Webfic
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 7

Miko langsung paham maksudnya. Dia berteriak pada para penjaga, "Dengar nggak! Cambuk dia tiga puluh kali dulu! Lalu, seret ke aula leluhur untuk berlutut! Tanpa izin dariku, dia nggak boleh bangun!" "Lepaskan aku! Miko! Kamu bukan ayahku! Kamu binatang!" Lidya meronta sekuat tenaga, tetapi tetap ditekan kuat oleh para penjaga. Dia diseret dengan paksa ke ruang samping. Wanda memegang cambuk kuda yang keras itu, wajahnya penuh kepuasan dan kekejaman. "Dasar perempuan nggak tahu diri! Sama saja dengan ibumu yang sudah mati itu! Hari ini aku akan gantikan ayahmu mendidikmu baik-baik!" Wanda berkata, dan mengangkat cambuk, lalu mencambuk punggung Lidya dengan kejam! "Plak!" Rasa sakit yang merobek kulit langsung menyerang. Pandangan Lidya nyaris gelap. Dia menggigit bibir agar tidak menjerit. Satu cambukan, dua cambukan, tiga cambukan ... Wanda seolah-olah melepaskan dendamnya selama bertahun-tahun. Setiap cambuk menghantam sekuat tenaga, seolah-olah dia ingin menguliti daging dari tulangnya. Lidya begitu kesakitan sampai seluruh tubuhnya kejang, keringat dingin membasahi pakaiannya, kesadarannya mulai kabur. Tiba-tiba, dia teringat, dulu Jeremy samar-samar tahu hubungan buruknya dengan ibu tirinya, dan pernah mengernyit dan bertanya, "Perlu aku bantu menyelesaikannya?" Dia teringat saat sedang sedih, tengah malam diam-diam pergi ke makam ibunya, entah bagaimana, Jeremy menemukannya, menanggalkan mantel dan menutupi tubuh Lidya di tengah hujan, dan membawanya pulang tanpa sepatah kata. Dia teringat beberapa momen ketika dia mengira pria itu benar-benar peduli ... Saat itu, pernahkah Jeremy membayangkan bahwa suatu hari dia sendiri yang akan mengempaskan Lidya ke jurang tanpa akhir? "Uhuk ... " Tenggorokannya terasa manis. Dia batuk dan mengeluarkan darah, tetapi justru tertawa pelan. Wanda merinding melihat tawanya, dan makin marah. "Apa yang kamu tertawakan! Perempuan nggak tahu diri!" Lidya mengangkat wajah yang basah oleh keringat dan darah, dan menatap Wanda seperti serigala, lalu mengucapkan kata demi kata, "Aku mentertawakan kalian ... ibu dan anak ... seumur hidup hanya pantas memakai bekas orang lain ... Sampah!" "Kamu!" Wanda gemetar karena marah, melempar cambuk itu, lalu berteriak pada pelayan di samping, "Cepat! Ambilkan tongkat listrik!" "Nyonya! Jangan! Nona bisa mati!" Seorang pelayan tua mencoba menahan. "Minggir! Kamu pikir kamu berhak bicara di sini?!" Wanda mendorongnya, merebut tongkat listrik dari penjaga, lalu menghantamnya ke tubuh Lidya! "Ugh ... Ah!" Arus listrik dan hantaman keras langsung menyapu seluruh tubuh Lidya. Dia bahkan mendengar bunyi retakan tulangnya sendiri, lalu dia memuntahkan darah segar, dan dunia langsung berubah gelap. ... Saat sadar kembali, Lidya mendapati dirinya terbaring di ranjang kamarnya sendiri, seluruh tubuhnya seperti remuk. Bu Yani, pelayan Lidya, sedang diam-diam mengobatinya, sambil menangis dan berbisik, "Nona ... kenapa nggak mengalah saja sama Tuan ... Kenapa harus menanggung ini ... " Lidya menggeleng dengan lemah, suaranya serak. "Mengalah? Mengalah pada keluarga ini hanya akan bikin aku habis nggak bersisa." Ia terdiam sejenak, tersenyum getir. "Hanya sebuah pukulan ... Yasmin juga kepalanya robek olehku, jadi nggak rugi. Aku ... masih bisa tahan." Selesai bicara, dengan susah payah, dia mengambil kartu bank dari bawah