekali. Siapa yang mau menikah dengan wanita yang sudah pernah dimainkan oleh pria lain?"
Suasana di dalam mobil langsung mendingin begitu ucapan ini dilontarkan.
Mata pria itu dipenuhi dengan amarah, dia semakin meremas dagu Patricia dengan kuat. "Tarik kembali ucapanmu."
Patricia tidak tahu apa yang terjadi pada pria ini. Tapi berdasarkan pengalamannya selama ini, sebaiknya dia jangan semakin membuat pria ini marah.
Karena dialah yang akan menderita pada akhirnya.
Ini adalah kesimpulan yang didapatkan oleh Patricia selama tiga tahun terakhir.
Dia berkata, "Aku tarik kembali ucapanku."
Hanya saja ekspresi pria itu sama sekali tidak melembut setelah mendengar ini. Robert melepaskan dagu Patricia, lalu keluar dari mobil.
Seluruh tubuh Patricia terasa sangat lemah, dia juga tidak mengerti apa yang sebenarnya diinginkan oleh Robert. Tapi dia bisa merasakan aura bahaya.
Dia perlahan-lahan mengelus perutnya dengan tatapan serius.
Dia harus segera menggugurkan anak ini.
Keesokan paginya, Patricia pergi ke perusahaan. Saat dia baru saja duduk, rekan kerjanya di Departemen Sekretariat yang bernama Niken membawa setumpuk dokumen ke hadapannya.
"Patricia, Bu Fanny minta aku untuk antar dokumen ini ke ruang rapat di lantai atas, tapi butuh verifikasi sidik jari kalau mau naik ke lantai atas. Kamu adalah satu-satunya orang di Departemen Sekretariat yang punya akses ke sidik jari di lantai atas. Bisakah kamu pergi denganku?"
Patricia tertegun sejenak. Dia sudah melihat jadwal hari ini, sepertinya tidak ada rapat.
Dia berkata, "Tunggu sebentar, aku akan tanya Pak Robert."
Sebelum selesai bicara, Niken sudah menyela ucapannya.
"Untuk apa kamu telepon Pak Robert? Bukan dia yang mengadakan rapat ini."
Niken berkata dengan nada mengejek, "Atasan kita bukan cuma Pak Robert. Selain itu, meskipun kamu melakukan salah, usahamu jadi sia-sia, ini bukan masalah besar. Bukankah kita dibayar untuk bekerja untuk orang lain? Nggak peduli apa pun status kita, kita harus saling kerja sama di dalam perusahaan, 'kan?"
Tentu saja Patricia bisa mendengar maksud lain di balik ucapannya.
Setelah Fanny kembali ke Keluarga Lusna, Farrel memberinya jabatan manajer umum di perusahaan untuk menebus penderitaan yang telah Fanny alami di luar selama bertahun-tahun. Sebenarnya itu hanya jabatan kosong, Fanny mendapatkan gaji dengan sia-sia, dia bahkan tidak perlu bergabung dengan proyek apa pun.
Hanya saja, Patricia mengetahui jika dia harus mengantarkan dokumen ini.
Fanny sangat ingin membuktikan pada semua orang bahwa dialah nona muda dari Keluarga Lusna, sedangkan Patricia adalah orang yang diabaikan oleh Keluarga Lusna dan bisa diinjak-injak olehnya kapan saja.
Sebagian besar karyawan di perusahaan juga berpikir seperti ini.
Lift berhenti di lantai paling atas, lalu Patricia menggunakan sidik jarinya untuk membuka pintu. Saat baru berjalan beberapa langkah, Niken menyerahkan dokumen padanya. "Aku tiba-tiba mau ke toilet, tolong tunggu sebentar."
Niken langsung berlari ke kamar mandi setelah mengatakan ini, tapi dia tidak keluar setelah Patricia menunggunya untuk waktu yang lama.
Patricia hanya bisa memanggil namanya. "Niken?"
Dia memanggil Niken sambil berjalan ke kamar mandi. Pada detik berikutnya, punggungnya tiba-tiba didorong dengan kuat dari belakang!
