Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 6

Setelah makan malam, keluarga beranggotakan empat orang itu duduk di sofa ruang tamu dengan suasana rukun dan hangat. Lidya tidak punya hati untuk berpura-pura ikut dalam sandiwara keluarga harmonis itu. Dia pun bangkit dan pergi ke taman. Angin malam bertiup dan membawa kesejukan, tetapi tidak mampu mengusir rasa sesak di dadanya. Tidak lama kemudian, Yasmin juga menyusul keluar, wajahnya membawa senyum lembut, tetapi penuh kemenangan. "Lidya, kamu sendirian di sini menikmati angin malam?" Suaranya lembut, tetapi nadanya sarat provokasi tanpa disembunyikan. "Sebenarnya, aku tahu kenapa kamu marah. Orang-orang di lingkaran sudah memberitahuku tentang hubunganmu dan Jeremy selama 3 tahun ini." Lidya membelakanginya, tubuhnya agak menegang, tetapi dia tidak menoleh. "Terus terang saja, waktu baru tahu, aku memang agak khawatir." Yasmin berjalan ke sisinya, menatap wajah samping Lidya yang cantik, tetapi pucat. "Bagaimanapun, adikku Lidya ini begitu cantik. Mana ada laki-laki yang nggak tergoda?" "Sayang sekali, wajah secantik itu cuma sia-sia. Ibumu nggak bisa mengalahkan ibuku, dan kamu pun nggak bisa mengalahkan aku. Tiga tahun itu hanyalah belas kasihanku padamu. Sekarang kekasih yang sebenarnya sudah kembali, dan kamu, barang palsu, sudah waktunya turun panggung." Lidya perlahan berbalik. Di bawah sinar bulan, matanya bersinar mencolok, tidak berisi amarah atau kesedihan seperti yang dibayangkan Yasmin, hanya dingin dan penuh cemooh. "Belas kasihan?" Bibir merahnya terangkat, setiap kata jelas. "Yasmin, apa kamu tinggal di luar negeri terlalu lama sampai lupa siapa dirimu?" "Seorang anak haram yang bisa masuk rumah ini karena ibunya jadi selingkuhan, seorang perempuan malang yang hanya bisa mendapatkan laki-laki lewat tipu muslihat. Apa kamu pantas bicara soal belas kasihan di depanku?" "Ibumu memungut sampah yang dibuang ibuku, kamu memungut laki-laki yang nggak kuinginkan. Kalian ibu dan anak benar-benar satu darah, ahli memungut bekas orang lain." "Kamu!" Senyum di wajah Yasmin langsung membeku, wajahnya pucat dan hijau bergantian. Dia tidak menyangka Lidya yang sudah diinjak sampai ke lumpur masih bisa membalas sekeras itu! "Aku apa?" Lidya melangkah maju selangkah, auranya menekan. "Kamu pikir kamu menang? Itu cuma laki-laki bekas yang sudah aku mainkan dan nggak kuinginkan. Kamu memungutnya lalu pamer ke mana-mana seperti harta karun. Yasmin, batas pandanganmu memang cuma segitu." Seluruh tubuh Yasmin gemetar karena amarah akibat rentetan serangan balasan itu, topeng kelembutan yang dipertahankannya pun hancur total. Lidya malas bicara lagi, dan dia berbalik hendak pergi. Tepat saat dia berbalik, Yasmin tiba-tiba mengeluarkan jeritan memilukan, dahinya menghantam tepi bangku batu di taman, dan darah langsung mengalir! "Yasmin!" Hampir bersamaan, Jeremy, Miko, dan Wanda berlari keluar dari ruang tamu. Yasmin terjatuh di tanah, memegang dahinya yang berdarah, matanya berkaca-kaca. "Ayah, Ibu, Jeremy ... Bukan salah Lidya, aku hanya nggak berdiri dengan baik ... " Wanda langsung memeluk putrinya, dan menangis pilu. "Yasmin! Putriku! Kenapa kamu begitu bodoh! Dia sudah memperlakukan kamu seperti itu, kamu masih membelanya!" Wajah Miko gelap seperti besi. Dia menunjuk Lidya, kemarahannya tidak terbendung. "Lidya! Anak durhaka! Apa lagi yang kamu lakukan pada kakakmu?!" Lidya berdiri di tempat, memandangi sandiwara fitnah yang dirancang begitu rapi itu dengan tatapan sedingin es. Pandangan matanya melewati ayahnya yang murka, ibu tiri yang munafik, dan akhirnya jatuh pada Jeremy. Pria itu berjongkok di sisi Yasmin, memeriksa lukanya dengan hati-hati, lalu mendongak. Tatapan matanya yang dalam menatap Lidya, tidak lagi berisi ketenangan seperti biasa, hanya tersisa penilaian yang menusuk tulang. Saat itu, hati Lidya membeku sampai ke sumsum! Pria itu ... juga tidak percaya padanya. Tentu saja, Yasmin-lah yang disayanginya. Untuk apa Jeremy percaya padanya? Lidya mengangkat sudut bibir, tiba-tiba tersenyum. Detik berikutnya, dia berjalan maju, selangkah demi selangkah, lalu dalam tatapan terkejut semua orang, dia meraih sebuah pot keramik berat di sampingnya dan menghantamkan pot itu tepat ke dahi Yasmin yang baru saja terluka! "Brak!" Suara berat itu disusul jeritan Yasmin yang lebih memilukan dan suara napas tersedak dari semua orang. "Dengarkan baik-baik." Lidya melepaskan pot pecah itu, suaranya tenang mengerikan, tetapi tatapannya seperti pisau beracun. "Yang pertama bukan aku yang lakukan." "Tapi, kali ini baru aku." Semua orang terpaku, termasuk Jeremy. Lidya menjatuhkan sisa pecahan keramik dari tangannya, dan berbalik hendak pergi, tetapi pergelangan tangannya tiba-tiba dicengkeram kuat, rasa sakitnya seperti membuat tulangnya bergetar. Jeremy mencengkeramnya dengan erat, wajahnya gelap bak badai. Pria itu menatap Miko, suaranya sedingin es. "Pak Miko, kalau putri Bapak bisa berbuat seperti ini, kalau nggak dididik dengan benar, aku nggak akan tinggal diam." Miko yang sibuk memikirkan Yasmin dan juga takut pada kekuasaan Jeremy, segera mengangguk dan membungkuk. "Pak Jeremy tenang saja! Aku pasti menghukum anak durhaka yang nggak tahu diri ini!" Dia segera memanggil para penjaga. "Tangkap anak durhaka ini! Seret ke aula leluhur untuk berlutut!" "Coba saja!" Lidya berjuang melepaskan diri, menatap ayahnya dengan garang. Namun, Miko memandang Jeremy, dan bertanya dengan nada menjilat, "Pak Jeremy, menurutmu ... apa menghukumnya berlutut di aula leluhur sudah cukup ... ?" Jeremy mengangkat Yasmin yang berlumuran darah di dahinya, tatapannya menyapu dingin ke arah Lidya. Bibirnya bergerak, dan mengeluarkan kata-kata yang kejam, "Terlalu ringan." "Aku lihat ada cambuk kuda tergantung di ruang kerja. Itu bukan pajangan." Setelah itu, dia menggendong Yasmin pergi tanpa menoleh. Lidya terpaku seperti tersambar petir, menatap punggung Jeremy yang menjauh dengan rasa tidak percaya. Jeremy ... Jeremy benar-benar menyuruh Miko mencambuknya dengan cambuk kuda?

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.