bantal dan menyelipkannya ke tangan Bu Yani. "Bu Yani ... ini untukmu ... " Bu Yani terkejut, buru-buru menolak. "Nona! Jangan! Mana mungkin saya terima uang Nona!" "Ambil." Suara Lidya tegas. "Ini ... sudah kusiapkan sejak lama ... " "Aku akan ke luar negeri ... Mungkin ... nggak akan kembali ... " "Kamu dibawa Ibu dari kampung ... Sekarang di sini ... mereka juga nggak akan memperlakukan kamu dengan baik ... Uang ini ... cukup untuk membuatmu hidup nyaman sampai tua ... " "Dengar aku ... berhentilah ... dan pergi dari sini ... " Bu Yani menatap kartu tipis di tangannya, lalu menatap Lidya yang penuh luka, tetapi masih memikirkan dirinya. Dia tidak tahan lagi, air matanya jatuh, dan dia hendak berlutut. Lidya dengan cepat menahannya. Suaranya lemah, tetapi terdengar agak manja. "Bu Yani ... aku ingin ... sup iga buatanmu ... " "Baik! Baik! Saya akan buat sekarang! Sekarang juga!" Bu Yani menyeka air matanya, lalu bergegas ke dapur. Kamar kembali hening. Lidya menatap langit-langit yang indah tetapi dingin. Perlahan, dia memejamkan mata, membiarkan rasa putus asa dan kesedihan menelannya. Beberapa hari berikutnya, Lidya terus merawat lukanya di kamar. Sambil menahan sakit, dia perlahan membereskan semua barang bawaannya, juga mengeluarkan semua barang pemberian Jeremy. Pria itu tidak mencintainya, tetapi pria itu memang bermurah hati. Nilai semua barang itu miliaran. Awalnya, Lidya ingin membuang semuanya, tetapi kemudian dia menelepon pemilik klub tempat dia biasa datang. Mendengar kabar klub sedang mengadakan pelelangan amal, Lidya mengatakan bahwa dia juga punya banyak barang untuk dilelang. Pihak klub pun segera membalas, mengatakan bahwa malam ini ada acara dan mempersilakan Lidya datang. Saat senja, Lidya membawa beberapa koper besar ke klub itu. Setelah menyerahkan barang-barang kepada penanggung jawab lelang, dia berbalik, tetapi tidak sengaja berpapasan dengan Jeremy dan Yasmin yang datang bersama. Yasmin menempel manja pada Jeremy, dan ketika melihat Lidya, muncul kilasan puas dan provokatif di matanya. Ujung jari Lidya menekan telapaknya sendiri tanpa sadar, tetapi dengan cepat dia kendurkan. Dia datang untuk urusan penting, tidak perlu membuang emosi untuk mereka. Tatapan Jeremy sepertinya berhenti sejenak pada wajah Lidya yang terlalu pucat, lalu segera berpaling dengan dingin. Begitu semua orang duduk, lampu tiba-tiba meredup. Pembawa acara naik ke panggung, dan mengumumkan dengan gembira bahwa sebelum lelang dimulai, ada sesi ciuman tiga menit, dan meminta pasangan yang hadir untuk menikmatinya. Lidya terpaku. Sorotan lampu bergerak acak di ruangan gelap itu, menerangi pasangan-pasangan yang sedang berpelukan dan berciuman. Dia refleks menoleh, dan tepat melihat Yasmin melingkarkan tangan ke leher Jeremy. Pria itu menunduk dan menatapnya, sudut bibirnya terangkat samar, lalu dia membungkuk dan mencium Yasmin. Saat itu, jantung Lidya terasa seperti diremas kuat oleh tangan yang tidak terlihat. Kenangan tentang ciuman-ciuman antara dirinya dan Jeremy membanjiri benaknya. Ada yang penuh gairah, ada yang dominan, ada yang sarat hasrat. Namun, sepertinya ... Tidak pernah ada ciuman selembut itu, yang mengandung rasa menghargai. Saat itu juga, seorang pemuda mabuk dan genit mendekat. "Nona Lidya, sendiri saja pasti sepi, biar Abang temani ... "

© Webfic, hak cipta dilindungi Undang-undang

DIANZHONG TECHNOLOGY SINGAPORE PTE. LTD.