Patricia terhuyung-huyung masuk ke dalam sebuah bilik. Sebelum dia berdiri dengan tegak, pintu bilik di belakangnya tertutup dengan keras!
Kemudian terdengar suara tawa Niken di luar. "Hahaha, ini cuma pelajaran kecil untukmu agar kamu bisa memahami identitasmu dengan baik. Jangan selalu melakukan hal-hal yang memalukan setiap harinya! Apakah kamu mengira kamu masih merupakan nona muda dari Keluarga Lusna?!"
Patricia akhirnya bisa berdiri dengan tegak, tapi pintunya sama sekali tidak bergerak setelah didorong olehnya. Sepertinya terdapat sesuatu yang menghalang pintu di luar.
Setelah itu, seember air dingin dituangkan ke kepalanya dari atas bilik!
Patricia sama sekali tidak bisa menghindar di tengah ruangan yang sempit seperti ini, jadi seluruh tubuhnya basah kuyup!
Di luar bilik, Niken melempar embernya. Dia menelepon seseorang, lalu berkata dengan bangga, "Bu Fanny, aku sudah melakukan apa yang diminta olehmu. Wanita jalang ini sudah dikurung di lantai paling atas sekarang!"
"Sejak awal aku sudah nggak suka dengannya. Tenang saja, nggak ada orang yang tahu tentang ini!"
Patricia duduk di toilet sambil mendengar suara langkah kaki Niken menjauh, perut bagian bawahnya tiba-tiba terasa sangat sakit.
Kedua tangan dan kaki Patricia sudah kaku karena kedinginan, darahnya juga seolah-olah sudah membeku.
Patricia mengambil ponselnya untuk menelepon seseorang agar bisa mengeluarkannya dari tempat ini. Tapi setelah mencari-cari, dia menyadari jika dia hanya bisa meminta bantuan Robert.
Dia menekan nomor Robert dengan ujung jarinya yang memutih, satu detik bagaikan satu jam baginya.
"Tut, tut. Maaf, nomor yang Anda tuju tidak bisa dihubungi. Silakan coba lagi nanti ...."
Hanya saja, pria itu sama sekali tidak menjawab dua panggilannya.
Tangan Patricia gemetar dengan kuat, dia hendak menelepon 112, tapi ponselnya langsung mati karena tersiram air.
Rasa sakit dan dingin bercampur menjadi satu, hal ini membuat pikirannya menjadi kacau. Patricia menatap layar ponselnya yang sudah mati sambil berpikir, mungkin ini adalah pelajaran yang diberikan Robert padanya.
Kesadarannya semakin menipis. Jika dia terus berada di sini, dikhawatirkan tidak akan ada orang yang mengetahui jika dia mati di sini.
Patricia menggigit lidahnya dengan kuat untuk memaksa dirinya tetap terjaga. Dia melepas sepatu hak tingginya, lalu menginjak tutup toilet dan memanjat dinding.
Begitu dia mengerahkan kekuatannya, perutnya langsung terasa sangat sakit.
Raut wajah Patricia memucat, dia menggertakkan giginya sambil berusaha untuk mengerahkan tenaga. Akhirnya setengah tubuhnya mencapai bilik di sebelah.
Hal ini hampir memakan seluruh tenaganya. Patricia menggunakan kekuatan terakhirnya untuk meluruskan kakinya, sambil berusaha untuk menginjak tangki toilet di bilik sebelah. Tapi rasa lelah yang dialami oleh Patricia memaksa tubuhnya mencapai batasnya. Tangan Patricia tiba-tiba kehilangan tenaga dan terjatuh ke bawah!
"Bruk!"
Patricia terjatuh dengan keras di bilik sebelah, seluruh tubuhnya terasa sangat sakit begitu Patricia menggerakkan tubuhnya.
Dia merasa lelah dan juga kedinginan, saraf Patricia juga sudah menegang sampai batasnya. Hanya saja hal yang mengejutkan adalah Patricia bisa merasakan cairan hangat yang mengalir melalui kakinya.
Mungkin dia akan keguguran tanpa perlu melalukan operasi.
Ini adalah pikiran terakhir Patricia sebelum kehilangan kesadarannya.